Oleh: Muhammad Ardi Firdiansyah*
Beberapa hari ini masyarakat Indonesia sedang ramai membahas mengenai reshuffle Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin oleh Presiden Jokowi. Reshuffle yang dilakukan oleh Jokowi kali ini bukan tanpa alasan. Banyak tanggapan dari masyarakat maupun pengamat politik bahwa kinerja para menteri Jokowi-Amin belum banyak dirasakan.
Bahkan banyak yang menganggap jabatan menteri hanya sebagai alat untuk memperkaya diri atau kelompoknya. Hal tersebut dibuktikan dengan tertangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta Menteri Sosial Juliari Batubara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tertangkapnya dua menteri tersebut menjadi pukulan besar bagi Jokowi, dimana keduanya merupakan sosok yang sangat dekat dengan kekuasaan. Edhy Prabowo berasal dari partai Gerindra yang menjadi rival Jokowi-Amin saat Pilpres 2019 dan Juliari Batubara merupakan kader PDI-P yang notabene dipandang sebagai partai penguasa saat ini.
Hal tersebut membuat Jokowi harus memutar haluan agar kabinet Indonesia Maju tidak semakin terpuruk dalam pusaran korupsi. Setelah mempertimbangkan berbagai opsi, akhirnya Jokowi melakukan reshuffle terhadap beberapa menteri yang dianggap kinerjanya kurang baik sekaligus mengisi kursi menteri yang kosong.
Diantara nama-nama menteri baru tersebut ialah Budi Gunadi Sadikin, Sandiaga Uno, Yaqut Cholil Qoumas, M. Luthfi, Tri Rismaharini dan Wahyu Trenggono. Hal menarik lainnya adalah tawaran jabatan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wawendikbud) yang ditolak oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Beliau enggan menerima tawaran tersebut karena merasa belum mampu mengemban amanah yang terlalu berat. Namun perlu diketahui bahwa sebelumnya beliau menyatakan sanggup untuk menerima amanah jika diberikan. Hal tersebut sebenarnya tidak sejalan dengan pernyataan beliau mengenai kesanggupannya menjadi pejabat negara atau mungkin tawaran sebelumnya belum dijelaskan mengenai jabatan yang diberikan kepadanya.
Kalau berbicara mengenai kapasitas, saya rasa Ayahanda Abdul Mu’ti sangatlah sanggup jika menjalankan amanah tersebut. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa jabatan Mendikbud seringkali diberikan kepada Muhammadiyah.
Alasan mengenai ketidaksanggupan beliau sebenarnya bisa terbantahkan melalui torehan prestasi serta pengalamannya dalam dunia organisasi dan keintelektualan. Selain pernah menjabat sebagai Pimpinan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Kiprah beliau terus berlanjut sampai pada Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah dan sekarang menjabat sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah.
Beliau juga aktif menulis opini di berbagai media, serta pandangan beliau sering dijadikan kutipan dalam berbagai diskusi isu sosial maupun keagamaan. Dan prestasi terbaru beliau ialah sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
Deretan pengalaman dan prestasi di atas sebenarnya bisa membantah alasan beliau saat menolak Wamendikbud. Namun ada apa di balik penolakan tersebut? Pada hakekatnya jawaban dari pertanyaan tersebut bisa kita ketahui dengan melihat porsi kabinet yang diberikan kepada kader NU jauh lebih besar dibandingkan dengan kader Muhammadiyah di jajaran Kabinet Indonesia Maju,
Setidaknya ada 4 nama kader NU yang menjabat menteri maupun wakil menteri di jajaran kabinet Indonesia Maju saat ini. Di antaranya ialah Abdul Halim Iskandar, Ida Fauzia dan yang terbaru Cholil Quomas Bisri serta Harvick Hasnul Qolbi. Sementara hanya Prof Muhadjir Efendy yang satu-satunya menjadi kader Muhammadiyah yang berada di Kabinet Indonesia Maju.
Terkait persoalan porsi yang kurang seimbang antara kalangan Muhammadiyah dan NU sebenarnya tidak menjadi persoalan yang serius bagi Muhammadiyah karena pada dasarnya apapun yang diberikan kepada kader Muhammadiyah di tataran pemerintah merupakan suatu amanah dari negara yang harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh,
Terlepas dari penolakan Sekum PP Muhammadiyah sebagai Wamendikbud, harapannya Muhammadiyah tetap membantu pemerintah dalam memajukan Indonesia melalui amal usaha yang berada di seluruh penjuru Indonesia.
Serta jabatan Mendikbud yang tidak lagi diberikan kepada kader Muhammadiyah tidak menjadikan Muhammadiyah bermain politik praktis seperti halnya yang sering kita dengar dari beberapa ungkapan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Oleh karena itu kedepannya Muhammadiyah harus terus mencetak kader-kader terbaiknya untuk bisa menjadi kader bangsa sehingga persoalan kemaslahatan umat mampu teratasi dengan baik.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP,
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Instagram: @ardinfirdiansyah
Discussion about this post