Oleh: Achmad Sulchan An Nauri*
Saat saya SMA kelas 12, semua teman seangkatan sedang hectic belajar untuk menyiapkan SBMPTN. Saya pun berkeluh kesah pada Garda, teman saya. Tentunya tentang mengapa harus susah-susah belajar. Dengan santainya, ia menjawab jika semua orang takut. Mulai dari takut tidak lulus, takut dimarahi orang tua, hingga takut tidak dapat perguruan tinggi.
Semakin jauh Garda mengatakan bahwa segala yang dilakukan karena rasa takut. Kita mengerjakan PR karena kita takut nilai jelek. Kita makan karena takut sakit atau lapar. Pada saat itu saya tidak setuju dengannya namun tidak tahu alasan saya tidak setuju apa.
Saya mungkin hanya tidak suka dengan pendapatnya, entah karena pendapat itu keluar dari mulut seorang Garda, seorang yang slengekan atau memang ada rasa dalam diri yang waktu itu tidak bisa saya jelaskan. Pada saat itu saya hanya bilang tidak setuju dengan ketus tanpa menjelaskan alasannya. Namun saat ini mungkin saya tahu alasan saya mengapa saya tidak setuju.
Sebelum saya menjelaskan alasan saya tidak setuju dengan Garda, mari kita mundur dulu membahas penciptaan Alam Semesta. Saya tahu ini mundur terlalu jauh, tapi ikuti saja. Saya janji akan masuk akal. Kita benar-benar mundur, sebelum teori terkenal Big-Bang.
Sebelum segalanya tidak ada. Hanya kemutlakan yang tidak akan bisa kita pahami. Saya kutip penjelasan kemutlakan yang menjadi wujud ini dari Bali Efendi yang menafsirkan kitab Fushush Al-Hikamnya Ibnu Arabi dalam Izutsu (2015:156)
Sebelum eksistensi mereka di alam luar, nama-nama Ilahi mewujud secara tersembunyi di dalam Esensi Sang Mutlak, semuanya mencari jalan-keluar menuju alam eksistensi eksternal. Keadaan ini bisa diumpamakan seperti seseorang yang menahan napasnya di dalam dirinya. Napas tertahan di dalam, mencari jalan menuju keluar, dan hal ini mengakibatkan sensasi yang menyakitkan akibat tekanan yang tinggi. Hanya bila dia menghembuskan napas, tekanan ini akan berhenti. Persis sebagaimana manusia akan tersiksa oleh tekanan jika dia tidak membuang nafas, demikian pula Sang Mutlak akan merasakan sakitnya tekanan (dari dalam) jika Dia tidak mewujudkan alam raya sebagai respons atas tuntunan segenap nama.
Mengenai hal diatas, Sang Mutlak adalah yang disebut oleh Ibnu Arabi sebagai Tuhan yang Maha Mutlak, yang belum sebagai sifat yang dikenali manusia. Ibnu Arabi menyebutnya Sang Mutlak agar kita mempunyai kesepakatan yang sama, sehingga pembahasannya dalam kitabnya bisa berjalan.
Sebenarnya Tuhan yang tidak turun sebagai nama dan sifat tidak bisa dikenal oleh manusia, hanya bisa diketahui bahwa Dia ada, dan sudah sampai situ saja. Menurut Ibnu Arabi, dimensi Tuhan dibagi dua, yaitu Dia yang Maha Mutlak, berdiri sendiri tanpa terkait oleh apapun dan siapapun, Maha Bebas, bebas sepenuhnya. Dan yang satunya Tuhan yang kita kenal yaitu Allah dan seluruh nama dan sifat-Nya.
Jadi seperti penjelasan Bali Efendi bahwa Sang Mutlak bernafas, yang kita kenal nafasnya berbunyi Kun, dia menghembuskan segala nama, sifat, dan segala manifestasi diri-Nya yang mewujud menjadi Alam Semesta yang kita kenal. Lebih lanjut lagi Ibnu Arabi dalam Izutsu (2015:161) menggunakan hadis Qudsi yang berbunyi, “Aku adalah khasanah tersembunyi, dan Aku mengininkan untuk diketahui. Maka itu Aku menciptakan segenap ciptaan dan dengan begitu Aku bisa diketahui mereka. Dan mereka mengetahui Aku.” Sebagai landasannya berfilsafat. Jadi Sang Mutlak menciptakan Alam Semesta Raya hanya untuk dikenali, ia mewujud menjadi alam semesta agar diri-Nya bisa dikenali. Sang Mutlak membelah dimensi-Nya menjadi dua agar ada subyek dan obyek sehingga Sang Mutlak bisa mengalami diri-Nya sendiri.
Lalu apa hubungannya ini dengan alasan saya? Tunggu dulu, kita tinggalkan Ibnu Arabi untuk sementara. Kita sekarang mencoba pergi ke barat bertemu dengan Neale Donlad Walsch yang menulis buku begitu fenomenal berjudul Conversation with God.
Dalam bukunya yang pertama (1996:36) menjelaskan bahwa sebagaimana Sang Mutlak yang harus membagi dimensi-Nya menjadi dua, Sang Mutlak mengetahui bahwa agar cinta bisa ada-dan mengetahui dirinya sendiri sebagai cinta yang murni- maka lawannya yang berlawanan sama sekali harus ada juga. Lalu Sang Mutlak dengan sengaja menciptakan kutup yang berlawanan sama sekali- lawan absolut dari cinta, segala sesuatu yang bukan cinta yang kita sebut dengan ketakutan.
