Judul Buku: Prophetic Leadership
Penulis: Bachtiar Firdaus
Penerbit: Pustaka Saga
Tahun Terbit: 1, Juni 2016
Tebal: 194 Halaman
ISBN: 978-602-6851-23-9
Resentator: M. Rizqi Surya W*
Desember mendatang, Indonesia kembali menggelar Pilkada Serentak 2020 untuk memilih kepala daerah di 270 wilayah di Indonesia. Maka, kita sebagai masyarakat haruslah bijak dalam menentukan pilihan dalam memilih pemimpin daerah yang akan bekerja 5 tahun ke depan.
Mengapa demikian? Karena dari sanalah bermuara segala kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak berasal.
Masyarakat sebagai pemilih maupun calon kandidat yang akan berkontestasi haruslah memiliki wawasan kepemimpinan yang mumpuni. Supaya kontestasi politik menjadi ikhtiar mewujudkan kesejahteraan bersama seperti yang Aristoteles tafsirkan, bukan sebaliknya.
Berangkat dari itu, Bachtiar Firdaus, Direktur Eksekutif Rumah Kepemimpinan menulis sebuah buku yang berjudul Prophetic Leadership. Buku ini ialah panduan dalam mempelajari kepemimpinan yang disarikan dari nilai-nilai ke-Islaman serta teladan dari para Nabi yang diulas secara konseptual disertai contoh praktis.
Prof. Dr. Kuntowijoyo pernah menjelaskan kepemimpinan profetik berdasarkan pemahaman dari Q.S.Ali Imran ayat 110 ialah kepemimpinan yang mengisyaratkan tiga misi: humanisasi, liberasi dan transedensi.
Humanisasi ialah misi kemanusiaan yang terkoordinir dalam kalimat “ta’muruna bil ma’ruf”. Kedua, misi liberasi termaktub dalam kalimat “tanhauna ‘anil munkar” yakni mencegah kemunkaran terjadi dimana-mana.
Terakhir, misi transedensi “tu’minuna billah” yang menjadikan kesadaran ilahiyah sebagai acuan kemurnian hamba dalam melaksanakan perintah Tuhannya. Tiga misi itulah yang menjadi paradigma dasar kita dalam memahami kepemimpinan profetik.
Krisis kepemimpinan menjadi hal yang fatal bagi suatu peradaban. Perilaku serta kebijakan dari pemimpinnya punya dampak besar bagi orang yang dipimpin. Agar terhindar dari itu, penulis mengulas enam pemahaman dasar yang patut disadari oleh siapapun.
Karena sejatinya, kita manusia adalah khalifah di muka bumi ini yang bertanggungjawab atas segala titipannya. Keenam hal itu: kesadaran sebagai wakil Allah di muka bumi, berilmu, berkemampuan , amanah, berdaya untuk meregenerasi dan bertaqwa. Hal ini penting dipahami bagi orang yang memilih maupun dipilih: sebagai barometer kepemimpinan.
Buku ini terdiri dari sembilan BAB pembahasan yang disusun secara sistematis supaya mudah difahami oleh pembaca. Awal tulisan, penulis mengulas tentang tantangan peradaban Islam. Secara historis, Islam dapat diklasifikasikan dalam tiga peradaban: sebelum kehadiran Rasulullah, masa Rasulullah dan pasca Rasulullah.
Setiap masa punya tantangannya masing-masing. Tantangan Islam hari ini ada pada diskursus Islamophobia yang terkonstruksi secara global. Isu ini haruslah ditanggapi secara rahmah dan konstruktif melalui model kepemimpinan yang progresif.
Manusia sebagai khalifatullah di muka bumi hidup secara dinamis, baik secara individu maupun sosial. Penulis menjabarkan secara detail ikhwal perubahan yang terjadi dalam diri seorang manusia hingga perubahan yang besar, peradaban.
Suku Aztec di Amerika Selatan contohnya telah punah dikarenakan ketidakmampuan mereka dalam menanggapi perubahan. Hal ini terjadi karena imperialisme yang dilakukan Bangsa Spanyol ke daerah Meksiko dan berakhir pada kekalahan Suku Aztec.
