Hafid Adim Pradana*
Pada 29 Maret 2023 FIFA secara resmi membatalkan status Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggara Piala Dunia (PD) U-20 2023. Sekalipun tidak ada alasan kongkrit FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah PD U-20 2023, patut kita telisik apa sesungguhnya yang menjadi pertimbangan FIFA.
Dilansir dari laman resmi FIFA, keputusan memindahkan venue PD U-20 didasari oleh “situasi terkini”. Lebih lanjut, dalam laman resmi FIFA juga tertulis bahwa meskipun Indonesia tidak lagi menjadi tuan rumah PD U-20, FIFA tetap berkomitmen bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk membantu transformasi sepak bola Indonesia pasca “tragedi Oktober tahun lalu (2022)”.
Jika mengacu pada penjelasan dari laman resmi FIFA, maka redaksional “situasi terkini” merupakan kata kunci untuk memahami keputusan pembatalan penyelenggaraan PD U-20 di Indonesia. Selain itu, terdapat pula redaksional “tragedi Oktober tahun lalu” yang memunculkan banyak tafsiran. Meskipun demikian, pernyataan FIFA dalam laman resminya belum sepenuhnya menunjukkan kejelasan alasan pemindahan lokasi putaran final PD U-20 2023.
Hal ini pada gilirannya memunculkan spekulasi bagi publik tanah air. Jika mengacu pada ”situasi terkini” dan “tragedi Oktober tahun lalu”, sedikitnya terdapat tiga kemungkinan di balik alasan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah PD U-20 2023 oleh FIFA. Kemungkinan pertama ialah pertimbangan akan adanya potensi ancaman. Adapun yang kedua berkaitan dengan upaya FIFA untuk menonjolkan diri sebagai aktor yang independen. Kemungkinan terakhir berhubungan dengan persoalan ketidaksiapan infrastruktur.
Potensi Ancaman Keamanan Sebagai Konsekuensi Ditolaknya Timnas Israel
Berbagai pemberitaan media internasional menyoroti pernyataan I Wayan Koster pada 14 Maret 2023, yang secara tegas menolak kehadiran timnas Israel pada gelaran PD U-20 2023. Dalam pandangan publik, statement penolakan Koster merupakan hal yang tidak masuk akal, mengingat sepak mula PD U-20 kurang dari tiga bulan. Bahkan pada 31 Maret 2023, FIFA telah mengagendakan undian pembagian grup peserta PD U-20 di Bali.
Selain itu, publik tentunya juga mengetahui bahwa pada saat Indonesia resmi ditunjuk sebagai tuan rumah PD U-20 2023 pada 2019 lalu, Koster bersama dengan 5 kepala daerah lain sama-sama menandatangani komitmen kesediaan untuk menjadi venue city. Hal ini tentu membuat I Wayan Koster dan Bali menjadi sorotan media-media internasional.
Jika dibandingkan dengan statement penolakan Gubernur dari wilayah lain, pernyataan Gubernur Bali merupakan suatu persoalan yang serius bagi banyak pihak, tidak terkecuali FIFA. Apa yang disampaikan oleh Koster tentunya kontras dengan anggapan banyak pihak yang menganggap Bali sebagai garda terakhir toleransi umat beragama di Indonesia. Citra positif Bali ini membuat publik kemudian menganggap Bali sebagai lokasi “ideal” untuk menjadi venue acara-acara yang melibatkan delegasi atau bahkan masyarakat dari negara-negara lain.
Terlebih pada 15 November 2022 lalu, Bali berhasil menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20. Pada KTT tersebut, Bali didatangi oleh para pemimpin negara-negara yang mempunyai pengaruh besar dalam politik global. Beberapa di antaranya meliputi Joe Biden (Presiden Amerika Serikat), Xi Jinping (Presiden Republik Rakyat Cina), Emmanuel Macron (Presiden Perancis), Justin Trudeau (Perdana Menteri Kanada), hingga Rishi Sunak (Perdana Menteri Inggris).
Kedatangan pada pemimpin negara-negara peserta KTT G-20 tentunya juga diikuti oleh penjagaan ketat oleh aparat berwenang Indonesia. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan terciptanya kondisi aman dan kondusif, agar para peserta merasa nyaman dan KTT G-20 berjalan dengan lancar. Dalam hal ini, pemerintah Provinsi Bali dan juga aparat keamanan di wilayah tersebut mempunyai tanggung jawab ekstra untuk menjaga kondusifitas di wilayah mereka selama KTT G-20.
