Coba sekali-kali Anda baca buku karya Spencer Johnson berjudul, Who Moved My Cheese? Jika longgar. Buku ini menggugah orang untuk wajib berubah. Dengan catatan jika ia tetap ingin maju.
Saya jadi ingat sebuah pepatah lama yang diyakini kebenarannya, “Ada dua hal yang membuat kita bisa bersaing yakni siap berubah dan berbeda dari yang lain”.
Nah, buku itu mengajarkan bagaimana kita berubah. Bahkan penulis mengatakan secara bombastis, “Jika Anda tidak berubah maka Anda akan punah”.
Cerita singkat buku itu begini. Buku itu sebenarnya hanya sebuah cerita saja. Ceritanya ada empat tokoh yang sedang terlibat aktif menjadi cheese (keju) dalam sebuah labirin.
Empat tokoh itu diperankan oleh Hem (kaku), Haw (aman), Sniff (endus) dan Scurry (lacak). Dua orang yang pertama diwakili dua kurcaci (otaknya hampir sama dengan manusia).
Sementara dua yang terakhir diwakili oleh dua ekor tikus. Keempat makhluk itu dengan caranya masing-masing berkompetisi mencari cheese.
Nah, ada perbedaan antara Sniff dan Scurry dengan Hem dan Haw. Sniff dan Scurry lebih banyak menggunakan model trial and error dalam mencari keju. Mereka berlari dari satu lorong ke lorong yang lain.
Saat berlari, mereka mengingat lorong mana yang tidak menyimpan keju. Jika tidak ada ia akan berlari cepat mencari lorong lain. Terus begitu.
Sama dengan dua tikus di atas, Hem dan Haw juga menggunakan kemampuan berpikir dan belajar dari pengalaman. Mereka juga mengembangkan sebuah metode bagaimana caranya menjadi keju.
Dua kurcaci ini kadang berhasil dalam mengatasi persoalan yang sedang dihadapi, tapi seringkali keduanya mengedepankan emosi.
Sehingga sering mengaburkan cara mereka untuk melihat suatu persoalan. Dua tikus dan kurcaci punya perbedaan-perbedaan dalam usaha mencari keju.
Pada suatu saat, Hem dan Haw tiba pada sebuah tempat yang ada keju (sebut saja cheese station C). Mereka tentu sangat senang karena usahanya berhasil.
Karena senangnya, mereka ingin menetap di daerah itu untuk membangun sebuah peradaban. Mereka sudah cukup puas dengan keju yang berlimpah di daerah itu. Karenanya, mereka terjebak dalam kenyamanan.
Buntutnya tak menyadari adanya perubahan-perubahan di sekitarnya. Juga, tak memperhatikan perubahan kecil yang terjadi setiap hari.
Mereka sudah cukup puas dan terlena dengan keju-keju yang berlimpah ruah. Mereka berkesimpulan bahwa keju itu akan cukup selama hidup mereka.
Lain lagi dengan Sniff dan Scurry. Mereka rutin terus mencari keju. Mereka berangkat pagi, mengendus, mencakar dan melacak di daerah sekitar yang dilalui sekitar cheese station C.
Mereka mencermati apakah ada perubahan dibanding hari kemarin? Baru kemudian mereka memakan keju yang didapatkannya.
Mereka sadar (beda dengan Hem dan Haw) bahwa persediaan dan simpanan keju lama-kelamaan akan menipis lalu habis. Mereka memutuskan untuk terus mencari keju-keju yanag lain.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Keju di stasiun C akhirnya habis juga. Hem dan Haw bingung setengah mati. Mereka mencari sebab musabab, berdiskusi kenapa kejunya sampai habis.
Mereka juga menyalahkan bahwa fakta yang ada itu tidak adil. Mereka berteriak-teriak keras, “Who moved my cheese? (siapa memindahkan keju saya?).
Kedua kurcaci terus berdebat, tetapi tak berbuat apa-apa. Akhirnya rasa takut mulai menghampiri mereka. Mereka terus mengomel, mengutuk dan memprotes ketidakadian yang menimpanya. “Who moved my cheese?, “Teriak mereka terus-terusan sambil kebingungan”.
