Membicarakan Turki, tentu Hagia Sophia menjadi salah satu topik paling menarik di dalamnya. Daya tariknya mendunia, karena posisinya strategis berada di Istanbul, serta jaraknya tidak terlalu jauh dari Blue Mosque, Chora Church dan Galata Tower, yang juga menjadi destinasi utama.
Banyak wisatawan berpendapat. Untuk merasakan nilai eksotiknya, waktu terbaik mengunjunginya pada musim semi dan musim gugur.
Selain itu Hagia Sophia juga menarik karena nilai sejarahnya. Ia adalah monumen yang menandai silih bergantinya budaya, agama hingga rezim yang berkuasa di daerah dekat Laut Hitam ini. Baru-baru ini, ia memanaskan diskursus internasional, setelah diputuskan untuk menjadi masjid.
Tetapi Hagia Sophia awalnya adalah sebuah katedral, bernama Megale Ekklesia. Kelahirannya dimulai saat Kaisar Konstantinus, yang memimpin Romawi sejak 306 sampai 337 M, berhasil merebut Bizantium yang sebelumnya koloni Yunani.
Ia memilih daerah ini untuk menghadapi kebangkitan Persia di wilayah timur. Nama daerah itu kemudian diganti menjadi Konstantinopel.
Proyek pembangunan Megale Ekklesia dimulai sejak 325 M dengan memakan waktu sekira lima tahun. Katedral yang juga dipakai dalam penobatan para penguasa ini dibangun di atas pondasi kuil pagan di Konstantinopel. Bentuknya sederhana, menjulang ke atas dengan atap kayu.
Bangunan ini selanjutnya menjadi saksi sejarah meluasnya wilayah kekuasaan Imperium Romawi. Sekaligus makin meruncingnya konflik kepentingan di dalamnya.
Dalam Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda (2015), Ernst H. Gombrich mencatat bahwa dua negara ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Romawi sejak 395 M. Romawi Barat yang berpusat di Roma, penduduknya menggunakan bahasa Latin. Wilayahnya mencakup Italia, Galia, Britania, Spanyol dan Afrika Utara.
Sementara Romawi Timur berpusat di Konstantinopel, menggunakan bahasa Yunani, mencakup Yunani, Mesir, Palestina, Asia Kecil dan Makedonia.
Kristen adalah satu-satunya agama resmi. Para Uskup dan Uskup Agung juga dijadikan sebagai pejabat tinggi yang memiliki pengaruh dalam urusan negara. Hal ini mengawali sebuah era baru yang dikenal sebagai abad pertengahan.
Megale Ekklesia terbakar habis pada 404 M akibat perseteruan dari dua kubu kepentingan besar, antara Eudoksia, istri Kaisar Arkadios, dengan Ioannes Chrysostomos, Uskup Agung Konstantinopel.
Kaisar Theodosios II kemudian membangun ulang, dan menjadikannya sebagai gereja Basilika pada 415 M. Ditambahkan juga lima ‘nave’ dan pintu masuk yang lebih megah.
Namun sayang, gereja ini kembali hancur akibat Revolusi Nika yang terjadi pada 532 M, masa kepemimpinan Kaisar Yustinianus. Perlawanan yang diinisiasi oleh golongan aristokrat dan pedagang itu berhasil dipadamkan.
Yustinianus kemudian memerintahkan dua Arsitek masyhur, Isidoros dan Anthemios, untuk mendesain ulang gereja ini. Ia juga memerintahkan semua provinsi untuk mengirimkan bahan bangunan terbaik. Marmer putih diambil dari pulau Marmara. Marmer merah muda dari Afyon. Dan marmer kuning dari Afrika Utara.

Pembangunan ulang yang kedua kali ini dimulai sejak 532 dan selesai pada 538 M. Walhasil, gereja ini menjadi yang terbesar dan termegah sepanjang periode Imperium Romawi. Struktur bangunan inilah yang bertahan hingga hari ini.
Kebesarannya mengalahkan Koloseum. Kubahnya adalah yang terbesar setelah kubah gereja Pantheon yang juga berada di Roma. Bahkan Yustinianus mengklaim kemegahannya mengalahkan kuil Sulaiman di Yerussalem. “Sulaiman, aku berhasil mengalahkanmu” lantangnya suatu ketika.
Proyek ini didasari motif yang tidak sederhana. Marvin Perry dalam Peradaban Barat: Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan (2012) menyebutkan, Yustinianus bercita-cita menyatukan kembali seluruh kerajaan Romawi lama, dan membangkitkan tradisi kemegahan, yang terkikis setelah Romawi Barat dikuasai bangsa Germania.
Dipilihlah nama Hagia Sophia untuk gereja ini, yang dalam bahasa Yunani berarti kebijaksanaan suci. Gereja ini mendapatkan jalan baru pada 1453, setelah Kesultanan Ottoman (Ustmaniyah) di bawah pimpinan Mehmed II (Muhammad Al-Fatih) menumbangkan Romawi Timur.
Sultan Mehmed II memilih untuk mempertahankan, tetapi mengkonversinya menjadi masjid. “Tuhan yang disembah umat Kristen dan Islam adalah Tuhan yang sama” alasannya. Sejak itu nama Konstantinopel juga diganti menjadi Istanbul.