Beberapa waktu menjelang acara puncak KTT G-20, pemerintah Provinsi Bali terus berusaha memastikan agar Bali dapat menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para peserta dan tamu undangan. Selama proses persiapan KTT G-20, I Wayan Koster dan juga wakilnya bahkan beberapa kali turun langsung ke lapangan guna memastikan kesiapan berbagai sarana publik dan adanya jaminan keamanan.
Berkaca pada masa persiapan KTT G-20, sikap yang ditunjukkan oleh Koster dan jajarannya menunjukkan bagaimana pemerintah Provinsi Bali siap menerima dan memberikan jaminan keamanan kepada para pemimpin negara maupun tamu undangan yang akan hadir di Bali.
Sementara itu, hanya kurang dari tiga bulan sebelum sepak mula, dan dua minggu sebelum pengundian grup PD U-20 2023 yang diagendakan oleh FIFA, Koster justru menyatakan penolakannya terhadap kehadiran timnas sepak bola Israel. Secara langsung, sikap yang ditunjukkan Koster mengisyaratkan bahwa pemerintah Bali tidak menjamin keamanan delegasi timnas Israel jika mereka tetap bersikukuh datang ke Indonesia.
Sebagaimana diketahui, penolakan terhadap timnas Israel juga datang dari berbagai organisasi masyarakat maupun organisasi keagamaan yang sangat anti-Israel. Jika PD U-20 pada akhirnya tetap diselenggarakan di Indonesia, tidak menutup kemungkinan akan terjadi aksi teror terhadap delegasi timnas Israel. Apalagi pemimpin daerah di Provinsi yang dikenal sebagai garda terakhir toleransi umat beragama di Indonesia, memberikan penolakan secara terang-terangan.
Tindakan teror yang diterima oleh delegasi atlet Israel bukanlah hal yang baru. Jika ditelisik lebih jauh, pada Olimpiade Munich 1972 silam, 10 atlet Israel menjadi korban penyanderaan yang dilakukan oleh orang-orang palestina yang tergabung dalam kelompok Black September. Seluruh atlet Israel tersebut pada akhirnya tewas terbunuh.
Bagi FIFA, ”situasi terkini” berupa ditolaknya delegasi timnas Israel dan adanya potensi ancaman terhadap para atlet tim nasional sepak bola Israel, bisa jadi menjadi pertimbangan utama yang melandasi pemindahan venue PD U-20 2023 ke negara lain. FIFA tentunya tidak ingin tragedi Olimpiade Munich 1972 terulang kembali di PD U-20 2023.
Penonjolan Independensi FIFA
Sebagaimana Piala Dunia di tingkat senior, PD U-20 merupakan gelaran rutin yang diselenggarakan oleh FIFA setiap empat tahun sekali. Pada setiap kompetisi yang mereka adakan, FIFA selalu berpegang teguh pada slogan yang secara umum menekankan kewajiban memisahkan politik dari sepak bola. FIFA sendiri merupakan organisasi internasional privat yang bertugas mengelola sepak bola profesional di seluruh dunia.
Hingga saat ini, FIFA terdiri dari lebih 200 anggota yang merupakan asosiasi sepak bola swasta tunggal yang mempunyai badan hukum di negara masing-masing. Tujuan utama didirikannya FIFA ialah untuk menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui sepak bola. Dengan kata lain, FIFA mempunyai cita-cita agar keberadaan sepak bola mampu menjadi pintu masuk untuk menciptakan dan mempromosikan perdamaian.
Guna mencapai tujuan yang mereka tetapkan, dalam pengelolaan dan penyelenggaraan kompetisi sepak bola profesional, FIFA melarang adanya intervensi negara. Jika terdapat negara yang melakukan intervensi, maka FIFA tidak segan menjatuhkan sanksi kepada asosiasi sepak bola di negara yang bersangkutan.
Terlebih jika intervensi pemerintah itu berkaitan dengan hal-hal politik. Hingga tahun 2023 ini, FIFA tercatat telah memberikan kurang lebih 30 sanksi terhadap anggota-anggotanya. Umumnya, sanksi yang diberikan FIFA disebabkan oleh adanya campur tangan pemerintah terhadap urusan anggotanya. Terlepas dari standar ganda yang tidak jarang mereka terapkan, ketegasan FIFA dalam memberikan sanksi merupakan wujud dari sikap FIFA ingin dipandang sebagai aktor independen.
