Oleh: Yogi Timor Ardani*
Sumpah pemuda adalah ruh penggerak kolektifitas pemuda untuk bersatu mendamaikan adanya perbedaan. Perbedaan ini awalnya mensparasi setiap kelompok dalam hal ras, suku, budaya, dan agama. Kini, sejak lahirnya sumpah pemuda, kesadaran akan adanya prinsip keterhubungan lingkup nasional akan menemani perjalanan setiap jaman para pemuda. Detailnya, spirit yang lahir dari Kongres Pemuda I dan II mengandung tiga substansi, yakni bahasa, nasionalisme, dan patriotisme. Pada konteks yang ada disini, bahasa berfokus dalam menerjemahkan fenomena sebagai sebuah tanda (sign) dalam logos (pemikiran) tentang sumpah pemuda dan tantangan di era kosmopolitan (masyarakat dunia). Sedangkan nasionalisme dan patriotisme mengindikasikan adanya rasa cinta bangsa atau tanah air tanpa merendahkan kehadiran negara lainnya. Oleh karenanya, nasionalisme dan patriotisme ini dibutuhkan mengingat kemajemukan yang ada. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas ‘Bahasa’ sebagai medium penguat nasionalisme dan patriotisme di era sekarang.
Bahasa Indonesia dalam Sumpah Pemuda
Bahasa secara khusus dikaji dalam ilmu linguistik, atau dikenal dengan semiotika. Semiotika, secara epitimologis (bahsasa) berasal dari bahasa Yunani semesion, yang artinya sign (tanda). Secara terminologis (istilah) dipahami sebagai studi tentang tanda atau epistimologi yang mengkaji tentang eksistensi atau kenyataan atas tanda dalam lingkungan sosial. Bahasa sebagai tanda juga tidak hanya mengandung makna denotatif (makna sesungguhnya), karena terdapat makna lain juga yang disebut konotatif (makna lain). Artinya, bahasa tidak hanya mengungkap makna definitif dari suatu objek. Fenomena sebagai peristiwa yang dialami oleh manusia juga selalu terhubung dengan tanda-tanda. Indonesia, melalui bahasa Indonesia tentu saja akan kesulitan dalam berkomunikasi apabila tidak mengalami kesamaan bahasa dan pengalaman yang sama. Adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) asal Swiss disebut sebagai salah satu filosof yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan Semiotika. Maka tidak heran ia disebut sebagai Bapak Semiotika Modern.
Salah satu pendekatannya adalah tentang Theory of Sign. Terdapat banyak sistem tanda di dunia, salah satunya adalah bahasa. Akan tetapi, menurutnya sistem tanda bahasa adalah sistem tanda yang menempati tingkatan tertinggi. Realitas tidak menentukan bahasa, melainkan bahasa sebagai tanda lah yang mengkonstruksi realitas. Ia meletakkan fokusnya pada bahasa sebagai sistem dan struktur bahasa yang bersifat abstrak dan dijadikan acuan komunikasi (language) serta bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari (parole). Bahasa sehari-hari yang digunakan dalam berkomunikasi inilah yang olehnya disebut sebagai representasi dari Language.
Teks dalam sumpah pemuda merupakan language yang mana setiap individu memiliki metode sendiri dalam menafsirkan dalam keseharian selama tidak keluar dari teks sebagai panduan kita. Karena, muatan yang terkandung di dalamnya tentu akan memiliki makna yang berbeda apabila sepenggal kata atau kalimatnya diganti. Pada saat kongres pemuda berlangsung atau masa sebelumnya, dimana bahasa Indonesia belum digunakan sebagai bahasa formal dan resmi, bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah, atau melayu dengan beragam dialeg. Sedangkan untuk para cendikiawan pada umumnya menggunakan bahasa Belanda sebagai representasi kaum terdidik. Peranan kegiatan politik, perdagangan, per-surat kabaran, dan majalah sangat besar untuk memodernkan bahasa Indonesia yang dikukuhkan melalui UUD 1945.
