Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan norma yang mengatur hubungan antara negara (state) dengan individu-individu (civil). Teori John Locke tentang hak alamiah (Natural Rights) mendasari bahwa yang melekat pada setiap diri manusia adalah hak hidup, hak kebebasan dan hak milik. Hakikatnya hak dasar dimiliki manusia itu sendiri bahkan sejak masih dalam kandungan.
Sesudah perang dunia II, berbagai akibat yang di alami manusia seperti kehilangan keluarga, harta benda, dan kerusakan ekonomi ataupun fisik dan mental, telah melahirkan sebuah komitmen global.
Pada 24 Oktober 1945 dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menunaikan misi perdamaian dunia. Tiga tahun setelah terbentuk, 10 Desember 1948 PBB melahirkan sebuah deklarasi bagi umat manusia yang dinamakan Universal Declaration of Human Rights (DUHAM). Dan deklarasi tersebut diratifikasi oleb banyak negara, baik sebagian maupun seluruhnya.
Indonesia sendiri sudah merumuskan dasar HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28. Itu berarti para pendiri bangsa sudah meletakkan dasar persatuan melalui kesetaraan hak semenjak lahirnya Indonesia.
Sekalipun penguatan dan perlindungan HAM di Indonesia baru lahir setelah jatuhnya rezim orde baru. Melalui diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum Indonesia sebagai anggota PBB, yang berarti Indonesia meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia beserta dengan instrument HAM lainnya.
Perjanjian Internasional tersebut mengikat tiap negara di bawah hukum internasional, yang dikenal dengan International Law Human Rights. Beberapa wilayah seperti Eropa, Antar-Amerika dan Antar-Afrika, sudah memiliki hukum hak asasi manusia, yang diawasi oleh komisi hak asasi manusia PBB. Komisi ini dinamakan Economic and Social Council (ECOSOC), yang didirikan 1946. Maka, negara-negara di wilayah tersebut terikat dan tunduk terhadap hukum HAM internasional.
Dalam kesepakatan tersebut negara menjadi subyek hukum HAM internasional. Tujuannya adalah menetapkan kewajiban yang harus dilakasanakan oleh negara terhadap warganya. Karena itu, berdasar setiap perjanjian, negara-negara peserta pasti mempunyai kewajiban menjamin perlindungan terhadap HAM warga negaranya.
Secara elementer, kewajiban negara tersebut terwujud dalam tiga bentuk. Pertama, setiap negara wajib untuk menghormati HAM. Kedua, setiap negara wajib melindungi HAM. Ketiga, setiap negara wajib untuk memenuhi HAM. Ketiga hal tersebut merupakan kewajiban pokok negara terhadap HAM.
Setiap kewajiban senantiasa mempunyai kaitan yang erat dengan tanggung jawab. Berdasar komitmen internasional tujuan yang ingin dicapai adalah bahwa setiap negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam menghormati, melindungi dan memenuhi HAM. Setiap keberhasilan dalam melaksanakan kewajiban, berarti dicapai kemajuan-kemajuan bagi penerapan HAM.
Karena Indonesia menjadi salah satu negara yang berjanji, maka wajib menegakkan HAM. Jika Indonesia mengabaikan dan melalaikan hukum internasional tentang HAM yang telah diratifikasi, maka berarti negara telah melakukan pelanggaran HAM. Dan karena subyek hukum HAM internasional adalah negara, maka pelanggaran HAM merupakan tanggung jawab negara.
Pelanggaran HAM di Papua
Meskipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi instrument-instrumen DUHAM, namun instrument itu tidak berlaku di wilayah Papua. Pembungkaman ruang demokrasi masih terus terjadi di Papua.

Pemerintah melalui aparat keamanan (baca: TNI-Polri) masih terus melakukan peculikan, terror, intimidasi dan bahkan pembunuhan. Lalu, mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum. Pemerintah Indonesia membiarkan adanya penangkapan tokoh dan pejuang demokrasi Papua oleh aparat keamanan, dengan tuduhan makar ataupun separatis secara sepihak.
Akses ke Papua bagi dunia luar juga dibatasi. Pemerintah sengaja mengisolasi Papua dari dunia Internasional dan melarang kunjungan anggota senator, kongres, diplomat, jurnalis dan pekerja kemanusiaan dari luar negeri.