Lalu apa yang terjadi dengan Sniff dan Scurry? Mereka bergerak cepat dan bekerja keras. Mereka sudah punya pengalaman melihat perubahan di sekitar.
Karena kesadarannya mereka terus mencari keju. Kerja kongkrit. Akhirnya sampailah dua tikus itu di cheese station N.
Tempat ini lebih banyak kejunya dibanding C (sesuatu yang tak pernah diduganya). Banyak keju lezat, juga berbagai macam bentuk.
Meski dua tikus itu merasakan berlimpah keju di stasiun keju N, tetapi pengalaman mengajarkan mereka tetap harus waspada.
Bahwa sangat mungkin perubahan akan terus terjadi. Mereka harus cermat. Mulailah mereka membau keju, jangan-jangan sudah bau. Jika ada indikasi sudah bau mereka harus memutuskan mencari keju di tempat lain. Intinya tidak boleh terlena.
Pandemi

Nah, apa pelajaran menarik dari cerita di atas? Buku tentang Who Moved My Cheese? itu begitu fenomenal. Apa yang dilakukan Sniff dan Scurry menohok banyak orang.
Kurcaci yang merasa hebat dari tikus saja akhirnya kalah. Karena apa? Terlena dan tidak memahami dan menyadari perubahan yang terus terjadi.
Lalu apa kaitannya dengan pandemi covid-19? Pendemi itu keniscayaan. Sesuatu yang sudah pasti terjadi. Perubahan juga pasti akan terjadi.
Perbedaan pra dan pasca pademi pasti ada. Tak bisa dipungkiri. Sekarang masalahnya, kita mau seperti Hem dan Haw atau Sniff dan Scurry?
Jika kita pasrah saja dengan keadaan pandemi ini maka kita mengikuti cara kurcaci. Semua hanya mengikuti apa yang terjadi. Disuruh dirumah ya mungkin hanya di rumah.
Rebahan, tidur, makan, kuliah daring, mengajar daring, menonton youtube, menonton televisi dan aktivitas yang sebenarnya sudah pernah kita lakukan sebelumnya.
Hanya kuantitasnya saja lebih banyak. Kalau begini saja, siap-siap kita tidak akan menjadi “manusia baru” pasca pandemi. Tak bisa mengambil manfaat dan hikmah dari pandemi.
Semua hanya dilakui dengan datar-datar saja. Ibarat beribadah, kita hanya berusaha menggugurkan kewajiban semata.
Sekarang saya mau tanya, berapa buku yang sudah Anda baca selam pandemi? Ini hanya contoh soal kecil. Tentu bukan hanya soal buku yang perlu dikaitkan dengan pandemi.
Pertanyaan ini layak disodorkan pada sivitas akademika. Anda tidak perlu menjawab. Jawaban itu sudah mencerminkan apakah kita berperilaku seperti tikus atau kurcaci.
Mengapa membaca saya tekankan? Karena membaca akan mengubah banyak hal. Tidak percaya? Coba Anda baca buku Who Moved My Cheese ? Sebagaimana ceritanya saya singgung sedikit.
Apakah akan ada perubahan setelah membaca? Jika tidak, berarti Anda berada di zona aman dan tak sadar akan perubahan yang terjadi. Mirip Hem dan Haw.
Intinya, apa hal baru yang kita dapat dari pandemi untuk menyiapkan diri pasca pageblug ini? Banyak wacana memang penting tetapi jika hanya menyalahkan keadaan tak ada manfaatnya.
Emosi dengan tak bisa mengambil manfaat era pandemi juga membat seseorang merugi. Menjadi robot dengan membela habis-habisan kebijakan pemerintah atau mengkritik membabi buta sama perilakunya dengan Hem dan Haw.
Pandemi itu keniscayaan. Tak ada yang bisa menolak. Yang penting apa yang harus dan sudah kita lakukan? Mari kita instrospeksi diri mumpung belum terlambat, bukan?
Discussion about this post