Nasionalisme dan Bahasa Indonesia
Manusia adalah satu-satunya spesies yang memiliki kemampuan untuk memahami dua realitas, yaitu skemata dan verbal. skemata artinya alam fisik dimana kita mengindra tentang benda-benda, bunyi, warna, tempat, dsb. Manusia sendiri memiliki kelebihan dengan kemampuannya mengada atau menciptakan sesuatu untuk mememuhi keterbatasannya. Kita tentu ingat bahwa B.J. Habibi adalah seorang tokoh yang mampu menemukan cara mengurangi dampak gesekan pada pesawat atau kereta api.
Bahasa sebagai alam verbal terbagi ke dalam tiga wilayah verbal. Pertama kata-kata untuk menyebut sebuah objek dan benda. kedua, wilayah evaluasi yang kita gunakan untuk menjelaskan kata sifat atau mengevaluasi kata-kata. ketiga, wilayah ide atau abstraksi yang melahirkan konsep demokrasi, pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, atau bahkan nilai dari sumpah pemuda itu sendiri, dsb. Dengan kata lain, bahasa adalah verbal yang dimiliki manusia sebagai tambahan indera yang dipakai untuk memahami keutamaanya memahami realitas objektif (skemata), atau , ide dan abstraksi yang bernilai subjektif.
Manusia hidup dalam lingkungan sosial, beragam bentuk relasi dimensi ekonomi, sosial, politik terbentuk. Tidak mungkin untuk bisa menyelaraskan suatu kebijakan dari pemerintah, menyelesaikan konflik sosial atau ekonomi tanpa ada medium bahasa. oleh karena itu, kita membutuhkan apa yang disebut sebagai Shared Myth, yakni bahasa untuk saling memahami setiap rasionalitas individu (intersubjektif). Bahasa berfungsi untuk menyampaikan sebuah mitos bersama kepada manusia lain, dan menciptakan ikatan emosional di dalamnya.
Globalisme dan Nasionalisme
Globalisasi telah membawa pengaruh yang besar terhadap berbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, dan teknologi. Globalisasi berperan besar dalam proses penyebaran barang dan jasa berskala global. Melalui perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi, serta konstelasi politik global semakin mampu mempercepat arus globalisasi. Dalam ranah ekonomi, globalisasi menyumbangkan wacana kuat terhadap tersedianya capital flows, perdagangan, investasi. Namun disisi lain juga melahirkan gerakan-gerakan seperti kaum buruh yang menginginkan adanya keadilan atas ketidakstabilan yang dihadirkan didalam globalisasi. Faktor ekonomi berupa perdagangan bebas dan inivestasi inilah yang mengawali adanya dampak berkesinambungan terhadap bidang lainnya.
Kesejahteraan dan kemiskinan merupakan isu yang selalu tidak akan ada habisnya untuk dibahas. Agenda-agenda internasional telah diupayakan melalui keterlibatan negara dalam sistem internasional. Akan tetapi, kemiskinan dan kesenjangan masih tetap menjadi persoalan yang belum bisa diselesaikan secara memuaskan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara belum tentu menjamin adanya kesejahteraan dan kemakmuran dirasakan secara universal. Golongan-golongan elit yang berjumlah relatif sedikit justru menjadi penikmat pertumbuhan ekonomi yang berada di wilayah tersebut.
Selain itu, dalam hal imigrasi, globalisasi juga dari suatu negara ke negara lain menjadi salah satu isu yang diperdebatkan, baik dari negara asal ataupun negara tujuan imigrasi tersebut. Suatu wilayah dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni atau skill dalam bidang tertentu akan memilih untuk pindah dari negaranya. Perpindahan ini disebabkan karena individu tersebut memilih kehidupan yang lebih layak di negara lain, begitu juga sebaliknya, masyarakat dengan keterbukaan yang cukup luas bebas memilih pindah ke negara mana saja yang dikehendakinya.
Globalisasi juga membawa pengaruh yang cukup besar dalam mengembangkan kemampuan manusia dalam berbagai bidang. Pengaruh tersebut, selain dampak positif terdapat juga dampak negatif. Dintara dampak negatif tersebut adalah terjadinya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi yang berlebihan demi memenuhi kebutuhan manusia. Adanya laju industrialisasi yang pesat demi memakmurkan kehidupan masyarakat dunia memang tidak jelek, akan tetapi perlu dipertimbangkan kembali dampak yang diakibatkan demi generasi mendatang dan tanggung jawab bersama.
