Oleh: Achmad Nur Cholis*
Pernakah berpikir bahwa ibadah puasa seharusnya dihapus dan tidak perlu diadakan setiap tahunnya? ya, seharunya begitu, mungkin bagi sorang yang tidak memiliki agama akan berpandangan bahwa puasa menjadi suatu peribadatan yang konyol.
Bagaimana mungkin manusia rela tidak makan dan minum kurang lebih 14 jam untuk sebulannya demi menampakan ketakwaan saja. Sangat konyol sekali untuk dilaksanakan bukan?
Jika hanya ingin mencari ketakwaan seharusnya manusia yang beragama dan memiliki akal pikiran tidak perlu menyiksa dirinya sendiri dengan hal yang tidak logis. Mungkin paradigmanya seperti itu.
Sejatinya perlu diketahui bahwa ibadah puasa menjadi peribadatan transendental yang bersifat Mahdah, tidak ada keraguan didalamnya untuk dilaksanakan.
Bila ditelaah dalam Asbabu Nuzul pada Surat Al-Baqoroh ayat 183 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”.
Dari beragam pandangan para ahli tafsir telah bersepakat bahwasanya perintah maupun ajuran berpuasa ini merupakan bentuk representasi dari ketakwaan manusia sebagai Abdun terhadap Rab-nya.
Ibadah puasa menduduki posisi sebagai ibadah Mahdah seperti yang disebutkan sebelumnya dalam hirarki bentuk ibadah lainnya.
Namun tidak berhenti demikian saja, bukan berarti bahwa sebagai manusia hanya tunduk patuh untuk melaksanakan tanpa bekal pengetahuan menjalankan ibadah tersebut.
Kita sering sekali terjebak memaknai puasa hanyalah sebatas menahan hawa nafsu, lapar dan haus sebagai bentuk representasi ketakwaan seorang hamba. Puasa tidak turun dan diperintahkan serta merta begitu saja sebagai bentuk pribadatan spiritual yang patuh terhadap perintah Tuhannya.
Satu hal menarik bagi penulis adalah bahwa ibadah puasa tidak melulu soal kebutuhan perut manusia saja. Jika hanya itu yang diajarkan seorang nabi Muhammad Saw, seharusnya orang-orang kaya saja yang wajib berpuasa. Karena orang miskin yang tergolong sebagai orang-orang yang dilemahkan dalam aspek ekonominya sudah terbiasa akan kelaparan dan kehausan.
Bukankah nabi Muhammad Saw telah gagal menyampaikan wahyu kepada manusia jika paradigma yang dikenal selama ini hanya sebatas itu atau memang manusia seperti kita yang kurang tertarik untuk memahami makna puasa dan pengejawantahannya dalam ranah sosial?
Kembali menelaah pada Surat Al-Baqoroh Ayat 183, kata awal yang tengah dibuka ayat tersebut adalah “hai orang-orang beriman”, jelas, ayat tersebut bersifat Madaniyyah. Dari pandangan Imam Ath Thabari, bahwa makna ayat tersebut berupa ikrar manusia sebagai Abdun terhadap Tuhannya.
Sebutan pada ayat tersebut memang hanya diperuntukan kepada orang beriman saja tanpa melihat aspek ekonomi seseorang. Sebutan pada ayat tersebut bersifat universal tanpa memandang golongan tertentu.
Siapa saja yang masih memiliki iman dalam hati, terlepas dari dia tergolong orang kaya maupun tidak maka hendaklah berpuasa.
Dan bunyi terakhir dalam ayat ini yang menjadi terminasi kesimpulan dalam ibadah puasa adalah “agar kalian bertakwa” kata La’alla ini memiliki beragam makna.
Namun jika ditarik secara garis besarnya maka dapat dimaknai dengan Ta’lil serta diartikan bahwa setiap orang hendak berpuasa untuk mencapai derajat ketakwaan terhadap Allah SWT.
