Oleh: Nurudin*
Pada tahun 1991 saya masuk menjadi jurnalis di majalah kampus Visi FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) di kota Surakarta. Saya tidak masuk melalui rekrutmen tetapi ditawari. Maklum pada tahun 1991 itu saya sudah menulis di harian Jawa Pos. Koran prestisius waktu itu.
Tetapi saat masuk, saya langsung kaget. Saya langsung berurusan dengan pihak keamanan dan kemahasiswaan fakultas. Mengapa? Saat itu, majalah yang kami kelola membuat reportase tentang golongan putih (golput), plus wawancara dengan Arief Budiman dan Andreas Harsono dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.
Bagaimana tidak menghebohkan? Golput nyaris menjadi makhluk yang sangat diharamkan dan dilarang masa Orde Baru (Orba). Waktu itu kekuasaan presiden tanpa kontrol secara efektif. Ada yang mengatakan berada dalam demokrasi terpimpin konstitusional. Terpimpin karena dikuasai nyaris satu orang dan konstitusional karena memang dilegalkan secara undang-undang (UU). Tidak ada organisasi apapun tak diawasi dan dibawah kontrol pemerintah. Saat saya menjadi pimpinan puncak, majalah itu pernah didatangi intel gara-gara mengadakan bedah buku Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) karya Dr. Syafi’i Ma’arif.
Saat berurusan dengan aparat, majalah kami yang dikenal cukup berani tambah “vulgar” dengan menampilkan logo segilima warna putih, simbol golput. Kami pun akhirnya dipanggil “penguasa” kampus. Namun kami bukan tanpa nyali. Kami memenuhi panggilan itu. Malah kami ditawari beasiswa. Hebat bukan? Mungkin pihak kampus keder juga, begitu seloroh beberapa reporter.
Akibat Bukan Sebab
Bagi pemikiran saya waktu itu, golput itu bukan sebab, tetapi akibat. Golput muncul karena sistem politik yang tanpa kontrol secara efektif dan tidak memberikan “ruang publik” masyarakat untuk mengespresikan pendapat dan sapirasinya. Pemilu pun sekedar hiruk-pikuk seremonial pesta politik. Bukan tak ada protes dan perlawanan, namun pemerintahan waktu itu sangatlah kuat. Perubahan ke ara iklim demokratisasi yang diharapkan pun tak kunjung datang. Maka, menjadi golput adalah bentuk perlawanan dari sistem politik. Golput adalah pilihan mereka yang ingin perubahan. Itu cerita waktu itu.
Bagaimana dengan geliat golput menjelang Pilpres 2019? Tentu ada banyak tafsir dan sudut pandang. Pemerintah tentu saja akan mengatakan golput itu dilarang. Jika golput semakin banyak, yang rugi pemerintah. Ia akan dianggap sebagai bentuk menurunnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Ini tentu sama dengan zaman orba dulu. Golput dianggap merongrong kekuasaan pemerintah. Bahkan golput dianggap ikut mengurangi suara Petahana, waktu itu. Maka, kalompok yang menolak golput biasanya berasal dari pihak Petahana. Dengan kata lain, golput akan merugikan perolehan suara Petahana. Tentu pendapat ini masih bisa diperdebatkan.
Maka saat ini, tak kurang Megawati Soekarno Putri harus menghimbau dengan mengatakan bahwa golput itu pengecut. Tak elok jika kita cari makan di negara ini akhirnya memilih Golput. Megawati mungkin lupa bahwa ia pernah mengatakan memilih golput pada tahun 1993. Mungkin konteksnya bisa beda, tetapi persamaaannya tetap ada, bahwa golput salah satu indikatornya adalah kekecewaan. Mengapa Mega berubah haluan? Apakah ia plin-plan? Tentu tidak sesederhana demikian. Sebagai seorang politisi ia punya kepentingan politik tertentu. Saat sekarang salah satu kepentingan Megawati adalah agar suara Petahana tidak tergerus.