Independensi FIFA membuat para anggotanya harus mematuhi berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh FIFA. Tidak terkecuali ketika suatu negara berkeinginan untuk menjadi tuan rumah kompetisi yang diselenggarakan oleh FIFA.
Proses pengajuan diri sebagai tuan rumah kompetisi FIFA biasanya melibatkan asosiasi sepak bola sebagai anggota FIFA, yang tentunya juga disertai dukungan pemerintah negara tempat anggota FIFA itu berasal. Para pihak yang terlibat mengajukan diri sebagai host biasanya paham dan siap terikat dengan berbagai ketentuan FIFA. Selain persiapan dalam hal infrastruktur, negara yang terpilih menjadi host turnamen FIFA wajib menerima kedatangan para peserta yang mengikuti turnamen tersebut.
Sebagai pihak yang mengajukan diri sebagai host turnamen PD U-20 2023 pada 2019 lalu, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan pemerintah pastinya mengetahui berbagai syarat yang ditetapkan oleh FIFA. Sebanyak enam pemerintah daerah, termasuk Bali, bahkan telah menandatangani host agreement sebagai simbol komitmen kesediaan menjadi kota penyelenggara. Sebagai venue city, seharusnya pemerintah Provinsi Bali paham akan kewajiban untuk menerima seluruh kedatangan para peserta PD U-20. Terlebih Bali juga ditunjuk oleh FIFA sebagai lokasi acara pengundian babak grup kompetisi yang diikuti oleh timnas kelompok umur tersebut.
Sayangnya, secara mengejutkan I Wayan Koster menyatakan penolakannya terhadap kedatangan timnas Israel pada saat dua minggu sebelum agenda pengundian babak grup dilaksanakan di Bali. Selain itu, penolakan terhadap kehadiran atlet Israel juga datang dari Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah. Seperti diketahui, Solo yang berlokasi di Jawa Tengah merupakan salah satu venue city PD U-20. Baik Koster maupun Ganjar sama-sama menjadikan komitmen terhadap konstitusi sebagai alasan utama yang mereka kemukakan.
Bagi FIFA, pelarangan kehadiran timnas sepak bola Israel oleh Gubernur Bali dan Jawa Tengah merupakan wujud inkonsistensi pemerintah Indonesia terhadap komitmen untuk memenuhi persyaratan FIFA dalam menyukseskan PD U-20, sebagaimana yang sebelumnya telah disepakati. Selain itu FIFA mungkin juga berpandangan bahwa statement dari Koster dan Ganjar menunjukkan adanya campur tangan politik oleh pemerintah Indonesia dalam gelaran PD U-20.
Sebagai pejabat publik sekelas Gubernur, tidaklah keliru jika pernyataan Koster dan Ganjar dianggap sebagai representasi sikap pemerintah Indonesia. Apalagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang merupakan partai pendukung utama pemerintahan Presiden Jokowi, gencar mendorong para kadernya untuk melarang kehadiran timnas Israel.
Dalam menyikapi penolakan terhadap Israel, FIFA dapat dengan mudah menggunakan “adanya intervensi negara” sebagai alasan pembatalan status tuan rumah Indonesia. Keputusan yang dikeluarkan oleh FIFA tersebut dapat dilihat sebagai wujud pembuktian diri sebagai aktor independen yang kebal dengan intervensi politik pemerintah. Bukti lain yang menguatkan penegasan independensi FIFA juga tampak dari statement FIFA di laman resminya terkait alasan pemindahan lokasi PD U-20 2023 dari Indonesia ke negara lain. Jika dilihat lebih teliti, terdapat redaksional yang kurang lebih bertuliskan “potensi sanksi terhadap PSSI mungkin juga akan diputuskan dalam beberapa waktu ke depan.
Selain itu FIFA tetap berkomitmen untuk mendampingi dan mendukung Presiden Jokowi dalam proses transformasi sepak bola Indonesia setelah tragedi Oktober lalu”. Redaksional tersebut seolah menunjukkan bahwa FIFA mempunyai kuasa terhadap anggotanya. Selain itu FIFA juga ingin menunjukkan diri bahwa mereka juga mempunyai posisi setara dengan pemerintah Indonesia, terutama dalam mengupayakan transformasi sepak bola pasca tragedi Kanjuruhan.