Selain Imam Ath Thabari, Imam Al Baghawi juga meluaskan makna tersebut yang menyatakan bahwa ibadah puasa menjadi wasilah antara manusia dengan Tuhannya
Uniknya lagi adalah apa yang kita lakukan jika mengetahui bahwa puasa itu tidak hanya urusan perut saja? apa yang harus diperbuat jika kita semua yang beriman telah mengetahui bagaimana rasanya menahan lapar, haus, menahan hawa nafsu dan Jim’a?
Pertanyaan selanjutnya adalah apa bentuk pengejawantahan praktek ibadah puasamu selama sebulan ini? apakah kamu sudah menjadi manusia yang merdeka saat tibanya hari pembalasan kelaparan selama sebulan lamanya?
Pembahasan ini bermaksud untuk memantik bagaimana kita kembali merefleksikan puasa sebagai ibadah yang tidak hanya bersiklus pada peribadatan spiritual, melainkan juga sebagai ibadah sosial.
Karena sejauh ini Islam tidak pernah menjadi sebuah ideologi maupun agama yang bersifat Individualisme melainkan Islam selalu melibatkan interaksi sosial dan bentuk praktek ibadah kolektif.
Puasa tidak menjadi peribadatan tunggal untuk dilaksanakan, ibadah ini selalu beriringan dengan ibadah Zakat. Demikian terjadi karena Allah SAW, sedang tidak bercanda untuk menegur hamba-Nya.
Bentuk teguran dan peringatan ini serupa Allah SAW memberi isyarat pada manusia bahwa hendaklah mencoba menahan rasa lapar selama berjam-jam lamanya dalam kurun waktu satu bulan.
Jika sudah merasakan hal itu hendaklah melihat dan menengok pada orang-orang disekeliling, tetangga, saudara seiman yang tidak bergelimang harta seperti yang kita miliki.
Teguran tersebut hendak menuntun kita untuk selalu berbagi pada sesama manusia apalagi saudara seiman. Konsep zakat tidak hanya sebatas pencucian harta, ini berupa tuntutan untuk menyisipkan harta kepada anak yatim, fakir dan miskin serta Mustad’afin di sekeliling kita.
Bentuk kelaparan dan rasa haus yang sudah kita rasakan selama satu bulan ini bermakna agar manusia mampu melirik tidak hanya dengan mata terbuka saja melainkan dengan lapang dada dan hati yang besar untuk tidak sukar memberikan hartanya kepada orang-orang sekelilingnya dan Allah SWT hanya meminta 2,5% saja dari harta kita.
Selanjutnya setelah berpuasa, umat Islam akan menghadapi apa yang disebut sebagai hari raya Idul Fitri. Hari kebangkitan umat Muslim, hari kemerdekaan dan hari kebebasan.
Hari tersebut kerap menjadi hari Uforia kita semua. Namun sedikit diantara kita memaknai bahwa hari kemerdekaan lebaran artinya merdeka dari tidak adanya rasa kelaparan, hari tidak adanya penidasan ekonomi, hari dimana semua manusia bisa mengisi perutnya lagi, hari tidak adanya ketakutan untuk tidak bisa makan.
Demikian manusia kembali menjadi suci, suci hatinya, suci hartanya serta terbuka lebar pintu maaf dari sang Kholik atas dosa dosa maupun keserakahan manusia terhadap kepemilikannya.
Maka dari itu, Islam tidak pernah menjadi agama pelipurlara yang individualis melainkan juga Islam lebih bersifat sosialis religis, tidak hanya peduli terhadap pribadi melainkan kolektif.
Seharunya puasa tidak perlu diadakan, jika kita masih menjunjung egosentris yakni hanya memikirkan perut sendiri.
*Penulis adalah Mahasiswa Kesejahteraan Sosial, Fisip,
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Instagram: @Mr_Jecko
Discussion about this post