Oleh: Nurudin*
Sebagai seorang anak yang lahir di desa, saya merasakan betapa riangnya jika pemerintah menaikkan gaji. Bapak saya biasanya akan beli makanan sebagai rasa syukur atas kenaikan gajinya itu. Maklum juga di desa kami jarang makan makanan yang enak sebagaimana orang kota.
Bapak saya seorang guru desa dengan pangkat mulai dari golongan I. Lalu, ia meninggal dunia pada tahun 1991 dalam usia 48 tahun saat mencapai golongan II-C. Ibu saya, seorang petani menerima limpahan pensiunan bapak saya itu. Tentu pensiun janda Pegawai Negeri Sipil (PNS) tak sebanyak dengan pensiunan PNS.
Namun, PNS di desa meski gaji sedikit sangat dihormati. Apalagi seorang guru. Ia dianggap orang yang pinter, padahal menurut saya biasa saja. Mungkin karena punya atribut “abdi negara” sebagaimana motto PNS.
Namun menjadi PNS juga tidak enak-enak amat. Mereka harus menuruti keinginan pemerintah, salah satunya harus mencoblos Golkar (partai penguasa waktu itu). Bapak saya memang PNS, tetapi ia tidak mau memilih Golkar. Ternyata, aktivitas bapak saya itu diketahui atasan, akhirnya kena mutasi beberapa kali.
Meskipun kena mutasi, saat kenaikan gaji dari pemerintah tetap akan ikut menikmati. Zaman Orde Baru (Orba) semua kebijakan bernuansa politis, termasuk kenaikan gaji tersebut. Semua yang dianggap menjadi ancaman pemerintah akan “dijinakkan”. Tak terkecuali dengan iming-iming kenikmatan materi.
Gaji Naik
Saat ini, ibu saya tentu gembira karena pemerintah mau menaikkan gaji PNS dan pensiunan. Sebagaimana diberitakan oleh media massa, semua PNS dan pensiunan akan menerima kenaikan gaji sebesar 5% mulai April 2019. Mereka yang akan merima itu terdiri dari PNS pusat, daerah, TNI, dan Polri.Ketentuan tersebut mulai berkalu sejak 1 Januari 2019. Peraturan kenaikan gaji itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas Atas Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.
Orang desa tentu sangat sederhana berpikirnya. Siapapun yang menjadi kepala pemerintahan ia akan senang seandainya ada kenaikan gaji. Meskipun kenaikan gaji ini jelas akan menambah konsumsi dan akan mendorong barang-barang kebutuhan ikut naik. Orang desa tidak peduli, apakah presiden yang menaikkan itu pilihannya dulu atau tidak. Semua dinikmati dengan rasa syukur. Rasa syukur ini yang merepotkan jika berurusan dengan konsumsi. Dan orang desa tidak bisa menghindar dalam hal ini. Sering memakai ajimumpung. Mumpung punya uang.
Karena sederhana, soal politik pun tidak macam-macam. Saat saya pulang mengenguk ibu saya (20 Februari 2019) di desa (Cepoko, Trirenggo, Bantul, Yogya) paklik (om) saya bercerita bahwa kebanyakan warga desa akan memilih calon anggota legislatif X.
“Kenapa paklik?“ tanya saya ingin tahu.
“Ya, karena ia telah berbuat nyata. Membantu warga membuat jalan, “jawabnya sekilas.
“Apa yang lain tidak?”
“Yang lain cuma modal gambar saja.”
“Berarti akan memilih yang membantu pembangunan jalan?”
“Iya”
Sederhana sekali pemikiran orang desa. Tidak usah saling menjelekkan satu sama lain. Jauh dari hiruk pikuk perseteruan sebagaimana para pendukung Calon Presiden (Capres). Namun demikian, kesederhanaan berpikir ini dimanfaatkan secara sepihak oleh para calon pejabat. Masyarakat desa tentu senang dengan bantuan. Itu konkrit. Maka, ada kemungkinan besar calon yang mempunyai dana besar akan mendapat simpatik warga desa.
Kepentingan Politik
Orang yang berada di kota tentu tidak boleh marah. Namanya saja orang desa dengan pemikiran sederhana. Maka, para kandidat yang sebenarnya ramai dan populer di media massa belum akan terjamin ia akan terpilih. Ia hanya populer di media massa. Tak terkecuali kandidat yang populer di survei-survei yang sudah dipolitisir itu. Ia bisa jadi populer di lembaga survei tetapi jangan remehkan keberadaan orang desa yang sangat mungkin tidak dijadikan sampel survei tersebut.
Setiap survei tentu mempunyai kepentingan tertentu. Mengapa lembaga itu gencar menyebar survei jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pemilihan? Lembaga survei tersebut berharap hasilnya akan ikut memengaruhi opini masyarakat. Maka, banyak lembaga survei yang memang dibiayai untuk memenangkan calon.
Setiap orang yang punya keinginan tentu punya maksud. Setiap kandidat dengan berbagai cara akan melakukan tindakan untuk memenangkan kompetisi. Seorang kandidat dari Petahana tidak akan bisa lepas dari kepentingan pula. Ia punya apa? Ia punya aparat dan perangkat undang-undang. Maka, ia bisa menggunakan sepihak untuk menuju kemenangan. Petahana mana pun akan punya kecenderungan memanfaatkan jabatannya. Intinya adalah, berbagai cara bepeluang dilakukan.
Apakah itu juga tidak dilakukan oleh opisisi? Pasti. Mengapa kalangan oposisi dekat dengan berita hoaks? Karena dengan cara itu dianggapnya bisa memenangkan kompetisi. Jadi, oposisi tugasnya menyerang, sementara itu tugas Petahana menampilkan prestasi dan hasil kerjanya. Tentu ini tidak bisa dibalik. Semua punya tugas sendiri-sendiri. Dimanapun, pada siapapun, dan kondisi seperti apa pun.
Bagaimana dengan kenaikan gaji menjelang Pemilu? Tentu, tak jauh dengan kepentingan politik. Ini tidak salah karena memang pemerintah yang mempunyai wewenang menaikkan haji PNS, misalnya. Masalahnya, kenaikan itu akan dianggap sebagai kepentingan meraih popularitas. Apalagi menjelang Pemilu. Ini tidak bisa diingkari. Sekali lagi, siapapun dan di kondisi apapun.
Yang jelas, kenaikan gaji dari pemerintah itu akan disambut dengan riang gembira oleh ibu saya. Pensiunan janda PNS yang hidup di desa. Maka, alangkah enaknya jika Pemilu diadakan setiap tahun karena ibu saya akan berkemungkinan menerima kenaikan gaji juga.
*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, Fisip,
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Twitter/IG: nurudinwriter
Discussion about this post