Pada gilirannya, pemerintah Indonesia maupun PSSI tidak dapat berbuat banyak dan hanya bisa mematuhi keputusan FIFA membatalkan status tuan rumah Indonesia. Superioritas FIFA atas pemerintah Indonesia semakin terlihat ketika tidak lama setelah keputusan pembatalan, Presiden Jokowi memerintahkan Erick Thohir selaku Ketua PSSI untuk melakukan lobi terhadap FIFA, guna menghindari adanya sanksi tambahan. Dari sini tampak jelas bagaimana negara yang sejauh ini dianggap sebagai aktor utama dalam politik global, berupaya melakukan negosiasi terhadap aktor non-negara.
Ketidaksiapan Infrastruktur
Salah satu syarat utama negara yang terpilih sebagai host turnamen sepak bola FIFA ialah mampu memastikan kesiapan infrastruktur. Khususnya stadion sebagai tempat berlangsungnya pertandingan serta berbagai fasilitas publik lain. Terkait stadion, FIFA tentunya mempunyai beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh negara tuan rumah penyelenggara.
Itulah mengapa keputusan mengenai penentuan negara host turnamen diumumkan minimal 2 tahun sebelum pelaksanaan sepak mula. Hal ini dilakukan oleh FIFA guna memberikan kesempatan kepada negara tuan rumah agar dapat mempersiapkan stadion yang sesuai dengan standar FIFA.
Sejak ditunjuk FIFA sebagai tuan rumah PD U-20 edisi ke-23 pada 24 Oktober 2019 lalu, PSSI dan pemerintah Indonesia telah menetapkan enam stadion di enam kota berbeda yang menjadi lokasi pertandingan. Sebagaimana tercantum dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2020, enam stadion tersebut meliputi Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Jakarta, Stadion Si Jalak Harupat Bandung, Stadion Manahan Solo, Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya, Stadion I Wayan Dipta Gianyar Bali, dan Stadion Gelora Sriwijaya Palembang. Guna menyukseskan gelaran PD U-20 2023, Presiden Jokowi memerintahkan para menterinya untuk merenovasi keenam stadion yang telah ditunjuk.
Sebagai penyelenggara turnamen, FIFA secara berkala melakukan pengecekan terhadap kesiapan keenam stadion yang akan menjadi tempat bertanding seluruh peserta PD U-20 2023. Seperti yang telah diketahui, FIFA terakhir kali melakukan inspeksi pada awal bulan Maret 2023 dan menghasilkan tiga catatan penting.
Pertama, perlunya peningkatan kualitas lapangan, terutama di SUGBK dan Stadion Manahan. Kedua, perlunya perbaikan pada kondisi tribun, lokasi penempatan kamera dan pagar pembatas tempat latihan. Terakhir, penghilangan trek lari, khususnya di Stadion Si Jalak Harupat Bandung. Merupakan suatu hal yang wajar jika FIFA menuntut agar Indonesia segera menuntaskan persiapan infrastruktur, mengingat sepak mula PD U-20 akan dimulai pada 20 Mei 2023. Rencananya, FIFA akan kembali melakukan peninjauan ulang pada 21-27 Maret 2023.
Hanya kurang dari satu minggu sebelum pengecekan FIFA, I Wayan Koster menunjukkan sikap penolakan terhadap kehadiran timnas Israel. Hingga kemudian FIFA memutuskan untuk membatalkan status tuan rumah Indonesia pada 29 Maret 2023. Jika berpatokan pada istilah ”situasi terkini” di laman resmi FIFA, keputusan pembatalan yang dilakukan oleh FIFA bisa jadi disebabkan faktor ketidaksiapan infrastruktur.
Dengan waktu kurang dari dua bulan, berbagai catatan penting FIFA pasca inspeksi terakhir mereka menunjukkan banyaknya pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan oleh Indonesia. Waktu dua bulan tentunya merupakan durasi yang sangat singkat bagi pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk melakukan perbaikan besar-besaran di enam stadion.
Dugaan ketidaksiapan infrastruktur semakin diperkuat oleh statement Rob Harris, seorang jurnalis dari kantor berita Associated Press. Selama ini Harris dikenal kerap mengungkap berbagai bocoran untuk kasus olahraga besar dalam laman media sosialnya.
Berkaitan dengan pembatalan PD U-20, Harris dalam pernyataan yang ia tuliskan di media sosial twitter mengungkapkan bahwa FIFA menganggap Indonesia tidak akan siap menggelar PD U-20 berdasarkan inspeksi lapangan yang telah dilakukan. Lebih lanjut Harris menegaskan bahwa ketidaksiapan infrastruktur itulah yang sesungguhnya menjadi dasar dari keputusan FIFA, meskipun dalam beberapa waktu terakhir pembahasan tentang polemik kedatangan Israel sedang mengemuka di Indonesia.
