Kemanusiaan Gus Dur patut kita lihat secara mendalam agar dapat menjadi pembelajaran bersama. Kita awali dengan melihat kenyataan bahwa tidak ada lembaga pendidikan Islam yang lebih tua dari pesantren di Indonesia.
Banyak peneliti bahkan menunjukkan bahwa keberadaan pesantren telah dimulai sejak masa awal penyebaran Islam di Nusantara.
Di Jawa, misalnya, Masjid Pesucinan peninggalan Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) di Leran, Gresik, diperkirakan sebagai masjid tertua di Jawa.
Sejumlah bukti arkeologis menunjukkan bahwa masjid yang telah berdiri pada abad 14 ini digunakan sebagai tempat bermukim dan pusat pembelajaran Islam di Leran.
Dalam usianya yang berabad-abad, tentu pesantren telah mengalami perkembangan yang variatif. Tapi ia tetap mempertahankan sebuah tradisi keilmuan yang membuatnya berbeda dan lebih unggul dari lembaga pendidikan lainnya.
Sebuah tradisi meneruskan warisan keilmuan Islam untuk pembentukan karakter masyarakat secara Islami. Sebuah identitas yang membuatnya dapat beradaptasi dalam setiap pergantian jaman, dengan tanpa menanggalkan nilainya yang khas.
Dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo, menyatakan optimismenya terhadap pesantren. Ahmad Baso dalam Pesantren Studies 2a (2012) mengutipnya, “Pesantren dan pondoknya mempersatukan anak-anak muda dari segala lapisan masyarakat. Anak petani, saudagar, bangsawan, berkumpul di dalamnya. Mereka mendapat bimbingan lahir atau batin yang sama, sampai di kemudian hari memegang pekerjaan yang beraneka warna di dalam masyarakat.”
Maka Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengistilahkan pesantren sebagai sub-kultur. Sebuah identitas kultural dari kultur yang lebih besar dalam Islam, yang telah terbangun sejak kelahiran Islam itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia, ia adalah unit dari ‘Pribumisasi Islam’. Sebuah istilah yang Gus Dur gunakan untuk menggambarkan bagaimana Islam harus melewati proses akulturasi dengan budaya lokal setempat, untuk dapat diterima oleh masyarakat.
Kultur pendidikan ini bahkan mampu memberikan perubahan secara total terhadap karakter dan kepribadian individu yang berada dalam lingkarannya, sehingga menciptakan jaringan dan dinamika sosial yang begitu luas.
Gus Dur dan Santri Pencuri Kutang
Pengalaman Gus Dur sendiri saat nyantri di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, dapat menggambarkan kekuatan pendidikan pesantren. Kisah ini dicatat oleh Al-Zastrow Ng, dalam Gus Dur, Siapa sih Sampeyan (1999).
Pada 1959, saat itu Gus Dur di bawah asuhan Kiai Abdul Fattah Hasyim, pamannya yang juga pengasuh pesantren, diamanahkan menjadi kepala keamanan.
Suatu waktu, si kepala keamanan mengincar salah satu santri untuk di-takdzir (dihukum). Hal ini ia lakukan karena jengkel dengan kenakalan seorang santri yang ‘mbelinger’.
Gus Dur makin jengkel saat kulit bedug pesantren hilang, dan tahu bahwa pencurinya adalah santri tersebut. Bedug dari kulit sapi asli itu habis digoreng menjadi krecek untuk lauk makan.
Kini si santri telah melewati bermacam level takdziran. Digundul, tadarus Qur’an di halaman pesantren dan menguras kamar mandi. Maka menurut Gus Dur, pelanggaran selanjutnya tidak ada kompromi. Ia harus dikeluarkan.
Tapi si santri justru semakin parah. Kini ia gemar masuk ke kompleks santri putri. Sayangnya Gus Dur selalu gagal melakukan ‘operasi tangkap tangan’ sehingga belum berani melapor ke Kiai Fattah.
Hingga untuk mengakalinya, muncul ide untuk merazia isi lemari semua santri. Pikirnya, jika si santri memang mesum, di lemarinya pasti akan ditemukan barang yang menunjukkan kemesuman itu.
Dan benar saja, sehelai kutang ditemukan dalam lemari si santri. Setelah diselidiki, kutang itu memang milik seorang santri putri.