Terkhusus dalam konteks budaya, globalisasi dan pengaruhnya terhadap budaya dibagi ke dalam tiga konsep utama, yaitu, cultural differentiation, cultural convergence, and cultural hybridization. Ketiga pengertian tersebut memiliki pengertiannya masing-masing, dan merupakan konsep yang terlahir dari globalisasi. Dampak positif dan negatif tidak terlepas satu sama lain, dimana skeptisisme lebih memandang globalisasi sebagai pengertian yang mengarah pada kerusakan budaya tertentu atas lokalitasnya.
Bahasa Indonesia dan Spirit Sumpah Pemuda
Layaknya dua mata koin, globalisasi membawa nilai universal membuat kita semakin termudahkan dalam berbagai aktivitas, dan disisi lain, juga mendesak suatu bangsa untuk tunduk pada hegemoni pasar global. Bahasa Indonesia, seperti yang telah tertuang di atas berfungsi sebagai pembendung terhadap arus yang bahkan tak terkontrol oleh tapal batas negara berdaulat sekalipun. Bahasa Indonesia memiliki daya ikat yang kuat secara kognisi dan emosional. Produk asing akan kesulitan untuk masuk pangsa pasar Indonesia jika eksistensi bahasa Indonesia masih ada. Contohnya adalah pada industri konten media, film, literatur, musik, buku, dsb.
Industri film lokal dan asing di Indonesia, misalnya, meskipun film asing yang berasal dari Eropa, Korea, China, dan seterusnya menempati jumlah penonton yang tinggi. Film lokal masih tetap menjadi tontonan yang masih relevan hingga sekarang. Untuk diketahui, berdasarkan data dari Pusbang Film Indonesia yang dirilis tahun 2019 tercatat bahwa per tahun 2018 ada sekitar 129,5 juta penonton film bioskop. Sebanyak 64 persen di antaranya (82,9 juta) menonton film asing, sementara 36 persen lainnya (46,6 juta) lebih tertarik untuk menonton film lokal. Apalagi sinetron, dengan kualitas sebagai tontonan yang cenderung monoton. Karena faktor bahasa asing yang kurang dipahami masyarakat Indonesia, akhirnya film Indonesia masih tetap menjadi pilihan tontonan yang relevan.
Sama halnya dengan konten berita, atau bacaan teks lainnya. Kita lebih memilih untuk membaca berita media lokal, seperti Kompas dan Tirto, daripada membaca CNN dan BBC, padahal keduanya sama-sama gratis. Pun berupa buku fiksi ataupun non-fiksi, buku berbahasa Indonesia masih lebih banyak disukai untuk dibaca.
Dengan demikian, bahasa memberikan proteksi terhadap pasar bebas yang tidak selamanya berdampak baik untuk masyarakat. Bahasa Indonesia menempati posisi yang strategis sebagai elemen nasionalisme dari pengaruh pasar bebas dan investasi global yang tak terbendung oleh langkang protektif negara.
Meski demikian, bahasa asing, terutama Inggris tidaklah salah untuk dijadikan sebagai bahasa yang menandai identitas kita sebagai masyarakat global. Menegasikan bahasa Asing berarti juga menegasikan banyak hal informatif yang tidak bisa kita peroleh hanya bermodalkan Bahasa Indonesia saja.
*Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional,
FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
IG:_yogii_ta
Referensi
Buku:
Kagan, Jerome. 2016. On Being Human: Why Mind Matters. London: Yale University Press.
Jurnal:
Irlanie, Cania Cita. 2018. Perlukah Deliberately Melestarikan Bahasa Indonesia?. Diakses dalam
https://salihara.org/archives/text/20181017cania
Berita:
Clintten, bill. 2019. GoJek Beberkan Alasan Film Indonesia Sedikit Penonton. diakses dalam https://tekno.kompas.com/read/2019/09/26/16110097/gojek-beberkan-alasan-film-indonesia-sedikit-penonton
Discussion about this post