Sebelum ditunjuk sebagai tuan rumah PD U-20, Indonesia sebenarnya sudah pernah menjadi venue turnamen Piala Asia tahun 2007. Pada turnamen yang juga diselenggarakan di Thailand, Malaysia, dan Vietnam tersebut, Indonesia pernah mengalami kejadian yang cukup memalukan.
Sebagaimana diketahui, stadion SUGBK yang tengah melangsungkan pertandingan fase grup antara Korea Selatan melawan Arab Saudi pada 11 Juli 2007, mengalami mati lampu. Saat itu, kondisi stadion yang gelap berlangsung selama 25 menit. Pada akhirnya, ketika lampu stadion kembali menyala, pertandingan kembali dilanjutkan. Terlepas dari suksesnya penyelenggaraan Piala Asia 2007, insiden matinya lampu SUGBK menjadi catatan tersendiri bagi Indonesia.
Berkaca pada insiden “mati lampu” di SUGBK 16 tahun lalu, FIFA tentunya berusaha memastikan agar hal semacam itu tidak kembali terulang di gelaran PD U-20. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang wajar jika FIFA menuntut kesiapan infrastruktur keenam stadion di Indonesia yang menjadi venue pertandingan. Dengan demikian, pernyataan Harris mengenai ketidaksiapan infrastruktur sebagai alasan yang mendasari keputusan pembatalan, bisa jadi benar adanya.
Jika pernyataan dari Harris pada akhirnya terbukti benar, maka berbagai penolakan yang dilakukan oleh Koster, Ganjar, dan juga PDIP selaku partai dominan di kursi pemerintahan dapat dilihat sebagai upaya untuk menghindarkan rezim Jokowi dari citra buruk di mata publik tanah air. Dalam kalkulasi politik, secara sederhana pembatalan dengan alasan menolak timnas Israel dinilai lebih “menguntungkan” dibandingkan dengan alasan ketidaksiapan infrastruktur.
Dengan mengemukakan pelarangan kehadiran Israel, PDIP dan sebagian besar kader-kadernya yang berada dalam rezim pemerintahan Presiden Jokowi dapat menggunakan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai alasan. Dengan mengedepankan prinsip konsistensi terhadap UUD 1945, setidaknya PDIP dapat terus menampilkan citranya sebagai partai nasionalis yang setia mengikuti prinsip Presiden Soekarno. Selain itu, sikap menentang kedatangan Israel juga dapat menarik simpati bahkan dukungan sebagian masyarakat yang anti-Israel.
Sekalipun penolakan terhadap Israel yang berujung pada pencabutan status tuan rumah Indonesia oleh FIFA mendapat banyak kecaman dari penggemar sepak bola, hal itu masih jauh lebih baik dibanding dengan keputusan pembatalan yang disebabkan oleh ketidaksiapan infrastruktur. Rezim pemerintahan Jokowi sudah pasti akan mendapatkan banyak tekanan dari publik dalam negeri seandainya ”ketidaksiapan infrastruktur” merupakan ”situasi terkini” yang dimaksud oleh FIFA.
Besar kemungkinan publik akan terus mencari tahu hal-hal yang melatarbelakangi kegagalan pemerintah dalam melakukan renovasi stadion. Hal ini bisa jadi memunculkan dugaan kuat mengenai adanya praktik korupsi di balik berbagai upaya perbaikan infrastruktur PD U-20. Bagi pemerintahan Jokowi dan juga PDIP sebagai partai pengusungnya, kemungkinan tersebut tentu saja bukan suatu hal yang menguntungkan. Terlebih saat ini di Indonesia merupakan tahun politik.
Terlepas dari ketidakjelasan alasan yang dikemukakan FIFA, saat ini pemerintah dan masyarakat Indonesia harus menghadapi kenyataan berupa batalnya penyelenggaraan PD U-20 di Indonesia. Berharap kepada FIFA untuk menganulir keputusan yang telah mereka buat tentunya merupakan suatu hal yang sia-sia. Pada akhirnya, keputusan FIFA memindahkan lokasi pelaksanaan PD U-20 membawa citra buruk bagi Indonesia, di mana Indonesia akan dikenal sebagai negara yang pernah gagal menyelenggarakan Piala Dunia.
*Direktur Renaissance Political Research and Studies (RePORT)
instagram: @adimhafid
Discussion about this post