Mosaik-mosaik kristiani pun diplester dan ditutupi cat kuning emas. Kazasker Mustafa Izzet, seniman kaligrafi yang masyhur, diperintahkan untuk menggurat nama suci Allah, Muhammad, empat khalifah, Hasan dan Husain di beberapa bagian interior.
Selama kekuasaan Ottoman, beberapa struktur dalam bangunan ditambahkan. Diantaranya mihrab, mimbar, perpustakaan, dapur umum dan empat menara menjulang untuk adzan.
Sebuah jalan baru lagi didapatkan Hagia Sophia pada 1935. Setelah Turki menganut sistem republik, presiden pertama Mustafa Kemal Ataturk mengkonversinya menjadi museum.
Plester ornamen yang sebelumnya menutupi mosaik-mosaik kristiani dibuka. Kemudian ditemukanlah lukisan Perawan Maria menggendong bayi Yesus, yang ternyata berada di tengah kaligrafi Allah dan Muhammad.
Langkah yang diambil oleh Kemal Ataturk adalah untuk memupuk simbol modernisasi dan sekularisasi yang ia gencarkan.
Kebijakan ini menuai banyak apresiasi karena dianggap mendamaikan corak-corak agama dan budaya yang telah singgah di Hagia Sophia. Pada 1985 UNESCO menetapkannya sebagai situs warisan dunia, dengan menyebutnya Area Bersejarah Istanbul.
Para ahli sejarah menyebut Hagia Sophia sebagai keajaiban dunia ke-8, berkat rekornya sebagai museum untuk bidang sejarah seni dan arsitektur yang paling sering dikunjungi di dunia.
Tetapi konflik tidak berhenti di sini. Status tersebut menjadikan Hagia Sophia milik dunia. Semua umat agama berhak menyelenggarakan ibadah di dalamnya. Umat Kristen dan Islam adalah yang paling sering, tetapi justru kerap saling bersitegang.
Menjadi Masjid Kembali
Kini, lagi-lagi, Hagia Sophia mendapatkan jalan baru. Pada 10 Juli 2020 kemarin, Pengadilan Administrasi Utama Turki memutuskan untuk kembali menjadikannya masjid, dengan membatalkan dekrit pemerintahan 1935.
Putusan ini dikonfirmasi Presiden Recep Tayyip Erdogan beberapa jam setelahnya. Dan pada 24 Juli kemarin digelar shalat jumat di Hagia Sophia, untuk meresmikan pembukaannya.
Pengembalian status ini sebetulnya telah disinyalir sejak lama. Sejak tahun lalu, Erdogan gencar menarasikan ‘kemenangan Hagia Sophia dan Masjid Al-Aqsha (Yerussalem).’
Beberapa kali ia menambahkannya dengan membaca surat Al-Fath, yang berarti kemenangan, dalam Al-Qur’an, dan glorifikasi penaklukan Konstantinopel oleh Ottoman.
Diskursus internasional dalam beberapa minggu terakhir pun memanas. Banyak kalangan Islam menyambutnya dengan euforia. Tetapi tentu, Yunani, Dewan Gereja Dunia, UNESCO dan golongan sekuler di Turki menjadi yang terdepan menggugatnya.
Tidak begitu jelas motif yang mendasari pengembalian status Hagia Sophia ini. Beberapa tokoh dan organisasi Islam sebetulnya mempertanyakan, karena Islam dalam sejarahnya lebih banyak mendorong penghormatan terhadap rumah ibadah Ahli Kitab (Kristen dan Yahudi), bahkan di negara-negara yang mereka taklukkan.
Beberapa analisa mengemuka untuk melihat motif di baliknya. Di antaranya, Pertama, Erdogan adalah delegasi dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Partai ini berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin (IM), yang banyak terlibat dalam isu-isu negara Islam di Timur Tengah.
Kedua, Turki di era Erdogan mempertahankan posisinya sebagai penyambung dunia barat dan timur dengan politik luar negeri multi-arah. Tetapi, jika sebelumnya lebih dekat dengan barat, kini ia lebih mendekat ke timur, khusunya negara-negara Islam di Timur Tengah.
Turki banyak memberikan bantuan, menggalang aliansi, dan memediasi konflik antar negara-negara Islam, khusnya untuk kasus Israel-Palestina.
Bersama Iran di era Ahmadinejad, Turki konsisten menerapkan sekuritisasi dalam isu Palestina. Hubungan Turki-Israel lantas memburuk, terutama setelah insiden Mavi Marmara (2010), saat itu Israel membunuh sembilan warga Turki yang juga aktivis Freedom Flotilla, sebuah aliansi internasional untuk Gaza.
Ketiga, menurunnya elektabilitas AKP dan menguatnya partai kiri-sekuler pasca pemilihan walikota serentak 2019 lalu. Narasi Hagia Sophia dan Masjid Al-Aqsha berfungsi membangkitkan sentimen nasionalisme umat Islam Turki.
Tetapi apapun motif sebenarnya, perebutan Hagia Sophia selalu dilandasi hal sederhana. Ia adalah salah satu monumen ikonik dan terpenting. Kebesaran pengaruhnya tentu membuat ia jadi primadona dan rebutan para penguasa, untuk memupuk citra di hadapan Turki dan dunia.