Oleh: A.S. Rosyid*
Aktivis mahasiswa tak pernah berwajah tunggal. Meski sama-sama mereka mengusung semangat perlawanan-pengabdian, atau berangkat dari satu lumbung ideologi, tetapi penghayatan tiap-tiap aktivis atas nilai, eksperimen mereka terhadap bidang kehidupan yang lebih luas, ketahanan mereka kala dicoba “ketidakpunyaan” dan digoda “kepunyaan” pastilah variatif. Tambah lagi perbedaan historisitas dan sentimen personal terhadap isu tertentu.
Perbedaan itu bisa mengantar aktivis pada dua keadaan ekstrem. Kita bersyukur bila melihat aktivis yang konsisten menjadi pribadi jujur, tetap kritis terhadap kebijakan anti-rakyat, tetap berkiprah di gerakan-gerakan akar rumput, dan tidak korup. Kita masygul mendapati aktivis yang menjadi garong kekuasaan, terlibat menyakiti rakyat kecil, menjadi penipu tengik atau pembual ulung, menimbun kekayaan dan mencari keselamatan sendiri.
Keadaan pertama memperlihatkan aktivis yang tidak kalah oleh ruang dan waktu, meski tak jarang kemenangan itu memaksa mereka hidup apa adanya. Keadaan kedua memperlihatkan aktivis yang iman-ideologisnya sebatas retorika, yang menyerah menghadapi cekikan hidup, yang frustasi melihat kenyataan―mungkin mereka tidak melihat jalan keluar yang logis sehingga mereka mengubah perspektif dan menerima kejahatan sebagai suatu kewajaran.
Terus terang, kondisi di atas bukan karangan. Saya pernah mendapati aktivis yang dulunya intelek dan hari ini menjadi penipu. Pernah pula saya dapati aktivis yang dulu konsisten membela rakyat namun kini berencana menyewa preman untuk mengintimidasi protes lokal atas suatu proyek. Persentase aktivis yang kalah, yang saya temukan, lebih besar daripada aktivis yang menang.
Bisakah hasil akhir proses aktivisme itu diidentifikasi sedari mereka menjadi mahasiswa? Agaknya sulit. Seseorang yang ingin menghabiskan waktu untuk itu membutuhkan data-data yang disebut di paragraf pertama, kemudian menganalisisnya dengan semacam check list. Namun buat apa menghabiskan waktu mengurus orang lain? Lebih baik menghabiskan waktu untuk berlatih menghadapi dunia pasca-mahasiswa.
George Orwell, penulis novel perlawanan Animal Farm, menulis empat jenis motif utama mengapa seorang penulis menulis. Empat motif itu, saya kira, bisa dipakai dalam konteks yang lebih luas selain proses kreatif menulis. Saya akan mencoba mengelaborasi empat motif itu untuk melihat ragam semangat dan pola sikap aktivis mahasiswa. Keempat motif itu adalah:
Pertama, Sheer egoism, yakni tipe aktivis bersemangat pamer. Mereka mengejar keuntungan citrawi di dunia organisasi (di mata junior perempuan, mungkin?). Tipe ini ingin terlihat pintar, ingin dibicarakan, ingin dikenang. Kadang saya dapati mahasiswa yang “pokoknya angkat tangan dan bicara kritis”, meski ia sendiri tak paham apa yang ia bicarakan dan audiens pun demikian. Tapi ada pula yang sungguhan cerdas dalam tipe ini.
Kedua, Aesthetic Enthusiasm, yakni tipe aktivis dengan positive vibes. Mereka punya semangat introspeksi, semangat berbagi, dan yakin dunia yang lebih indah bisa diciptakan lewat kerjasama yang inklusif kala mengabdi. Mereka mencintai persaudaraan serta cenderung menghindari primordialisme. Saling sikut politis dianggapnya tidak produktif dan tidak estetis. Biasanya, tipe aktivis semacam ini tumpul analisis kritisnya, dan naif.
Ketiga, Historical Impulse, yakni tipe aktivis yang punya ketertarikan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Mereka cenderung bersikap realistis. Kecenderungan ini memberi kemampuan taktis yang mumpuni (kadang aktivis harus mengeksekusi ide secepatnya dengan sokongan terbatas), tapi di saat yang sama, sikap realistis membuat tipe ini skeptis, dan hanya mau bekerjasama sepanjang punya faedah ril bagi dirinya sendiri.
Keempat, Political Purpose, yakni tipe aktivis yang berorganisasi dengan tujuan politis. Politis di sini dimaksudkan dalam makna yang seluas mungkin. Mereka berorganisasi dengan tujuan eksternal yang jelas, entah itu menciptakan perubahan ideal, mengacaukan tatanan, atau menggagalkan rencana lawan. Perbedaan dengan tipe kedua terletak pada fokusnys: tipe ini fokus pada misi sekalipun mungkin mengorbankan estetika ideal.
Empat motif tersebut tidak berjalan dalam hirarki yang harus dikuasai satu per satu. Lebih tepat untuk dikatakan empat motif itu ada di dalam diri setiap aktivis, tapi mungkin ada satu atau dua motif yang dominan. Manakah di antara motif tersebut yang ideal? Bukan tanggungjawab tulisan ini untuk menjawabnya. Mungkin elaborasi seimbang dari keempatnya yang merupakan motif ideal, tapi agak sulit mencapai itu tanpa refleksi kritis dan latihan keras.
Refleksi kritis dan latihan keras, tampaknya belum menjadi tren di kalangan aktivis mahasiswa
Aktivis mahasiswa banyak yang meremehkan daya intelektual. Maksud saya adalah habitus literasi yang baik, di mana seorang aktivis banyak membaca dan berdiskusi―dan menulis, bila perlu, sebagai salah satu cara menajamkan pikiran. Daya intelektual memungkinkan aktivis mahasiswa melihat situasi lebih jernih dan arif. Daya intelektual juga memperlihatkan berbagai alternatif yang bisa diikuti dan berbagai keinsyafan yang mesti dihindari.
Kemenyerahan aktivis menghadapi dunia pasca mahasiswa adalah karena ideologi yang diyakininya tidak terjalin teguh dengan cara berpikir yang ketat dan pengetahuan yang luas. Tapi faktornya bukan hanya daya intelektual. “Keterlatihan” adalah faktor penting berikutnya.
Seorang aktivis seyogiyanya melatih diri secara sadar untuk tahan lapar dan meyakini cara hidup tersebut sebagai kehidupan yang ideal. Kesederhanaan jangan sampai dilakoni dengan sebuah tekad pragmatis, bahwa suatu saat nanti fase “bersakit-sakit dahulu” itu akan membuahkan kesuksesan materil, dan ia akan membalas semua fase kesusahan itu dengan kesenangan-kesenangan hidup yang justru membuatnya tumpul.
Tapi tentu, dengan mengemukakan ajaran kesederhanaan itu bukan berarti saya menyerukan bahwa aktivis harus anti rejeki. Banyak orang yang berjuang mencapai taraf hidup yang lebih baik dari sebelumnya, entah dengan cara menjadi pegawai atau menjadi pengusaha. Itu semua sah. Namun tetap ada batas ketat dalam rejeki: rejeki seyoginyanya tidak membuat seseorang kalap menimbun atau kalap berebut sampai membuat saling sikut.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Reading Group for the Social Transformation,
Pendiri Perpustakaan Djendela Kota Mataram.
IG/Twitter: @asro.syid/@asro_syid
Discussion about this post