Multikulturalisme adalah salah satu ciri negara Indonesia sebagai tatanan sosial yang harus dibangun. Mengingat Bhinneka Tunggal Ika adalah salah satu simbol kenegaraan. Semboyan ini menunjukkan persatuan dan kesatuan bangsa yang menjadi keunikan Indonesia sebagai negara pemersatu antar budaya, suku, ras dan agama. Kesadaran dalam menjunjung tinggi semboyan tersebut harus dikembangkan dan ditanamkan oleh semua masyarakat Indonesia.
Namun, kondisi Indonesia yang sangat multikultural juga bergantung pada bagaimana masyarakat membawa peradaban ini. Multikulturalisme dapat membawa suatu kekuatan dan kelemahan bangsa, sebagaimana kekayaan dapat menjadi alat pemersatu dalam meningkatkan mutu kesejahteraan negara dan kelemahan bangsa akan menyulut terjadinya konflik berkepanjangan.
Pilpres yang pada tahun ini mewarnai kegundahan sisi multikultural Indonesia telah mengalami sedikit goncangan dalam merapikan tatanan kehidupan sosial Indonesia di sisi agama. Sebab Indonesia memiliki banyak sekali agama yang dianut oleh masyarakatnya sendiri. Indonesia sebagai negara yang meyakini agama sebagai hak asasi warga, sangat memengaruhi proses pemilihan presiden sebagai salah satu faktor yang dapat memenangkan kontes ini.
Banyaknya kampanye yang menggunakan wajah politik dengan santri sebagai ajang kemenangan oleh mayoritas partai di Indonesia. Relasi antara agama dan politik sangat dinamis, menarik dan pernah sekalipun lucu pengaruhnya dalam menanggapi Pilpres Indonesia saat ini.
Selain itu, relasi ini menarik didiskusikan sebab berpolitik tanpa beragama yang benar dan konsisten sungguh sangat berbahaya. Mirisnya, agama hanya dijadikan sebagai alat atau politisasi kepentingan politik sesaat. Agama dapat disalahgunakan untuk meraih sebuah kekuasaan politik, baik itu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Menariknya adalah wajah politik dengan santri telah muncul secara menggebu dalam mendapatkan suara rakyat di Pilpres tahun ini. Sejarah memang pernah terjadi dalam membawa politik agama khususnya Islam, yaitu puncak kemenangan pada pemilu tahun 1999 memenangkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI ke-4 yang notabene adalah tokoh agama atau santri yang cukup melalui sebuah koalisi poros tengah.
Hal ini menunjukkan bahwa agama mempunyai peranan yang signifikan dalam proses penyelenggaraan Pilpres. Jumlah santri yang sangat besar dan proporsional akan memengaruhi peta politik Indonesia. Momentum Pilpres saat ini akan saling memperebutkan suara santri dalam mendapatakan dukungan yang lebih agresif sebab jumlahnya yang sangat membludak di Indonesia. Suara santri dapat mendobrak elektabilitas setiap calon pasangan presiden untuk mendapatkan kemenangan yang eksklusif.
Banyak sekali cara yang dilakukan demi mendapatkan dukungan politik, yaitu mengunjungi berbagai macam pesantren yang ada di Indonesia. Bermacam kiat pendekatan antara kaum politik dengan kiai menjadi boomerang untuk mendapatkan suara santri. Kunjungan tersebut diyakini dapat mensukseskan tujuan demi kemenangan, sebab secara kultural, santri sangat manut, telaten, taat dan patuh dengan kiainya yang dianggap sebagai pemimpin dan guru. Oleh karenanya, suara santri terletak di dalam kiai mereka sendiri.
Sejatinya, Pesantren bukanlah tempat untuk berkampanye. Pesantren adalah wadah dan sarana pendidikan yang tidak boleh dicampuri oleh kegiatan dan kepentingan politik. Kampanye juga tidak disahkan untuk dilakukan ditempat-tempat ibadah. Setiap pasangan calon presiden boleh mendatangi dan mengunjungi pesantren, selama tidak ada unsur kampanye dan meminta dukungan di dalamnya, apalagi menyampaikan visi dan misi serta ajakan untuk memilih mereka sebagai presiden.
Kendati demikian, banyaknya perdebatan dan ujaran-ujaran baik maupun nakal yang dilontarkan oleh sebagian besar masyarakat dalam menanggapi kondisi ini. Sehingga yang harus dilakukan adalah menyeimbangi cara dalam berkampanye dari segala aspek, khususnya semua agama.
Indonesia yang berkewarganegaraan sesuai dengan aturan pancasila yaitu sila pertama ”Ketuhanan yang Maha Esa” menyebutkan bahwa Indonesia bukanlah negara agama namun negara yang bertuhan. Semua golongan agama wajib mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan dan mendapatkan titah setiap calon presiden dan wakil presiden mengenai visi dan misi kedepan dalam mengatur bangsa, bagaimana agar Indonesia tetap menjadi satu kesatuan yang utuh sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Polemik politik tidak hanya menjunjung dukungan lewat agama Islam saja, namun dari berbagai macam agama. Dengan demikian, santri juga tidak terlihat seperti dimanipulasi oleh warna politik negeri yang “agak” amburadul saat ini, ditinjau dari beberapa kasus yang terlihat akhir tahun 2018.
Saatnya Indonesia kembali lagi sebagai negara pemersatu bangsa dengan keanekaragaman agama, budaya, serta ras dari berbagai macam pulau mulai dari Sabang sampai Merauke. Jadikan pemilihan presiden melalui kampanye-kampanye sosial yang bermanfaat berkepanjangan, tidak ada unsur “pilah-pilih” dan bermain kotor dalam ajang Pilpres tahun ini.
Agama boleh menjadi acuan dalam meraih kemenangan politik, namun, permainan kotor dalam kegiatan politik tidak boleh dilakukan dan saling memanipulasi tidak boleh dilanjutkan. Sebab, Indonesia adalah negara bersatu dalam satu kesatuan yang utuh sesuai dengan nilai luhur Pancasila.
*Esai oleh Mashita Putri Hatama, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang
Discussion about this post