Sekitar tiga minggu yang lalu, tepatnya Pada tanggal 8-14 Oktober telah dihelat sebuah pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (Internastional Monetary Fund-IMF) dan Bank Dunia (World Bank) atau disingkat Annual Meetings IMF-WB, di Nusa Dua, Bali. Bisa dibilang, pertemuan tersebut merupakan pertemuan yang terbesar di dunia dalam bidang ekonomi dan keuangan, bahkan bagi Indonesia sendiri pertemuan ini bisa menjadi yang terbesar dalam sejarah pertemuan antar negara-negara di dunia. Ada sekitar 189 perwakilan negara yang hadir pada pertemuan tersebut, dengan diwakili oleh Menteri Keuangan masing-masing negara, Gubernur Bank Sentral, dan para investor pelaku bisnis yang hadir dan terlibat aktif dalam setiap agenda.
Seperti yang dilansir dalam harian Kompas online, ada lima isu pokok yang dibahas pada pertemuan Annual Meetings IMF-WB. Pertama, penguatan International Monetary System (IMS). Kedua ekonomi digital. Ketiga, kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur. Keempat, penguatan ekonomi dan keuangan syariah. Dan Kelima, sektor fiskal. Pada hakikatnya kelima isu tersebut merupakan bagian dari misi impreliasme AS untuk menerapkan “Free Trade” and “Free Market” disemua negara-negara dunia ketiga dengan menggunakan IMF dan WB sebagai alatnya.
Seperti yang kita ketahui bersama, The International Monetary Fund (IMF) adalah lembaga keuangan internasional yang didirikan oleh negara-negara barat pemenang Perang Dunia ke II. Dalam sejarahnya, IMF lahir dari sebuah pertemuan tentang Sistem Moneter dan Keuangan di kota Bretton Woods, New Hamshire, Amerika Serikat pada tahun 1944. Berdirinya lembaga keuangan internasional tersebut bertujuan untuk memulihkan perekonomian bagi negara-negara eropa barat yang hancur akibat perang, dan disaat yang bersamaan berdirinya IMF juga mempunyai misi untuk memberikan bantuan kepada negara-negara yang tengah mengalami kesulitan keuangan atau menghadapi masalah moneter.
Hingga saat ini jumlah anggota IMF sebanyak 189 negara sejak berdiri pada tanggal 27 Desember 1945 yang pada awal berdirinya ditandatangani oleh 29 negara. Akan tetapi, proses pengambilan keputusan di IMF dilakukan tak ubahnya seperti proses pengambilan keputusan dalam sebuah perusahaan, dimana ketentuan yang berlaku dalam IMF adalah setiap proses pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan jumlah kepemilikan saham, yaitu dengan ketentuan 85% setuju, dan celakanya sebagian besar modal IMF (45%) dikuasasi oleh negara-negara G-7 yang terdiri dari Amerika, Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia, dimana AS adalah pemegang saham utama dengan 18% suara, jadi praktis tidak ada keputusan yang dapat diambil tanpa persetujuan AS, hal ini pun tentu akan berlaku pada pertemuan Annual Meetings IMF-WB di Nusa Dua Bali.
Dengan latar belakang IMF yang seperti itu, IMF sesungguhnya tidak dapat begitu saja dipandang sebagai sebuah lembaga keuangan internasional yang bersifat netral. Sebagai sebuah lembaga keuangan internasional yang dikuasai negara-negara G-7 atau negara-negara dunia pertama, khususnya Amerika, IMF tentu mustahil mengelak dari misi yang dititipkan oleh para pemodalnya.
Sementara itu, keterlibatan IMF di Indonesia secara resmi dan masif dimulai sejak tahun 1997 setelah Indonesia mengalami krisis moneter, krisis yang terjadi pada saat itu ditandai dengan adanya penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang meningkat tajam, hal tersebut mengakibatkan cadangan devisa pemerintah Indonesia nyaris terkuras habis untuk menyelamatkan arus impor agar tetap relative terjaga, sehingga Indonesia membutuhkan kucuran dana segar (hutang) dari lembaga keuangan internasional, untuk mendapatkan dana segar itu pemerintah Indonesia menandatangani Letter of Inten (LoI) bersama IMF pada tahun 1997, maka praktis saat itulah Indonesia sampai hari ini selalu mengandalkan hutang luar negeri untuk mengatasi krisis ekonomi yang tengah melanda negeri ini.
Pasca penandatanganan LOI tersebut, suntikan dana dari IMF terus mengalir dan dilakukan untuk menyehatkan Indonesia, tetapi pemulihan ekonomi yang diharapkan tidak kunjung tiba. Keadaan ini tidak mengubah keadaan perekonomian Indonesia dengan cepat. Yang terjadi justru lilitan hutang yang semakin membengkak ditambah dengan krisis multidimensional yang dialami bangsa ini. IMF yang dipercaya oleh pemerintah Indonesia sebagai “dewa penolong” yang dapat menciptakan stabilitas financial justru lebih tepat disebut sebagai dewa penghancur ekonomi Indonesia.