Penegakan hukum tak berjalan dengan semestinya. Banyak pejuang pro-demokrasi ataupun Orang Asli Papua (OAP) mengalami kekerasan. Mulai dari intimidasi, penyiksaan berat, pembunuhan, pembatasan ruang berkumpul dan berserikat. Sedangkan pelaku yang di dominasi oleh aparat keamanan dan militer dihukum ringan atau bahkan kebal hukum.
Berikut beberapa kasus yang tercatat dalam buku, Mati Atau Hidup, Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua dan sumber berita:
18 Juni 2012, siang hari. Seorang ibu berinsial MN (30) dan telah bersuami dengan YK, diperkosa oleh oknum anggota Brimob Polda Papua di Pos Eduda, Kampung Kinou, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai.
Berdasar kesaksian keluarga korban, saat MN pergi ke kebun mengambil ubi, tiba-tiba tiga orang Brimob Polda Papua yang sedang bertugas di Pos Eduda, menodongkan senjata ke MN dan dipaksa melayani ketiga anggota Brimob itu.
Kemudian, saat pulang ke rumah, MN melapor peristiwa tersebut pada suaminya, namun suaminya membiarkan kasus tersebut karena rasa takut dan trauma dengan aparat keamanan.
27 November 2012, pukul 11.00 WIT, Frengki Uamang ditangkap dan disiksa oleh anggota Polisi Resor Timika. Korban mengalami penyiksaan berat di kantor Polsek Kwamki Baru. Sesuai dengan pengakuan korban, ia ditendang dengan sepatu lars anggota Polisi.
Pukulan dan tendangan diarahkan pada kepala belakang, telinga, muka, dan dagu. Korban juga dipukul bagian dada, kaki, tulang betis, paha bagian depan belakang yang mnegakibatkan korban tidak bisa berjalan selama 4 hari, polisi menuduh korban memberikan makanan kepada anggota Tentara Nasional Pembebasan-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM).
Korban menyampaikan bahwa ia datang mengikuti acara duka dan akan kembali ke kampung halamannya di kampong Weah. Meskipun korban sudah menyampaikan maksud kedatangannya di Timika, anggota kepolisian tetap melakukan penyiksaan terhadap korban.
Dari kantor Polsek Kwamki Baru, sekitar pukul 15.30 WIT korban diborgol, dibawa keluar ke area persawahan dengan maksud akan ditembak mati. Namun ini tidak terjadi lantaran ada anggota Polisi lain untuk menghentikan niat jahat tersebut.
Kemudian korban dibawa ke kantor Polres Mimika, di Mile 32. Sepanjang hari diinterogasi, dengan kaki dan tangan terikat di meja ruang tahanan. Pada 28 November, ia diantar oleh seorang Polisi kembali ke tempat tinggalnya.
3 September 2012, Anggota TNI 755 Merauke di Boven Digoel, melakukan penembakan terhadap Januarius Kimko. Januarius Kimko dicurigai oleh anggota TNI akan berhubungan badan dengan istri pelaku. Akhirnya, korban diambil tengah malam dirumahnya, di Kompleks Emenes Abonggo dan ditembak empat kali pada paha dan pergelangan kaki kiri. Korban ditemukan tewas di rumah sakit Merauke pada 5 September 2012.
22 November 2012, anggota TNI melakukan penembakan dan pembunuhan terhadap Frederika Metalmeti (38). Frederika Metalmeti adalah seorang Pendeta Gereja Betlehem Pantekosta di Kabupatn Boven Digoel.
Korban ditemukan tewas dijalan Trans Papua, Sungai Mak Distrik Mandobo. Pada tubuhnya di temukan dua luka tembak di pelipis kanan dan bahu kanan hingga tembus ke belakang. Dari TKP polisi menemukan peluru kaliber 45 dan selongsongnya, helm, tas, dan sandal yang diduga milik korban.
9 Agustus 2012, dalam memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional, rakyat Papua merayakannya di beberapa tampat. Di antaranya, Kota Jayapura, Manokwari, Jayawijaya, Sorong, Merauke dan Kabupaten Serui. Untuk perayaan di Jayapura, Polisi menolak surat pemberitahuan aksi damai.