Masyarakat Tetap Salah
Saat ini golput seolah “barang haram”, tabu, jelek atau atribut buruk lainnya. Seolah golput dianggap sebagai bentuk pembangkangan atau tak peduli dengan kebijakan pemerintah. Sampai-sampai mereka yang ikut mendorong munculnya golput akan dijerat dengan UU Terorisme. Tentu kebijakan itu tak lain sebuah ketakutan pada kecenderungan golput. Bagaimana mungkin golput akan dijerat dengan UU Terorisme? Ibarat mengukur jalan dengan memakai termometer. Orang yang mendengarnya tentu akan tertawa. Ini mungkin persepsi saya saja.
Masalahnya, memilih itu hak atau kewajiban politik? Jika hak, maka tak ada larangan orang untuk golput. Jika kewajiban, maka yang tidak melaksanakan bisa dijerat hukum sebagaimana kejahatan lain. Tetapi bukankah golput itu akibat, bukan sebab?
Ini tolok ukurnya jika memilih itu sebuah hak warga negara. Jika hak, maka mereka yang melakukan golput tidak bisa dilarang. Tentu saja, soal hak dan kewajiban ini antara pemerintah dengan masyarakat punya perbedaan kepentingan. Pemerintah bisa menganggap bahwa golput itu cermin orang yang tak peduli, masa bodoh, tak mau diuntung, tak bersyukur atau atribut lainnya. Sampai ada yang mengatakan pengecut. Tentu itu dari sudut pandang pemerintah.
Politik kita tentu politik kepentingan, politik kita esuk tempe sore dele (pagi tempe, sore kedelai). Seorang politisi bisa mengatakan X pada suatu waktu, dan bisa berubah mengatakan Y pada waktu yang lain. Apakah jika demikian kenyataannya yang salah adalah masyarakatnya? Apakah para politisi itu tidak merasa bersalah? Tak ada ukuran pasti dalam politik. Semua penuh kepentingan politik untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Kalau keadaannya terus begini, masyarakat tidak akan mudah percaya sepenuhnya pada omongan politisi. Para pembela petahana dan oposisi, tentu politisi yang biasanya bertugas mempertahankan atau merebut kekuasan.
Santai
Jadi, masyarakat itu santai saja. Karena politisinya juga seenaknya saja. Setiap saat bisa berubah, setiap saat tergantung kepentingan. Mau golput ya silakan, tidak juga tak masalah. Golput itu akibat, bukan sebab.
Tentu saja, mereka yang membela kemapanan tidak setuju pada perilaku golput. Bahkan artikel ini pun bisa dianggap sebagai merongrong kekuasaan politik serta mengampanyekan tidak suka pada pemerintah. Itu sangat mungkin. Tetapi, dimanapun dan kapanpun pemerintah itu memang perlu dikritisi. Mereka yang mendukung pemerintah tidak perlu gerah dengan kritik. Ya kalau tidak mau dikritik, tidak usah membela pemerintah. Aman kan?
Pilihan lainnya, kita tidak usah bicara golput daripada “ditangkap” dan dianggap tidak ikut berpartisipasi dalam politik. Ketakutan saya pun mulai merebak dan membayangkan saat saya dipanggil aparat kampus waktu menjadi mahasiswa. Tentu saya bisa semakin tidak disukasi oleh mereka yang melarang golput. Tetapi, rekam jejak dan data perlu ditulis dan diopinikan. Ini negara demokratis.
Menulis saat ini serba repot. Jika mengkritik pemerintah dianggap tidak suka. Padahal rekam jejak tulisan saya sejak dahulu hingga kini tetap mencoba mengkritisi pemerintah jika memang perlu dikritik. Tentu sesekali mengkritik lawan pemerintah.
*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, Fisip,
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Twitter/IG: nurudinwriter
Discussion about this post