Gus Dur kemudian sowan ke ndalem. Ia membawa kutang, menunjukkan kepada Kiai Fattah, dan menjelaskan duduk perkara. Ia juga menjelaskan bahwa pengurus keamanan telah sepakat mengeluarkan si santri secara tidak hormat.
Tapi alangkah herannya Gus Dur mendengar tanggapan sang Kiai.“Santri nakal kok dilaporkan ke aku Dur? Mau dikeluarkan lagi.
Kalau lapor ke aku santri yang sudah baik, pintar, jadi bisa dikeluarkan. Orang tua santri berharap anaknya pulang dari pondok jadi makin baik, bukan tambah nakal.”
Kiai Fattah melanjutkan dengan kebijakan yang bikin Gus Dur tambah heran. Keputusan pengurus keamanan untuk mengeluarkan si santri diterima.
Tapi Kiai Fattah justru meminta si santri dipindahkan ke sebuah kamar di dekat ruangannya. Artinya si santri akan menjadi abdi ndalem.
Dengan berat hati, Gus Dur mengajak pengurus lain untuk membantu si santri memindahkan barang-barangnya.“Bukannya dikeluarkan, eh malah naik pangkat ini santri,” keluh Gus Dur dan santri lain.
Akhirnya si santri benar-benar naik pangkat. Bukan hanya karena menjadi abdi ndalem, tapi juga karena ia benar-benar berubah. Kini ia rajin sholat dan jago membaca Qur’an serta kitab kuning.
Keseharian bersama Kiai Fattah membuatnya terbiasa melihat dan meniru laku hidup sang Kiai. Bahkan ia dikenal sholeh, hingga di kemudian hari menjadi menantu seorang Kiai di Jawa Tengah.
Gus Dur dan Kemanusiaan
Dalam beberapa ceramahnya, Gus Dur bernostalgia. Ia mengakui bahwa pengalamannya dengan Kiai Fattah dan santri pencuri kutang adalah salah satu yang terkuat yang mempengaruhi pola pandangnya terhadap kemanusiaan.
Saat itu Kiai Fattah bisa saja mengikuti aturan dan mengeluarkan si santri. Tapi ia menunjukkan bahwa ada yang lebih penting dari sekadar mengikuti aturan. “Ternyata di atas hukum, masih perlu adanya rasa kemanusiaan,” kenangnya.

Hikmah dari Kiai Fattah ini merubah Gus Dur menjadi seorang yang teguh memperjuangkan kemanusiaan, bahkan saat menjabat Presiden.
Dan Jejaring dunia pesantren berkontribusi besar mengantarkannya menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-4, yang dilantik secara resmi pada 20 Oktober 1999.
Dari sekian banyak aksi kemanusiaan itu, salah satunya adalah saat Gus Dur mengupayakan penyelesaian Tragedi 1965, sebagaimana dicatat oleh Geoffrey B. Robinson dalam Musim Menjagal (2018).
Kurang dari dua bulan sejak pelantikannya, pada perayaan hari HAM Internasional 10 Desember 1999, Gus Dur mengundang para eksil di luar negeri, yang dihilangkan status kewarganegaraannya akibat Tragedi 1965. Ia juga meminta kepada para menterinya untuk memulihkan status kewarganegaraan mereka.
Tahun itu juga ia meminta maaf atas keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) dalam pembantaian massal aktivis dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tragedi itu.
Ia bahkan mendorong diskursus penghapusan Tap MPRS No. XXV/1966, yang memuat larangan PKI dan onderbouw-nya, serta pengharaman ajaran komunisme, marxisme dan leninisme.
Genosida pada Tragedi 1965 adalah sejarah yang ditenggelamkan oleh Orde Baru selama lebih tiga dasawarsa. Gus Dur bermaksud mendorong rekonsiliasi antara negara dengan para korban.
Tetapi gagal, karena banyak dicekal. Dan hingga hari ini belum ada pejabat pemerintah yang berani melanjutkan tekad Gus Dur.
Kini tindakan-tindakan kontroversi Gus Dur diakui sebagai langkah maju dalam kemanusiaan. Membuatnya menjadi tokoh besar kemanusiaan dalam sejarah.
Sebuah sejarah kemanusiaan yang tentu tidak mungkin lahir tanpa pesantren, Kiai Fattah dan santri pencuri kutang.
________________________
Kontributor: Imam Achmad Baidlowi
Instagram: @imamachmadb
Discussion about this post