Sementara di Kabupaten Japen, ibu Kota Kabupaten Serui, aparat keamanan melakukan tindakan represif saat membubarkan aksi massa. Kelompok massa dihadang oleh gabungan kepolisian kepulauan Yapen dan militer dari Kodim 1709, menggunakan dua truk, satu truk Garnisun, satu mobil Lantas dan dua mobil Panther.
Aparat keamanan mengeluarkan enam kali tembakan udara dan 10 kali tembakan kea rah massa, juga melakukan pengepungan, pemukulan dan penyisiran. Mereka yang ditangkap dan ditahan di Polres Yapen adalah Beny Yoby, Matias Pedai, Ratna Semboari, Edison Kendi, Yan Piet Maniamboi, Bram Wainarisi, Risal Bisai, Ruben Bunai, Yosina Pangkurei, dan Daniel Kandipi.
Pembatasan akses informasi juga terjadi pada September 2019, setelah protes muncul akibat penangkapan dan perlakuan rasis terhadap pelajar Papua di Malang dan Surabaya. Pemerintah memutus akses internet sementara di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan dalih mencegah penyebaran berita bohong dan mempercepat pemulihan keamanan.
Polisi juga sempat menahan pegiat HAM, Dandhy Dwi Laksono, dengan tuduhan mengucap ujaran kebencian hanya karena melaporkan kondisi di Papua melalui media sosial.
Konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Operasi Papua Merdeka (TPN/OPM) dengan TNI, yang didasari dugaan keterlibatan pembunuhan 28 pekerja konstruksi di Kabupaten Nduga. Mengakibatkan ribuan orang harus mencari perlindungan ke wilayah lain.
Pengungsi dari Nduga hidup dalam kondisi tidak manusiawi. Laporan sukarelawan Amnesty menyatakan setidaknya 5.000 pengungsi terpaksa meninggalkan rumah mereka dan dari jumlah tersebut tercatat 138 orang meninggal akibat terputusnya akses kebutuhan dasar hidup mereka.
Seharusnya, mereka mendapat status pengungsi dari pemerintah hingga akses penyediaan pangan secara teratur. Kini, bantuan pangan dari sukarelawan tidak berjalan lancar, obat susah didapat dan layanan minim layanan psokologis. Akibatnya kondisi tersebut menimbulkan trauma dan ketakutan yang tak berkesudahan.
Terbaru, penembakan Pendeta Yeremia di Kampung Hitapida. Kabupaten Intan Jaya, Papua 19 September 2020. Menurut keterangan saksi dan keluarga, Pendeta Yeremia sempat menyebut bahwa penembaknya merupakan anggota TNI bernama Alpius yang justru dianggap anak sendiri oleh Pendeta Yeremia.
Dalam 10 tahun terakhir telah terjadi banyak pelanggaran HAM di Papua. Kekerasan dan penembakan yang sebagian besar dilakukan oleh aparat keamanan terus menerus terjadi.
9 contoh kasus diatas hanya sebagian kecil dari banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di alami oleh rakyat Papua. Dalam laporan dari Amnesty Internasional, dalam kurun waktu 2010 – 2018 tercatat ada 95 orang tewas dari 65 kasus yang merupakan korban pembunuhan diluar hukum oleh aparat kepolisian dan militer Indonesia.
Aspirasi politik rakyat Papua diredam dengan kekerasan dan operasi keamanan. Seruan damai terdengar namum tak mampu menembus hati pemimpin nasional Jakarta dan pimpinan kepolisian serta militer Indonesia.
Orang Papua seakan kehilangan harapan hidup, hal paling mendasar yang harusnya melekat dalam diri setiap manusia. Tak ada yang menjamin berapa lama usia seseorang, karena kapan pun nyawa bisa diambil bukan oleh Sang Pencipta, tetapi oleh manusia sendiri hanya karena perbedaan pikiran, pendapat, dan aspirasi politik dengan senjata yang mematikan.
Tulisan ini merupakan langkah kecil dari semangat memperjuangkan harapan hidup. Bila manusia dilahirkan untuk menegakan keadilan di muka bumi ini, itu berarti kita tidak bisa hanya diam dan membiarkan pelanggaran HAM terus menerus terjadi.
Negara harus berani dan bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM yang terjadi, bukan hanya diam dan seolah menutup mata atas kesengsaraan yang dialami oleh warga negaranya.
Discussion about this post