Bagi setiap muslim, Al-Quran dan As-Sunnah merupakan dua pedoman pokok dalam mengarungi seluk beluk kehidupan. Pun kenyataannya tidak gampang untuk mencerna ajaran Islam tanpa dilengkapi ilmu yang memadai. Makanya sejak dulu, para alim ulama berusaha menelurkan berbagai rumpun keilmuan agar memudahkan generasi setelahnya memahami dan mengamalkan Islam. Salah satunya adalah ilmu kalam.
Ditarik dari akar katanya, kalam berarti pembicaraan. Tetapi bukan dalam arti pembicaraan sehari-hari, melainkan pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika. Dalam literatur Islam klasik, ilmu kalam juga disebut dengan ilmu tauhid, ilmu aqidah, ilmu ma’rifat, ilmu ushuluddin dan fiqhul akbar. Di abad ke-20, ilmu kalam seringkali disandingkan dengan istilah teologi.
Kehadiran ilmu kalam merupakan konsekuensi akan perkembangan umat Islam pada zaman Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Bertolak dari hijrahnya Nabi ke Madinah dan memegang tampuk khalifah disana, hampir seluruh semenanjung Arabia kemudian berada di bawah otoritas oleh umat Islam. Kekuasaan umat Islam pun semakin meluas ketika dilanjutkan oleh khalifah selanjutnya.
Alhasil, umat Islam mulai bersinggungan dengan umat Nasrani dan Yahudi serta bersentuhan dengan kebudayaan Persia dan Romawi Timur/Byzantium. Guna meminimalisir kerancuan aqidah Islam, maka di rumuskanlah ilmu kalam dengan harapan bisa memperteguh keyakinan dalam berislam di tengah gempuran agama dan peradaban lain. Meski begitu, kemunculan ilmu kalam tidak serta merta murni berkaitan dengan penguatan aqidah, tapi juga dilatarbelakangi hasrat politik di kalangan internal umat Islam.
Pasca wafatnya Rasulullah SAW, mulai tampak perpecahan di kalangan umat Islam. Hal ini disebabkan oleh perselisihan siapakah yang berhak menggantikan Nabi sebagai khalifah. Kaum Anshar merasa layak untuk menggantikan jabatan tersebut. Begitupun kaum Muhajirin. Pertentangan ini akhirnya dapat ditengahi dengan terpilihnya Abu Bakar As-Shiddiq sebagai khalifah pertama dan dilanjutkan oleh Umar bin Khattab.
Konstelasi Politik Dua Khalifah
Sepeninggal Umar bin Khattab, beberapa sahabat bermusyawarah dan memutuskan Utsman bin Affan sebagai khalifah selanjutnya. Meski sukses melakukan ekspansi Islam ke berbagai wilayah, kepemimpinan Utsman kerap kali melahirkan kebijakan kontroversial. Salah satunya adalah mengangkat pejabat yang berasal dari kalangan keluarganya sendiri, yakni Bani Umayyah. Sebut saja Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai Gubernur Syam, Abdullah bin Sa’ad sebagai Gubernur Mesir, Al-Walid bin Uqbah dan Sa’id bin Al-Ash sebagai Gubernur Kufah, serta Abdullah bin Amir sebagai Gubernur Basrah.
Berangkat dari perkara diatas, mulai muncul pemberontakan di berbagai daerah. Puncaknya, yakni pengepungan dan pembunuhan terhadap Utsman pada tahun 35 H. Dengan kondisi perpolitikan yang tidak stabil, Ali bin Abi Thalib kemudian dibaiat sebagai khalifah selanjutnya menggantikan Utsman.
Penunjukan ini tidak membuat semua pihak puas, salah satunya adalah Aisyah binti Abu Bakar. Hingga akhirnya berlangsung Perang Jamal yang diakhiri dengan kekalahan Aisyah serta terbunuhnya Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang merupakan sahabat nabi.
