Akhirnya saya menemukan tulisan seperti Buat Aktivis Kampus: Bisa Gak Biasa Aja? setelah sekian lama mencari. Saya bosan menulis sendiri tentang kebobrokan elite mahasiswa di media-media dan akhirnya hadir tulisan tersebut.
Andai saja, saya menemukan tulisan ini saat masih awal menjadi mahasiswa, maka akan lebih asik! Tapi nggak masalah. Mungkin yang bisa saya lakukan adalah menambahkan beberapa hal pada tulisan Buat Aktivis Kampus: Bisa Gak Biasa Aja? Karena memang faktanya, banyak yang lebih “jleb” dari yang sudah dituliskan.
Sebelumnya, saya berharap tulisan-tulisan semacam ini baiknya dapat terus berlanjut. Kalau perlu, mungkin kita bisa agendakan untuk mengkoreksi besar-besaran atau bahkan hingga ke pusat “persekutuan” elite-elite ini, se-Indonesia.
Misalnya nanti, kita bisa yaa… diskusi santuy bareng elite-elite seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI), Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara (BEM-NUS) dan teman-temannya yang harus diakui kalau sebagian darinya menggelikan. Bahkan juga nggak jarang, sorry, kurang bermanfaat. Tapi bagaimana pun, mereka adalah representatif mahasiswa, katanya.
Perihal di kampusmu (kampus penulis Buat Aktivis Kampus: Bisa Gak Biasa Aja?, red) mungkin terlihat gak bisa biasa aja. Tetapi di kampus saya, Universitas Berbisnis (UBE), elite mahasiswa di sini hanya menjadi bahan lelucon, bak ‘boneka’ yang didandani lalu berbicara di mimbar.
Politik ganteng dan cantik, mungkin sebutan yang tepat untuk praktek politik di UBE. Politik ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga masuk hingga ke kampus dan menjadi opsi bagi pelaku politik. Memilih jalan seperti itu, mungkin lebih menguntungkan ketimbang memilih politik yang saling adu gagasan.
Kalau pun ada yang memilih politik adu gagasan, biasanya itu hanya sekadar pemanis saat kampanye. Kata-kata yang diungkapkan juga dirangkai sebaik mungkin supaya benar-benar menarik perhatian calon pemilih alias maba.
Misal, “Meraih Aspirasi dan Tetap Pada Perjuangan” disingkat MANTAP, hahaha. Jika gagasan calonnya tidak bagus, paling tidak sudah punya slogan yang enak diucapkan dan mudah diingat. Sebagai suplemen tambahan demi mendompleng suara, cara lainnya adalah dengan koalisi antar parpol mahasiswa dan organisasi mahasiswa.
Kerjasamanya, biasanya, dengan menjual suara dari adik-adik mahasiswa baru (maba). Biasanya mereka menjadi sasaran empuk karena belum paham lor kidul. Ini dia, bentuk politik transaksional. Sungguh miris dan kasian sekali adik-adik maba ini. Hanya jadi alat jual beli politik.
Jika tidak dengan cara itu, maka masih ada cara lain yakni familiarisasi muka ganteng cantik untuk banner kampanye di sudut-sudut kampus. Astaga, sungguh menggelikan~
Sejauh yang saya ketahui, banyak orang-orang dengan model ini, hanya menambah beban kampus. Program-programnya pun instrumentalis dan orang-orang seperti ini hanya ikut nampang muka.
Program-programnya pun instrumentalis dan orang-orang seperti ini hanya ikut nampang muka.
Sekaligus, nanti menjual merek organisasi mahasiswanya untuk melanggengkan kekuasaan. Siapa lagi kalau bukan untuk adiknya yang ganteng atau cantik naik menggantikannya. Persis politik praktis nasional yang duh, busuk.
Ketimbang menjadi elite BEM atau EM (dikampus UBE), mungkin lebih cocok menjadi elite lembaga semi otonom. Karena mungkin yang diincar adalah titel “organsisatoris”-nya sekaligus sertifikat panitianya. Padahal, gak guna.
Mending mengikuti organisasi pergerakan mahasiswa yang jelas arah perjuangannya. Dari pada mengikuti buntut elite mahasiswa yang sekali lagi, sorry, menggelikan sekaligus hanya jago bersolek tersebut.
Jangan takut kehilangan sumber daya otoritas di kampus. Mahasiswa yang tak punya otoritas sekalipun sebenarnya juga punya kesempatan yang sama. Karena yang memilih BEM dan EM pun adalah mahasiswa.
Para elite-elite tersebut adalah perwakilan. Maka perlu sering dikontrol dan dikritik sebagaimana mestinya. Jangan sampai hanya mereka ini yang terus koar-koar dan jago klaim. Kita juga bisa memainkan peran secara baik sebagai yang diwakili.
Titel Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa beserta para menterinya, kebanyakan hanya dijual untuk panggung-panggung organisasi mahasiswa tempat dia dikader, tidak lebih dari itu. Atau bahkan buat masuk partai politik nantinya. Jadilah siklus politik setan, boro-boro menghasilkan perbaikan di ranah politik nasional, malah menciptakan borok baru sejak dini.
Terlebih ketika elite mahasiswa sedang berbicara. Rasanya lebih baik saya mendengarkan adik kelas yang berangkat dari organisasi riset dan masih getol mau belajar.
Mereka berbicara seolah-olah yang punya otoritas penuh pada mahasiswa. Misalnya dalam menyelesaikan masalah-masalah mahasiswa. Bukannya selesai, banyak dari elite mahasiswa bahkan hanya menambah masalah yang ada.
Ini baru bicara elite di ranah eksekutif mahasiswa. Belum di ranah legislatifnya. Bisa muntah-muntah saya nulisnya. Yaa… begitulah kondisinya. Butuh data? Silahkan crosscheck atau verifikasi langsung.
Akhir kata, seperti tulisan Buat Aktivis Kampus: Bisa Gak Biasa Aja? saya barangkali akan menambahkan kalimat “Bisa Ngga Sih Mikir?”. Jujur, sebenarnya saya juga ingin mengucapkan kata ini dengan lantang ke si doi.
_____________________