Oleh: Arif Gustian Bedda*
Semakin pesatnya perkembangan media yang dibarengi dengan canggihnya teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan terjadinya perubahan secara cepat dimana-mana. Dengan kemampuannya menjangkau massa dalam jumlah yang cukup besar, informasi dari media akan dapat menembus populasi yang besar pula. Hal ini merubah cara pandang seseorang dalam menanggapi dan memahami informasi tersebut.
Sementara itu, masyarakat cenderung kurang memikirkan bagaimana kredibilitas sumber informasi yang tersebar. Alhasil berita yang muncul memiliki kemungkinan untuk menjadi berita yang mengandung ketidakbenaran. Berbagai macam informasi yang diberikan dinilai dapat membawa pengaruh positif dan negatif. Dengan demikian, pengaruh media memiliki kemampuan untuk mengarahkan dan membentuk opini masyarakat.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa cara pandang manusia cenderung ditentukan oleh banyaknya informasi yang diterima. Faktanya, kita dapat membentuk opini publik melalui banyaknya informasi yang tersampaikan. Ketika satu kelompok tertentu ingin mendiskreditkan kelompok lain, hal yang dilakukan cukup membanjiri informasi di media dengan hal-hal buruk sesuai dengan apa yang diinginkan. Begitu pula sebaliknya, jika suatu kelompok ingin membangun image positif terhadap dirinya, cukup dengan membanjiri informasi yang positif melalui media.
Sebagai contoh kasus, dalam rapat paripurna DPR RI mengusulkan agar mempercepat pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di tengah situasi pandemi Covid-19. Dengan alasan DPR memiliki tugas konstitusional yang tetap harus dijalankan sebagai wujud penyelenggaraan kedaulatan rakyat. Padahal, reaksi sebagian besar masyarakat (khususnya kaum pekerja) menolak pengesahan RUU Cipta Kerja karena isi dari aturan yang masih kontroversi, tidak masuk akal, dan cenderung berpihak pada pemilik modal. Lantas rakyat mana yang harus berdaulat?
Di sisi lain melalui media elektronik atau media sosial, informasi yang terus menerus disampaikan mengenai pandemi Covid-19 justru membuat masyarakat mengalami ketakutan berlebihan. Lebih jauh lagi menimbulkan hal negatif, bahkan memunculkan istilah baru, yaitu “Hari ini, kentut lebih bermoral dibanding batuk”. Hal tersebut tidak akan menjadi berita yang dibicarakan kalau kita tidak hidup di era kebebasan pers dan media.
Sulit sekali untuk menyembunyikan kebobrokan perilaku dewasa ini. Informasi dan berita tidak mengenakan akan dapat dengan mudah tersebar melalui media sosial, internet, dan bentuk pemberitaan lainnya. Dimana pemberitaan media ini sangatlah efektif dalam membentuk opini publik akan suatu hal. Sehingga media memainkan peran penting dalam berpolitik. Peningkatan posisi tawar-menawar akan sangat tergantung kepada seberapa besar kita dapat mempengaruhi opini publik untuk dapat berpihak kepada kita.
Informasi yang disampaikan dalam media tidak selamanya objektif atau apa adanya. Seringkali terdapat bias informasi. Beberapa sumber informasi dapat terjadi baik dari sisi media ataupun masyarakat. Media adalah salah satu sumber bias informasi. Jurnalis sebagai salah satu entitas media seringkali menafsirkan secara berbeda mengenai informasi yang diterima dari sumber informasi. Tafsiran jurnalis mempunyai peran yang lebih besar ketimbang informasi dari sumber yang ditulis dan dipublikasikannya.
Hal ini membuat pemberitaan bisa melenceng (ex: hoax) dari apa yang sebenarnya terjadi atau dikatakan. Informasi yang diterima dari sumber begitu beragam dan kalau sumbernya lebih dari satu, bisa jadi informasi yang muncul terkadang kontradiktif satu dengan yang lain. Pemilihan informasi mana yang akan diterbitkan akan sangat tergantung pada nilai, paham, ideologi, dan sistem moral yang di anut oleh media dan editor terkait.
Bias persepsi juga dapat terjadi dari sisi masyarakat, dalam diri setiap individu terdapat kerangka acuan yang akan menetukan cara mereka berpikir dan bersikap dalam satu hal, biasanya hal ini dapat bersumber dari latar belakang pendidikan, ekonomi, pekerjaan, daerah dan keluarga yang ikut membentuk cara berpikir mereka. Karenanya, informasi yang sama dapat diartikan berbeda oleh setiap individu.
Akibat berikutnya, informasi yang diberitakan oleh media akan diterjemahkan dan disikapi dengan cara beragam pula. Hal ini juga dapat semakin menjauhkan jarak informasi yang sebenarnya dengan penafsiran yang dibangun dalam masyarakat. Ada kalanya, dalam konteks media elektronik menciptakan satu kondisi dimana sesuatu yang semu dianggap lebih nyata dari pada realita yang terjadi, dan kepalsuan dianggap lebih benar dibanding kebenaran itu sendiri, isu lebih dipercaya dibanding informasi, dan rumor dipandang benar dari pada fakta sesungguhnya.
Faktanya, kehidupan sosial memasuki fase manusia tak bisa di pisahkan dengan media (cetak, elektronik, massa, sosial dll), salah satu penandanya ialah, bagaimana manusia mengalami degradasi moral dan terkikisnya budaya kritis. Misal, baik buruk suatu hal ditentukan media, serta cantik dan tidak cantik di tentukan oleh mode. Sekali lagi, semakin maju dan berkembangnya komunikasi, melahirkan media sosial yang cukup mudah di akses oleh masyarakat di kalangan manapun, entah itu Facebook, Instagram, Twitter dan lainnya.
Pada akhirnya kekuasaan media informasi yang ditunggangi oleh beberapa pihak akan dipertanyakan independensi dari media terkait dan informasi yang telah tersebar. Realitas yang dibangun mengambil keberpihakan pada salah satu pihak, hingga kondisi masyarakat terus dituntut untuk pandai mengkritisi sebuah informasi yang telah diterima, maka kebenaran yang sebenarnya terus menjadi semu ketika tertunggangi. Sebagaimana ungkapan Joseph Goebbels, “Kebohongan yang terus-menerus disampaikan, akan menjadi suatu kebenaran”.
*Penulis adalah Ketua Bidang Media dan Komunikasi IMM Malang Raya
IG: @arifgustianbedda
Discussion about this post