Oleh: Nurudin*
Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz kedatangan tamu. Waktu itu, dia sedang bekerja di ruangannya. Khalifah mendengar pintu ruangannya diketuk.
“Siapa,” tanya Khalifah dari dalam.
“Saya, putramu,” jawab seseorang di luar ruang.
“Silakan masuk”.
Kemudian seseorang masuk menemui Khalifah.
“Kamu datang ini berkaitan dengan masalah negara atau pribadi?” tanya Khalifah.
“Pribadi,” jawab anaknya.
Tiba-tiba Khalifah memadamkan lampu. Ruangan menjadi gelap gulita.
“Kenapa lampu dimatikan?” tanya sang anak.
“Jika engkau membicarakan urusanmu denganku bukan soal negara, maka lampu ini saya matikan. Karena ini urusan pribadi. Sedang lampu ini dibeli dari kas negara.”
Dalam cerita lain disebutkan bahwa yang masuk itu pembantu khalifah. Tentu saja, pembantu itu tidak berani menanyakan pada khalifah mengapa lampunya dimatikan. Baru saat istrinya bertanya mengapa lampu dimatikan, jawabannya sama dengan sebagaimana cerita di atas.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz terkenal karena memerintah dengan bijaksana. Meskipun ia hanya memerintah hanya dua setengah tahun (717-720 M) ia dikenal sebagai khalifah yang baik. Bahkan ada yang menyebut ia khalifah kelima, seandainya tidak secara resmi diakui hanya empat (Abubakar, Umar, Usman, Ali).
Khalifah Umar itu memang hidup pada zaman dahulu. Tentu konteks zaman, kondisi dan tuntutannya sangat berbeda dengan sekarang. Khalifah meskipun punya otoritas tinggi tetap menjalankan kebijakannya berdasar aturan negara. Yakni tidak boleh mencampuradukkan antara persoalan pribadi dan negara. Jauh sebelum ada hukum positif seperti sekarang ini.
Debat Cuti
Beberapa waktu lalu, di jagad media kita ramai dibicarakan apakah seorang presiden yang akan menjadi Calon Presiden (Capres) perlu cuti saat melakukan kampanye Pilpres 2019? Jawabannya tentu beragam. Tetapi, muaranya ada pada kepentingan masing-masing. Tergantung dia mendukung siapa.
Bagi yang mendukung bahwa presiden tak perlu cuti berasal dari kelompok pendukung Petahana. Mereka berargumentasi bahwa tentu akan sangat susah jika pekerjaan presiden yang kompleks itu harus ditinggal untuk cuti. Maka, presiden tidak perlu cuti karena, akan mampu untuk tak mencampuradukkan antara kepentingan dirinya sebagai calon dan kedudukannya sebagai presiden. Pendukung kelompok ini tentu jelas, bahwa Petahana diharapkan bisa menang. Dan mereka ini termasuk yang berkepentingan untuk itu.
Sementara itu, kelompok yang mengharapkan presiden harus cuti saat kampanye umumnya kelompok penentang. Bahwa, cuti penting karena presiden tidak boleh mencampuradukkan kepentingan pribadi dan negara. Beberapa presiden sebelumnya (Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono) sampai Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah cuti untuk ikut kompetisi pemilihan presiden saat mereka menjabat.
Kelompok yang mewajibkan presiden perlu cuti saat kampanye mendasarkan diri pada Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam pasal 281 disebutkan bahwa presiden yang kembali mencalonkan diri dalam Pilpres wajib mengajukan cuti di luar tanggungan negara. Tentu ini berlaku saat diberlakukan masa kampanye sebagaimana ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (PKU). Sementara itu, masa kampanye ditetapkan 23 September 2018-13 April 2019. Jika tidak cuti ada kecenderungan besar presiden telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Dari aturan ini, pihak yang setuju bahwa presiden tak perlu cuti menekankan bahwa aturan itu hanya untuk Pemilhan Kepala daerah (Pilkada). Sementara dalam pasal 281/2017 tentang Pamilu jelas mengatur juga kampanye presiden. Sementara itu, presiden ataupun pejabat di tingkat eksekutif dibawahnya (menteri, gubernur, bupati) adalah pejabat publik.
Masalah menjadi rumit saat KPU menetapkan masa kampanye sangat lama. Sementara itu, masalah tambah ruwet ketika Petahana enggan melakukan cuti. Jadi, kritikan untuk cuti tinggal kritikan, kampanye jalan terus.
Soal Kepantasan
Katakanlah, kita lepaskan urusan aturan hukum. Katakanlah lagi, cuti atau tidak cuti tidak diatur dalam Undang-undang. Maka, Petahana tidak cuti pun tak akan melanggar aturan. Bahwa ia juga tidak bisa dihukum karena memang tidak terbukti melanggar. Ini hanya misalnya saja.
Namun demikian, pejabat publik itu selalu diatur dan dilingkupi oleh kepantasan. Siapa yang menilai pantas dan tidak pantas? Tentu masyarakat umum, bukan pendukung kandidat apalagi tim pemenangannya. Kalau sudah urusannya tim kampanye biasanya berurusan yang penting menang (kadang dengan berbagai cara). Toh, Petahana tidak akan mudah dijatuhi hukuman karena penegak dan hukum sangat melekat dalam lingkar kekuasaan.
Ini bukan soal bercerita tentang peseteruan antara Jokowi dan Prabowo. Ini tentu menyangkut kepantasan yang selama ini sudah dikenal baik dalam politik di Indonesia. Ini juga soal bagaimana menegakkan semua aturan dan norma lain dalam bernegara di masa datang. Sekali lagi, bukan soal Jokowi atau Prabowo.
Tentu kriteria kepantasan ini akan ditolak kepantasan ini bagi tim kampanye yang merasa dirugikan. Tim kampanye memang lebih banyak berususan dengan kemenangan. Soal pantas dan tidak kadang tak dijadikan dasar acuan.
Contoh sederhananya begini. Jika Anda bertamu, kemudian Anda diberikan jatah makan. Lalu Anda makan dengan lahap. Tetapi kok masih lapar? Sementara itu, di meja masih ada satu bungkus nasi. Lalu Anda makan. Apakah itu pantas? Bisa jadi analogi ini akan ditolak, “Masak soal cuti presiden dianalogikan dengan makanan?” Serba susah memang. Tapi ini soal pantas dan tidak pantas. Kalau harus dikaitkan dengan etika dan moral nanti malah terlalu njlimet.
Mengapa kepantasan itu penting? Saya jadi ingat pendapat Lord Acton, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men, even when they exercise influence and non authority”.
Sejak masa reformasi, kita disibukkan bagaimana caranya memberantas korupsi. Menegakkan aturan, termasuk soal kepantasan karena sangat mungkin muncul penyalahgunaan kekuasaan.
Kita memang akan susah meneladani Umar bin Abdul Aziz. Tapi semangat untuk tak mencampuradukkan kepentingan pribadi dengan dengan negara, sekecil apapun dan sesederhana apapun, semampu bagaiman pun tentu bisa dijadikan teladan baik.
*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Twitter/IG: nurudinwriter
Discussion about this post