Dari Letter of Inten (LoI) yang telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia, tidak langsung begitu saja disetujui oleh IMF. Pemerintah Indonesia justru ditekan dan harus memenuhi berbagai syarat yang telah ditentukan oleh IMF dalam LOI, dari berbagai syarat yang telah dibuat oleh IMF untuk diajukan ke Indonesia, diantaranya ada empat syarat utama (pokok) yang harus dipenuhi, Pertama penghapusan subsidi, Kedua liberalisasi sektor keuangan, Ketiga liberalisasi sektor perdagangan, dan Keempat pelaksanaan privatisasi BUMN.
Dampak yang kemudian ditimbulkan dari penandatanganan LOI tersebut langsung terasa bagi rakyat Indonesia, dalam point penghapusan subsidi misalnya, pemerintah Indonesia secara perlahan dan masif mengurangi anggaran untuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Dasar Listrik (TDL), akibatnya harga BBM dan TDL dinaikan. Kita ketahui bersama bahwa BBM dan Listrik merupakan komoditas strategis yang utama dan pokok bagi kebutuhan rakyat, ketika subsidi BBM dan TDL dicabut serta dinaikan harganya, maka secara otomatis akan berdampak terhadap komoditi lain seperti sembako yang juga akan naik harganya. Kemudian dalam syarat yang lain seperti privatisasi BUMN, kalau diamati secara seksama, sistem ini menetapkan peran negara dibidang ekonomi hanya terbatas pada pengawasan pelaku ekonomi dan penegakan hukum. Privatisasi menetapkan bahwa jika sektor publik dibebaskan dalam melakukan usaha, investasi dan inovasi, maka pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat meningkat, namun pada kenyataannya privatisasi merupakan cara IMF untuk merampok negara berkembang yang kaya.
Privatisasi yang dilakukan pemerintah akan menimbulkan beberapa dampak negatif, aset-aset penting negara akan terkonsentrasi pada segelintir individu atau perusahaan yang memiliki modal besar serta kecanggihan manajemen, teknologi, dan strategi. Pemerintah pun menjadi lemah, sebaliknya posisi swasta/investor menjadi kuat. Hal ini memungkinkan pihak swasta/investor pemilik modal mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah, dimana setiap kebijakan ekonomi politik yang dibuat pemerintah hanya akan menguntungkan para investor/swasta tanpa memperhatikan aspek kebermanfaatan bagi rakyat. Dampak lainnya juga negara-negara berkembang akan menjadi sangat terbuka bagi masuknya investor asing, baik peorangan maupun perusahaan, kondisi seperti ini pada gilirannya akan mengakibatkan ketergantungan pada pihak asing dalam membangun negeri, dan yang paling parah adalah ketika negara tidak sanggup lagi melaksanakan banyak tanggungjawab yang dipikulnya seperti memberikan pendidikan, kesehatan, upah layak, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi rakyatnya karena telah kehilangan sumber-sumber pendapatannya.
Sudah saatnya Indonesia mengakhiri kerjasama kontrak dengan IMF dan segera keluar dari cengkeramannya, seharusnya Indonesia belajar dari negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Korea selatan yang juga pernah mengalami krisis serupa ditahun 1997, di mana Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan terperosok ke lembah krisis yang dalam, negara mengalami pengeringan devisa dan nilai mata uang ketiga negara ini merosot secara tajam. Kita lihat Malaysia misalnya, secara tegas menolak kehadiran IMF sejak hari pertama krisis. Di bawah kepemimpinan Mahathir, negeri serumpun itu bertekad untuk menghadapi badai krisis dengan cara mereka sendiri, dan setelah lima tahun kemudian Malaysia ternyata mampu bangkit tanpa harus merasa berhutang budi kepada IMF.
Thailand, yang mengalami krisis paling awal, segera mengakhiri kontrak mereka dengan IMF setelah berlangsung setahun. Thailand ketika itu memang tidak serta merta melunasi semua utangnya kepada IMF, tetapi memilih dengan cara mengangsur. Setelah empat tahun berjalan, Tahiland hingga kini telah bangkit kembali tanpa harus terlalu banyak direpotkan oleh supervisi IMF. Yang tidak kalah spektakuler adalah pengalaman Korea Selatan. Negeri ginseng ini mengakhiri kontrak berlangsung dua tahun. Namun berbeda dari Thailand, Korea Selatan dengan tegas memilih untuk segera melunasi semua utangnya saat itu juga. Kini, setelah berlangsung tiga tahun, perekonomian Korea Selatan sampai kini mampu berdiri kokoh seperti tidak pernah mengalami krisis.
Sementara dengan Indonesia sendiri, alih-alih menolak campur tangan IMF, atau mengakhiri kontrak sebelum masa kontrak berakhir, Indonesia justru dengan sengaja memilih untuk memperpanjang masa keberadaan IMF di sini. Bahkan, setelah masa perpanjangan kontrak mendekati penyelesaian, negeri “kolam susu” ini justru terjerumus ke dalam perdebatan yang memalukan mengenai metode pengakhiran kontrak, sehingga betapa sudah sangat jauhnya Indonesia terjerumus ke dalam cengkeraman imperialisme, imperialisme IMF. (*)
*Ditulis oleh Fadillah, mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan UMM
Discussion about this post