Tentu menjadi tugas berat bagi Ali untuk segera memperbaiki kegoyahan politik umat Islam, mengingat pengaruh imperium Persia dan Byzantium juga semakin menguat. Namun bukannya meredam guncangan politik, sikap Ali justru semakin memperuncing pergesekan politik yang terjadi di umat Islam. Hal ini ditimbulkan dari sikap Ali yang tidak mengadili pelaku pembunuhan terhadap Utsman. Bahkan muncul desas desus yang menyebutkan bahwa Ali terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Atas dasar itulah, Muawiyah melancarkan pemberontakan terhadap kekhalifahan Ali melalui perang Shiffin. Pertempuran saudara seiman ini kemudian berhenti melalui peristiwa arbitrase. Berakhirnya perang Shiffin melahirkan empat kelompok di internal umat Islam, yakni kelompok Muawiyah, Murji’ah, Khawarij dan Syiah. Murji’ah merupakan kelompok yang menyatakan diri netral. Tidak memihak salah satu kubu dan tidak mau ikut campur urusan khilafah.
Kelompok Muawiyah merupakan pengikut setia Bani Umayyah yang berhasil merebut takhta Islam dari Hasan bin Ali dan kemudian mendirikan Dinasti Bani Umayyah. Adapun Syiah merupakan kelompok yang setia di dalam barisan Ali. Sedangkan Khawarij adalah kelompok yang keluar dari barisan Ali karena keputusannya menerima tawaran damai dari Muawiyah.
Sekalipun bermusuhan, Syiah dan Khawarij berada di sisi yang sama dalam menentang Dinasti Bani Umayyah walaupun memiliki motif yang berbeda. Kalau Khawarij menganggap Bani Umayyah telah melenceng dari ajaran Islam, sementara Syiah menganggap Bani Umayyah telah merampas kekuasaan dari Ali dan keturunannya.
Pergolakan Ilmu Kalam Klasik
Kelahiran ilmu kalam sesungguhnya merupakan buntut dari kericuhan hasrat politik yang terjadi pada masa Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam suasana yang tidak stabil, muncul dua aliran yang cukup berpengaruh, yakni Khawarij dan Murji’ah. Dua aliran ini menjadi pangkal dari hadirnya ilmu kalam sebelum berkembang menjadi berbagai macam aliran di periode selanjutnya.
Sebagaimana dijelaskan di penjabaran sebelumnya, Khawarij adalah golongan yang tidak sepakat dengan keputusan Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa arbitrase. Mereka menganggap setiap muslim yang melanggar hukum Allah dan melakukan dosa besar telah masuk kategori kafir. Dan setiap orang kafir halal darahnya untuk dibunuh. Oleh karena itu, dalam pandangan mereka, Utsman, Ali, Muawiyah dan beberapa sahabat Nabi lainnya masuk dalam kategori kafir.
Pada umumnya, Khawarij terdiri dari orang-orang Arab Badui, yang tumbuh dan berkembang di suasana alam yang tandus. Kehidupan yang tidak begitu kondusif menjadikan mereka memahami ajaran Islam apa adanya serta memiliki hati yang keras. Hal inilah yang menyebabkan begitu mudahnya Khawarij terpecah menjadi beberapa golongan kecil.
Pun pengkafiran yang begitu mudah mereka lontarkan bagi orang-orang diluar pahamnya, telah menyulut pertumpahan darah yang tidak sedikit. Bahkan Khawarij semakin anarkis karena tidak segan membunuh sesama Muslim yang tidak mau melenyapkan orang kafir. Alhasil kaum Khawarij memusuhi siapa saja yang bukan golongannya.
Sementara Murji’ah merupakan kelompok yang netral, tidak ingin terlibat dalam polemik kekuasaan dan menyerahkan hukum kafir tidaknya seseorang kepada Tuhan. Secara garis besar, kelompok Murji’ah memandang bahwa keimanan merupakan hal utama dalam menentukan predikat kafir tidaknya seseorang.
Sedangkan perbuatan manusia, berdosa atau tidak adalah akibat dari kualitas iman seseorang. Sehingga kalau seseorang meninggal dengan membawa dosa, maka adalah wewenang Allah untuk mengampuni atau tidak dosa-dosanya. Murji’ah inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya aliran Mu’tazilah di era Dinasti Bani Umayyah.
instagram: masaqinn
Discussion about this post