Oleh: Ade Chandra Sutrisna*
Bencana Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sudah semakin mengkhawatirkan. Tidak ada negara di dunia yang siap dengan pandemi yang menyebabkan ratusan ribu kematian ini. Per 11 April 2020 saja, berdasarkan laman penghitung statistik daring, worldometer, mencatatkan 1,699,632 kasus Covid-19 di seluruh dunia. Diprediksi angka ini akan terus bertambah. Sampai kapan? Sayangnya tidak ada seorang pun yang tahu.
Di saat negara-negara lain mulai mencatatkan trend penurunan jumlah kasus positif Corona, Indonesia justru belum sampai ke titik klimaksnya. Trend negatif jumlah warga Indonesia positif Corona hingga meninggal akan terus naik. Banyak pihak bahkan telah memprediksikan, cengkraman virus Corona di Indonesia belum akan berakhir dalam waktu dekat. Masyarakat menunggu langkah konkrit pemerintah mengambil kebijakan.
Semua negara saling berlomba adu ‘jurus’ dalam upayanya menekan angka kematian warga negaranya akibat virus yang diduga berasal dari China ini. Kesiapan setiap negara diuji. Kecepatan merespon bencana berlomba dengan kecepatan persebaran virus. Lambat sedikit, nyawa yang jadi taruhan. Lantas siapakah di antara negara-negara di dunia ini yang paling efektif responnya? Nyatanya semua kalang kabut.
Tidak Ada Negara yang Siap
Pemandangan memilukan terlihat di sebuah kota di Ekuador. Mayat-mayat korban virus Corona ditinggalkan di jalanan, berserakan, tanpa ada yang berani menyentuh. Mayat-mayat ditutupi kain di jalanan kota Guayaquil. Foto-foto juga tersebar di media-media sosial, menampilkan mayat-mayat yang tergeletak begitu saja di jalanan. Pemerintah sampai harus menerjunkan tentara untuk mengangkat jenazah dari jalanan kota.
India dilanda prahara saat belum genap sepekan negara itu memberlakukan lockdown untuk mencegah penyebaran virus Corona. Dikutip dari kantor berita Jerman Deutsche Welle (DW) setelah resmi diberlakukan sejak 24 Maret 2020, ribuan buruh harian di kota-kota besar justru kehilangan pekerjaan dan berbondong-bondong pulang kampung. Akibatnya, terjadi penumpukan warga di stasiun kereta serta terminal bus.
Sayangnya beberapa hari sebelum jadwal perjalanan kereta dihentikan, ratusan ribu pekerja migran sudah meninggalkan kota-kota yang terdampak wabah virus Corona, seperti Delhi, Mumbai, dan Ahmedabad. Mereka umumnya pulang ke desa-desa di Negara Bagian Uttar Pradesh dan Bihar. India berharap kebijakan lockdown bisa menekan jumlah korban, sebaliknya yang terjadi justru bencana sosial. Miris.
Ada juga ribuan buruh migran dalam rombongan besar memilih berjalan kaki meninggalkan kota-kota besar menuju kampung halaman. Seorang buruh migran dilaporkan meninggal dunia, setelah kelelahan akibat berjalan sejauh 270 mil (270km) kembali ke kampung halaman. Kebijakan ini justru memicu konsentrasi di beberapa titik. Perdana Menteri Narendra Modi sampai harus meminta maaf atas kejadian ini.
Warga India juga menyebar dari kota yang terjangkit wabah ke desa yang belum terkena. Masih dikutip Deutsche Welle (DW), peristiwa ini justru meningkatkan risiko penularan ke warga lainnya. Sejumlah pakar khawatir India justru akan menghadapi tantangan berat dalam beberapa pekan mendatang. Pemerintah pusat India di New Delhi meminta pemerintahan negara bagian menghentikan laju migrasi massal tersebut.
Sementara Indonesia, berbeda dengan India dalam mengambil kebijakan. Setelah sempat gaduh dengan kebijakan apa yang dinilai tepat untuk menghalau Si Virus, akhirnya pemerintah memutuskan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di masyarakat dan bukan karantina wilayah. Kebijakan ini diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo 31 Maret 2020. Apakah PSBB akan efektif?
Baru pada 7 April 2020, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyetujui penerapan status PSBB di DKI Jakarta untuk mencegah penyebaran virus Corona. Dengan ditekennya surat persetujuan ini, PSBB wilayah resmi diberlakukan di Ibu Kota. Sementara, pemerintah daerah lain bahkan lebih dulu memberlakukan ‘lockdown’, tanpa melalui koordinasi dengan Pusat.
Semua negara kelabakan. Tak ada satupun negara di dunia ini yang mampu menghalau keganasan virus ini. Tak pandang bulu. Negara berkembang maupun maju, semua dilibas. Tak ada negara di dunia ini yang dinilai paling efektif menghalau virus Corona. Indonesia sebagai negara yang berpredikat tanggap terjadi bencana (biologis, alam, sosial) sekalipun, tidak terlihat taringnya saat dihadapkan pada kenyataan ini.
Momentum Mitigasi Bencana
Letusan Merapi dengan cepat menutupi ingatan orang terhadap tsunami Mentawai, tsunami Pangandaran dan gempa Yogyakarta membuat orang melupakan tsunami Aceh 2003 dan begitu seterusnya, hingga hampir-hampir setiap orang membiarkan segala sesuatunya dilupakan. Semua orang lupa untuk mengantisipasi ketidakpastian yang sesungguhnya berulang. Kita acapkali abai belajar dari pengalaman terdahulu.
Disadari atau tidak, momentum saat terjadinya bencana adalah waktu yang paling tepat untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya upaya kesiapsiagaan dan mitigasi (penanggulangan) bencana. Karena bagaimana pun perhatian masyarakat sedang tertuju pada ketakutan nyata yang tengah dia hadapi. Berbeda ceritanya saat masyarakat dicekoki pengetahuan seputar mitigasi bencana di momentum lain.
Selain tentunya Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang punya tanggung jawab atas upaya penanggulangan, diseminasi pengetahuan tentang kebencanaan juga wajib ditransfer ke semua elemen masyarakat. Mengandalkan satu pihak untuk menghadapi musuh, apalagi musuh yang tak kasat mata seperti Covid-19, adalah hal yang mustahil. Dibutuhkan kerja gotong royong.
Media, terkhusus media massa, barangkali punya peran penting dalam upaya mengedukasi seluruh elemen masyarakat. Selain bertugas mengabarkan saat dan pasca terjadinya bencana, yang tak kalah penting adalah tugas saat pra bencana yakni mengingatkan masyarakat terhadap ancaman untuk mendorong kesiapsiagaan. Sejatinya job desk ini dilakukan di sepanjang tahun dan dilakukan secara konsisten.
*Penulis adalah Pegiat Renaissance Political Research and Studies (RePORT) Institute.
Discussion about this post