Oleh: Arif Gustian Bedda*
Rasanya aneh, saat Gisella Anastasia (Gisel) juga dinyatakan bersalah dan terancam hukuman minimal 6 bulan hingga 12 tahun penjara. Putusan tersebut berdasar UU Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pornografi Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29.
Dalam pasal tersebut mengatakan: (1) Setiap orang dilarang meproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: (a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; (b) Kekerasan seksual; (c) Masturbasi atau onani; (d) Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; (e) alat kelamin atau; (f) pornografi anak.
Menurut Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, yang dimaksud “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Berarti, jika video yang mengandung pornografi didasari keinginan pribadi dan hanya sebatas konsumsi pribadi maka menjadi pengecualian dalam UU Pornografi. Karena yang membuat video tersebut menjadi konsumsi publik adalah pelaku penyebar.
Itulah mengapa yang harusnya terpidana hanyalah pelaku penyebar, bukan pembuat yang tujuannya untuk pribadi. Namun, dalam sudut pandang kepolisian sebagai penegak hukum memiliki alasan lain.
Ada kesamaan kasus yang pernah terjadi satu dekade silam, kisah lama saat video porno Ariel Noah dan Luna Maya tersebar luas. Pada saat itu Ariel dijerat dengan UU Pornografi pasal 4 ayat 1 dan di hukum tiga tahun enam bulan penjara. Sedangkan Luna Maya bebas karena dianggap sebagai korban. Sama kasus namun beda sikap, ini yang kemudian menjadi keanehan.
Berkaca dari kasus video Ariel dan Luna 2010 lalu, memang hukum memutuskan Ariel sebagai pihak yang dianggap bersalah. Tapi, sanksi sosial justru diterima oleh Luna Maya sebagai perempuan, hingga sekarang.
Pandangan negatif terhadap pihak perempuan selalu menjadi yang utama oleh sebagian besar masyarakat kita (tidak hanya dari laki-laki, bahkan juga pandangan sesama perempuan), dan hal tersebut juga tidak lepas dari peran media.
Buktinya dalam kasus Gisel yang masih segar, banyak media massa yang enggan berhati-hati terjebak dalam bias gender. Bias gender terjadi ketika media memberi judul berita menggunakan insial nama satu pihak dan membongkar habis sisi kehidupan pribadinya dengan tujuan meningkatkan traffic mereka. Hal ini justru semakin menegaskan bahwa perempuan cenderung dipandang sebagai properti yang bisa diperjual belikan.
Begitu juga dengan alasan dua penyebar video berinsial PP dan MN. Alasan mereka mengunggah konten tersebut adalah menaikkan jumlah follower di media social3, yang tentu tujuannya untuk profit.
Setiap ada kasus yang berbau porno, stigma buruk dan penghakiman cenderung diterima oleh perempuan. Seperti yang dialami oleh Luna Maya dalam pengakuannya dalam kanal Youtube Boy William, Luna mengatakan bahwa hubungan asmara yang ia jalani beberapa kali gagal karena alasan implisit video porno yang sempat viral satu dekade lalu.
Kasus video porno yang menyeret berbagai perempuan ini mencerminkan bahwa masalah ketubuhan perempuan masih dijadikan senjata oleh pelaku penyebar, baik pasangan atau orang lain. Imbasnya bukan hanya dalam waktu sebulan, setahun, atau puluhan tahun, penghakiman terhadap perempuan dalam kasus video porno sangat mungkin melekat seumur hidupnya, hingga seakan membuat ia tidak akan pernah melakukan hal baik lain yang patut diapresiasi masyarakat.
Dalam konteks yang lebih luas, tindakan penyebaran gambar dan video intim pasangan atau mantan pasangan yang didasari dendam, motif ekonomi, intimidasi dan sejenisnya berakibat pada tekanan emosional, ketakutan, perasaan tak layak atas cinta dan rasa hormat, hingga menurunkan kepercayaan diri. Tentu, hal ini tidak hanya terjadi pada pihak perempuan, bahkan laki-laki juga bisa menjadi korban.
KGBO dan Pentingnya RUU PKS
Sederhananya, kekerasan gender berbasis online (KGBO) adalah kekerasan seksual yang difasilitasi oleh teknologi informasi. Dalam banyak kasus, hampir seluruh korban adalah perempuan. KGBO lebih menyasar pada pornografi, seperti tubuh perempuan dijadikan objek dan konten pornografi.
Kekerasan berbasis gender dari dunia nyata kini pindah ke dunia maya. Seperti pelecehan dalam bentuk cat calling, berpindah ke dunia maya dalam bentuk komentar yang melecehkan.
Lalu KGBO juga dijadikan sebagai pintu masuk untuk melakukan kekerasan secara offline. Seperti bermula dari berkenalan di social media, berpacaran, meminta korban melakukan aktivitas seksual dan direkam, hingga berlanjut bertemu kemudian korban mendapat kekerasan seksual secara paksa (perkosaan) atau konten video intim tersebut dijadikan alat untuk mengintimidasi terhadap korban.
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan dari Januari hingga Oktober 2020 melaporkan ada 659 kasus KGBO, 15 lainnya terjadi dilingkup perguruan tinggi. Jumlah tersebut didominasi tindak kekerasan seksual, salah satu bentuknya berupa ancaman dan penyebaran konten intim.
Pandemic Covid-19 yang membatasi akses kehidupan langsung justru menyebabkan angka KGBO semakin tinggi.
Rancangan Undang-Undang Pelaku Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi penting untuk mengakomodir para korban pelaku kekerasan seksual dalam bentuk online ataupun offline. Setidaknya ada dua aspek penting dalam RUU PKS yang dikatakan oleh Bahrul Fuad sebagai Komisioner Komnas Perempuan, yakni:
Aspek Pencegahan, edukasi untuk perempuan tentang bentuk kekerasan seksual yang banyak belum diketahui.
Aspek Pemulihan, selama ini penanganan kasus kekerasan seksual dengan KUHP dan UU Pornografi cenderung tidak berpihak pada korban. Bahkan korban malah mengalami penderitaan ganda ditambah dengan stigma negatif dari masyarakat.
Sebagai penutup, penulis tidak bermaksud mendiskreditkan laki-laki dalam persoalan kekerasan terhadap perempuan. Karena pada dasarnya, terlepas apapun jenis kelamin mu, kita sama-sama tertindas oleh sistem yang berlaku dan tidak menutup kemungkinan sebagai laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual.
*Penulis adalah Ketua Bidang Media dan Komunikasi
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Malang Raya
Instagram: @arifgustianbedda