Sebagai manusia purba, aku terbiasa berkelana jauh untuk menjelajahi ruang yang megah, mengarungi waktu yang entah dan menengadah ke langit yang pemurah. Hingga suatu saat aku terjebak ke dalam lubang dimensi waktu dan terlempar menuju zaman kehidupan modern.
Kehidupan yang begitu gilang gemilang dan dipenuhi oleh mesin roda bergerigi yang terprogram. Begitu pentingnya mesin tersebut hingga manusia pun menjadi tak berguna. Jiwa-jiwa mereka menjadi rusak, terabaikan dan ditinggalkan.
Sementara itu, di sudut daerah lain, yang tinggal hanyalah debu, darah dan marah. Desing logam menyayat-nyayat di setiap menitnya. Ribuan keranda yang tersedia telah penuh sesak dengan mayat-mayat tak berdosa.
Di tempat yang sama, orang-orang berdiri di sebuah lingkaran. Menari dengan mata terpejam. Mereka tertawa-tawa di balik sempitnya ruang bahagia dan sekaratnya jiwa. Bunga tak lebih berarti daripada umpat benci dan caci maki.
Selangit penuh mendung memperingatkan. Aku tak kuat melihat tamasya ini. Ingin rasanya kuajak mereka yang merasakan serupa. Kujemput jiwanya di rumahnya dan kita pergi dan berlabuh di mana saja.
***
Aku berhasil kembali ke zamanku. Lantas aku memutuskan untuk mendirikan tempat tinggal sementara di lembah yang dilewati oleh sungai Bengawan Solo. Orang modern menyebut daerah tempat tinggal ku dengan nama Situs Sangiran.
Tak ada pagar besi, tembok semen, lantai marmer, lampu LED yang berkilau, ataupun sebongkah mesin mekanik yang mampu mengubah udara menjadi dingin. Cukup dikelilingi alang-alang, berdindingkan bebatuan, berlantaikan tanah dan disinari obor api yang menyala-nyala.
Rumahku sangat sederhana. Toh aku mendirikan rumah hanya untuk beristirahat sembari sesekali bersenggama. Jika ada orang yang menyebut rumahku sebagai rumah mewah, maka sungguh itu adalah fitnah yang keji. Ingatlah, fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.
Maka jangan harap ada kesan aesthetic ketika singgah ke rumahku. Karena bagiku seindah-indahnya rumah adalah bagaimana kebahagiaan orang yang tinggal di dalamnya. Jadi buang saja hasratmu untuk menemukan spot menarik guna di upload di Instagram.
Aku juga sengaja tak membangun dapur dan toilet. Bahan makanan yang kubutuhkan sudah tersedia lengkap di alam rimba. Mulai dari yang mengandung vitamin, karbohidrat, zat besi, micin, hingga nutrisi-nutrisi lainnya. Aku tinggal mengambil dan mengumpulkannya sesuka hati sesuai kebutuhanku.
Ketika aku memanfaatkan dan memuliakan alam sebaik-baiknya, aku berkeyakinan alam juga akan memperlakukanku sedemikian rupa. Jadi aku tidak perlu impor bahan makanan dari berbagai daerah karena persediaan makananku terjaga.
Rasa dahaga pun tak punya tempat di tenggorokanku. Air bersih begitu melimpah. Sungai masih bisa menunjukkan kehidupan bawah airnya. Sumber mata air diselimuti lumut yang menandakan betapa konsistennya debit air yang keluar. Jadi mana mungkin aku terkena penyakit kolera, disentri maupun diare.
Aku selalu menghabiskan waktu berjam-jam untuk berendam di sungai sambil menarasikan syair Farid Stevy seraya melihat burung elang yang menyambar ular di ranting pohon cemara. Sesekali juga aku ditemani berang-berang yang bergerak lincah menyusuri arus sungai untuk mencari ikan.
Bagiku waktu adalah kebahagiaan. Cukup hentikan omong kosongmu ketika memberikan nasehat waktu adalah uang. Banyak orang modern yang mengkaitkan segala sesuatu dengan uang. Padahal film Keluarga Cemara telah memberikan petuah bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga.
Aku menjadi sangat bersyukur ketika lingkunganku belum dieksploitasi kapitalisme dan segala macam kerabat dekatnya. Aku cukup menjadi diriku sendiri, dengan kemerdekaan yang selayaknya kumiliki. Tanpa berideologi pun nyatanya aku bisa hidup bahagia.
***
Aku hidup di zaman di mana hutan masih asri, pohon masih berbuah, sungai masih jernih, udara masih segar, dan hewan-hewan masih menganggap manusia sebagai teman kolektifnya. Aku tidak pernah merasakan bencana banjir, tanah longsor, kekeringan hingga busung lapar.
Aku hidup di zaman di mana bertahan hidup adalah satu-satunya prinsip yang berlaku bagi semua makhluk. Tidak hanya manusia, hewan dan tumbuhan pun memiliki hak untuk melangsungkan kehidupannya.
Aku hidup di zaman di mana perdamaian berada di atas segala-galanya. Corak kehidupanku yang berkelompok tidak di dasarkan atas konflik dan persaingan, melainkan dimaksudkan untuk memudahkan kerja-kerja kolektif demi tercapainya kebutuhan kelompok.
Saling peluk selayak saudara. Saling jaga seperti keluarga. Berbagi cinta berbagi bahagia. Aku adalah Meganthropus dan aku hidup di zaman edan. Karena ketika kamu hidup sezaman denganku, kamu bisa menjadi gila karena terlalu bahagia.