Nah, akhirnya kita sampai pada penjelasan alasan saya tidak setuju dengan Garda. Bahwa Garda sebenarnya benar bahwa kita semua dikendalikan oleh ketakutan untuk menjadikan alasan agar kita melakukan sesuatu. Namun ketakutan tidak satu-satunya, ada cinta yang juga bisa menjadikan alasan kita untuk melakukan sesuatu.
Pada dasarnya ada dua muatan primitif yang ada sejak sebelum segala yang mewujud ada yaitu cinta dan ketakutan. Mungkin pada saat ini kita sering ketakutan sehingga melakukan sesuatu. Pada dasarnya kita harus menyadari bahwa kita sedang melakukan perjalanan untuk mengetahui yang bukan cinta itu apa sehingga pada suatu saat kita bisa mengetahui cinta yang murni, cinta tanpa syarat, cinta tanpa ketakutan atau cinta sejati.
Saya bisa memahami mengapa Garda mengatakan bahwa ketakutan adalah alasan kita melakukan sesuatu. Karena memang, cerminan dari masyarakat seperti itu. Masyarakat bergerak karena motivasi ketakutan. Terpaan informasi yang kerap kali menayangkan hal-hal yang menyeramkan seperti terorisme, korupsi, pembunuhan, moral yang bejat, hingga kali ini covid-19 yang disasar adalah ketakutan masal.
Karena dalam keadaan ketakutan massa mudah dikendalikan, mudah dimanipulasi. Ah, sebelum ke masa kita ke individu dulu saja. Pada dasarnya, menurut Simler dan Hanson (76:2018) bahwa manusia itu memiliki self-esteem yang rapuh sehingga kita menutupinya dengan ego. Ketika self-esteem kita terancam, misalnya nama baik kita yang sangat susah payah kita bangun, maka ego kita berusaha menutupinya dengan menampilkan fakta-fakta baik tentang kita entah itu menyimpang dari kenyataan yang sebenarnya.
Dengan ego yang menutupi self-esteem kita kita sering dalam mode ketakutan untuk menutupinya, takut terlihat bodoh, takut tidak terlihat seperti orang-orang pada umumnya, takut kejahatan kita ketahuan, dan lainnya. Sikap ketakutan ini membuat self-esteem kita semakin rapuh dan ketakutan kita semakin tinggi, kita sering dalam keadaan cemas dan begitu impulsif dan reaktif dalam merespon sesuatu. Ketika reaktif seperti itu kita sudah menyerahkan kendali diri kita kepada ketakutan. Sehingga kita mudah memanipulasi diri sendiri atau bahkan memanipulasi massa.
Kita coba saja lihat ke belakang, di mana Sartre (Filsuf kontemporer dan penulis Prancis) takut akan kebebasannya yang terenggut dengan berhadapan dengan orang lain dia mengatakan dengan kemarahan “hell to other people!” lalu menjadi pioneer dalam konsep eksistensialisme.
Lalu Nietszche yang takut akan kenyataan dunia yang membingungkan sehingga ia tidak tahu harus percaya pada apa dan tidak merasakan kehadiran Tuhan lalu mengatakan Tuhan telah mati dan menjadi pioneer dari ideologi nihilisme. Karl Max takut dengan penindasan proletar dan kendali berlebih agama ia membuat konsep komunisme ateis. Lalu Aristoteles yang takut dominasi wanita ia mengatakan wanita adalah manusia yang tidak lengkap yang semangat kata-katanya berjalan hingga sekarang.
Ketakutan kaum islam ortodoks yang menerima agama islam sebagai dogma dan doktrin membunuh Syekh Siti Jenar yang mengungkapkan konsep beragama manunggaling kawula gusti. Banyak sekali ketakutan-ketakutan yang akhirnya mengendalikan zaman. Memang ketakutanlah yang paling mudah dikendalikan.
Namun sebenarnya ketakutan tidak buruk juga asal kita menyadari bahwa berada dalam ketakutan adalah merupakan suatu perjalanan untuk mengenali apa itu cinta sejati. Seperti kata Sabrang, anak Cak Nun, bahwa sejatinya kita sekarang melakukan perjalanan La Illaha, yaitu perjalanan yang menegasikan segala sesuatu yang bukan Allah.
Kita mencari Allah tapi tidak ketemu dan terus mencari sampai bertemu garis finish akhir yaitu garis finish Illallah, yaitu tidak ada sesuatu pun yang bukan Allah. Kita menemukan segala sesuatu adalah manifestasi Allah. Maka ketika kita dalam kondisi ketakutan kita harus sadar bahwa ketakutan ini baik untuk kita karena dalam memahami ketakutan, itu merupakan jalan satu-satunya kita bisa memahami cinta yang murni, cinta tanpa syarat, cinta tanpa ketakutan, cinta sejati.
Bacaan lanjutan:
Izutsu, Toshihiko. (2015). Sufisme: Samudra Makrifat Ibn ‘Arabi, Jakarta: Penerbit Mizan.
Donald Walsch, Neale. (1996). Conversation with God, New York: Penguin Putnam Inc.
Hanson, Robin & Simler, Kevin (2018). The Elephant in the Brain: Hidden Motives in Everyday Life, USA: Oxford University Press
Perjalanan La Illaha Ilallah oleh Sabrang
———————–
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fisip,
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Filmmaker.
IG: @kjokkenmoddinger.std
Discussion about this post