Akhirnya, Bangsa Spanyol beramai-ramai migrasi ke Meksiko sampai Suku Aztec tersingkir hingga punah. Contoh tersebut menyimpulkan bahwa kehidupan adalah perubahan berkelanjutan yang disebabkan oleh faktor sunatullah dan faktor ilahiah.
Perubahan yang terjadi baik skala nasional maupun global merupakan tantangan dan juga peluang yang perlu direspon tentunya bagi manusia. “Change or die” menjadi pesan utama dalam menghadapi pola masyarakat hari ini.
Sebagai bentuk respon melihat perubahan zaman, diperlukan kenekatan untuk keluar dari safe zone (zona aman). Dalam menghadapinya, diperlukan kejelasan visi dan keberanian untuk ambil andil dalam membuat arus perubahan, tidak hanya menontonnya.
Selain itu penulis juga menekankan pada prinsip: perubahan besar dimulai dari perubahan diri sendiri. Sehingga aspek pengembangan kualitas individu menjadi modal awal dalam membentuk karakter seorang pemimpin, contohnya Sultan Muhammad Al-Fatih.
Beliau sudah memulai proses kepemimpinan dari usia 14 tahun hingga mengampu sebagai sultan di usia 19 tahun. Puncak dari sejarahnya adalah penaklukan Konstantinopel yang masih kita dengar ceritanya hingga hari ini.
Semua itu tidak dapat dicapai dengan mudah melainkan dengan proses yang panjang dari generasi-generasi sebelumnya. Beginilah Islam perlahan membangun manusia: mulai dari hal yang paling dasar untuk mimpi yang besar.
John C. Maxwell, seorang pakar kepemimpinan dunia menyatakan: “Jatuh bangunnya segala sesuatu, bergantung pada pemimpin”. Hal ini melegitimasi bahwa peran pemimpin mempengaruhi banyak hal.
Penulis menyisipkan kritik sosial pada potret sebagian pemimpin di Indonesia yang memprihatinkan seperti korupsi contohnya yang menjerat pejabat eksekutif, legislatif bahkan yudikatif.
Diperlukan rekonstruksi makna tentang kepemimpinan yang revolusioner untuk menghadapinya: pembebas peradaban, pembebasan pola pikir dan pembangun peradaban.
Ketiga definisi tersebut terintergrasi dalam kepemimpinan Rasulullah SAW. terhadap masyarakat jahiliah kala itu yang patut kita pelajari bersama dalam memahami makna integritas.
Bagaikan ‘puzzle’, kepemimpinan membutuhkan unsur-unsur yang tidak terpisahkan untuk membentuk rangkaian yang sempurna. Pertama, kepemimpinan bersandarkan ilmu. Karena apabila tidak diserahkan kepada yang memahaminya, maka kehancuran akan menanti bukan.
Kedua, pemimpin harus kuat baik secara jasmani, mental dan spiritual. Ketiga ialah pemimpin harus amanah: menjalankan ketaqwaan dan melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab.
Ke empat, kepemimpinan itu regeneratif, artinya ia tidak hanya berusaha membangun kualitas pada generasi saat ini melainkan mempersiapkan generasi selanjutnya seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. melalui khulafaur rasyidin.
Terakhir, kepemimpinan yang bertaqwa artinya seorang pemimpin haruslah adil dan bijaksana yang muncul dari pancaran keimanan pada Rabb-nya.
Diakhir BAB, Bachtiar Firdaus memberikan contoh untuk memudahkan pembaca dalam memahami kepemimpinan profetik dengan mengulas kisah para Nabi antara lain: Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Yusuf as, hingga Nabi Musa as dan Nabi lainnya.
Hal ini menegaskan bahwa misi kenabian bukan saja misi keimanan semata, melainkan misi membangun peradaban manusia dari masa ke masa.
Krisis kepemimpinan yang terjadi hari ini di belahan dunia manapun termasuk Indonesia selayaknya dapat teratasi sehingga ihwal keadilan dapat tercapai untuk membangun negeri “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”.
Discussion about this post