Dalam rangka membahas masa depan profesi Public Relations yang mengalami perubahan di tengah pandemi Covid-19. Program Magister Ilmu Komunikasi, Jurusan Public Relations Angkatan 2019-2020, Universitas Brawijaya (UB) Malang mengadakan Web Seminar atau Webinar, Minggu (10/5).
Webinar dengan tema “Masa Depan Public Relations di Tengah Perubahan Dunia Akibat Pandemi Covid-19” dengan tiga pembicara yaitu Pakar Ilmu Komunikasi Dr. Antoni, Pakar Ilmu Komunikasi dan Public Relations, Maulina Pia Wulandari, Ph.D serta Praktisi Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Adaro Indonesia, Aan Nurhadi, SKM, M. Kes.
Dalam webinar tersebut diikuti oleh lebih dari 100 peserta yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Menurut pakar Ilmu Public Relations UB, Maulina Pia Wulandari menyatakan, sejak kemunculan pandemi Covid-19 akhir November 2019 hingga saat ini banyak sekali perubahan tatanan kehidupan.
Diprediksi kondisi setelah pandemi Covid-19, ekonomi menjadi sulit. Banyaknya perusahaan gulung tikar, pekerjaan di sektor informal banyak yang hilang, indeks saham akan jatuh, perubahan dalam dunia bisnis menjadi tidak terprediksi dan kondisi psikologi masyarakat menjadi depresi.
Belum ada kejelasan terkait kapan pandemi virus ini berakhir, hingga vaksin ditemukan. Dalam ranah dunia komunikasi, akan terjadi penggabungan yang terpadu.
“Penggabungan dalam bidang manajemen reputasi dan Komunikasi Pemasaran terpadu. Dunia komunikasi akan melebur kepada bidang-bidang industri kreatif dan Public Relations akan menjadi tools utama,” pungkas dosen ilmu komunikasi UB tersebut.
Kemudian Pia menambahkan, profesi PR dan Marketing akan menjadi alat utama di dunia bisnis. Dunia komunikasi akan lebih banyak digunakan untuk mempercepat laju dunia bisnis dan mengantisipasi krisis di dunia pasca wabah Covid-19.
Selama pandemi virus ini berlangsung, akan terjadi perubahan besar dalam pola komunikasi pada manusia yang mengandalkan teknologi. Dalam dunia bisnis, perusahaan dan organisasi akan mengalami tantangan baru dalam berkomunikasi dengan publik dan stakeholdernya, khususnya kendala distorsi informasi karena penggunaan teknologi komunikasi.
“Ada hal-hal yang perlu dipersiapakan untuk para praktisi Humas atau PR yaitu, kemampuan marketing yang melebur dengan kemampuan komunikasi, kemampuan analisis kritis untuk peka dalam memprediksi apa yang terjadi khususnya dalam mengatasi masa krisis. Kemampuan membangun pembicaraan dengan cara “telling story” atau bercerita serta sikap mental yang proaktif serta familiar dengan komunikasi digital,” pungkas wanita yang menempuh program doktoral di University of Newcastle, Australia.
Selanjutnya menurut Aan Nurhadi, Praktisi Corporate Social Responsibility (CSR) dan juga Ahli Kesehatan Masyarakat menuturkan, dengan perubahaan situasi saat ini sejatinya sektor Kesehatan memang harus menjadi prioritas utama dalam program CSR seluruh perusahaan di dunia.
Kondisi wabah Covid-19 yang telah menelan puluhan ribu korban jiwa. Tercatat hingga Senin 9 Mei 2020, jumlah kasus positif Covid-19 terkonfirmasi di Indonesia ada 13.645, 959 meninggal dunia, terdapat 199 negara dan wilyah di hampir seluruh dunia telah melaporkan kasus Covid-19.
“Pada tahun 2010, Isu kesehatan belum menjadi prioritas menurut data GlobeScan terkait prioritas CSR pemangku kepentingan Global . Karena pada saat itu masalah kesehatan belum terjadi signifikan, namun kini kondisi berbeda. Karena sejatinya yang mempengaruhi derajat Kesehatan masyarakat menurut Henrik L.Blum adalah Pelayanan Kesehatan, Lingkungan, Keturunan dan Perilaku. Pada masa pendemi Covid-19, pengaruh perilaku masyarakat menjadi dominan dan perlu diperhatikan,” pugkas pria yang bekerja di divisi CSR, PT Adaro Indonesia.
Kemudian Aan Nurhadi menjelaskan, salah satu peran profesi PR saat pendemi Covid-19 adalah menjadi agen perubahan sosial yang dapat menggerakan perusahan untuk bertindak lebih sebagai modal sosial masyarakat, seperti dapat menjadi tenaga kesehatan dalam penanggulangan Covid-19 dan merubah perilaku masyarakat untuk aware dengan corona virus.
Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan oleh PR dalam mempengaruhi perilaku masyarakat yaitu public policy, komunitas, organisasi, individual dan pendekatan interpersonal (keluarga, teman dan media). “Salah satu pendekatan yang efektif adalah dengan pendekatan interpersonal. Seperti melibatkan tokoh masyarakat, dalam memberikan informasi terkait virus dan menggerakan komunitas-komunitas yang ada di masyarakat,” papar pria asal Pelaihari, Kalimantan tersebut.
Disisi lain, dari sektor kajian Ilmu Komunikasi, selama pendemi Covid-19 banyak sekali penyebaran informasi Hoax, berita bohong (fake news) telah mengacaukan pemahaman kita tentang informsi Covid-19.
Penilaian masyarakat terkait kelambanan para pemangku kebijakan di banyak negara untuk mengambil keputusan dalam menyikapi pendemi ini juga menambah permasalahan. Untuk itu peran ilmu komunikasi sangat dibutuhkan, terutama penyampaian informasi yang jelas melalui Pers.
“Peran profesi PR harus bisa memberi informasi yang tepat dengan beberepa pendekatan seperti biologi komunikasi, human communicartion, family coomunication, instructional communication, interpersonal communication, political communication, health communication, dan new media. Dari semua pendekatan, pendekatan komunikasi interpersonal perlu di maksimalkan untuk menginformasikan hal terkait Covid-19 dan pendekatan biologi komunikasi serta komunikasi kesehatan dengan fakta-fakta ilmiah,” ujar pria yang menjadi Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, UB.
Kemudian diakhir, Antoni juga berpesan agar kita tak hanya fokus pada komunikasi saat terjadi pendemi Covid-19 namun juga masa recovery atau pemulihan nantinya. Sehingga masyarakat bisa benar-benar memahami tentang informasi Covid-19 secara utuh.
Informasi media dengan model investigasi lebih dalam juga masih diperlukan, meskipun wartawan dibatasi pergerakannya untuk memenuhi peraturan Physical Distancing di tengah pendemi virus corona.
“Mari kita bersama dengan semangat solidaritas masyarakat dalam konteks lingkungan untuk mengembalikan kondisi seperti semula. Kecermatan dalam memilah informasi juga sangat diperlukan agar tidak terjadi disinformasi pemahaman terkait pendemi COVID-19,” tutup pakar Ilmu Komunikasi kelahiran Bukit Tinggi tersebut. (*)
Discussion about this post