Sebelum beradusengit seperti saat ini, Real Madrid dan Barcelona pernah bersatu. Tidak hanya di lapangan, tetapi juga politik.
Saat perang sipil Spanyol (1936-1939) keduanya bersatu dalam gerakan anti fasis yang didirikan untuk mempertahankan pemerintahan Republik Kedua.
Perang sipil adalah puncak polarisasi politik antara kubu fasis yang dipimpin oleh Generalisimo Francisco Franco, dan kubu Republik.
Kubu fasis terdiri dari orang-orang Katolik Roma, Militer, Tuan Tanah dan Pebisnis yang dibantu pasukan Jerman dan Italia.
Sementara kubu Republik diisi oleh kalangan mayoritas masyarakat, yaitu Buruh, Petani dan kelas menengah terdidik yang dibantu pasukan Uni Soviet, Meksiko dan Amerika Serikat.
Dalam sepak bola gerakan ini berwujud Sunyol Sporting. Sebuah batalion yang didirikan oleh Rafael Sanchez Guerra, Presiden Real Madrid waktu itu.
Gerakan ini disebut sebagai respon atas kematian presiden Barcelona Josep Sunyol yang ditembak oleh pasukan Franco pada tahun 1936.
Sunyol Sporting didirikan bersama pesepakbola dan olahragawan untuk menyelenggarakan laga-laga amal yang hasilnya disumbangkan kepada gerakan Republik.
Guerra dikenal baik sebagai seorang Sosialis-Demokrat. Ia juga memotong gaji Staff Klub Real Madrid sebesar 5000 Peseta (mata uang spanyol sebelum Euro) sebagai tambahan.
Sebuah kebijakan yang menjadikan Madrid sebagai salah satu klub termiskin di Spanyol dalam masa perang sipil berlangsung.
Perang sipil berakhir pada 1939 setelah selama empat hari Franco berhasil menduduki Provinsi Madrid, jantung pertahanan terakhir kubu Republik.
Naiknya Franco menghadirkan dua konsekuensi politik. Pertama, pemberlakuan sentralisasi pemerintahan. Ia kemudian menghapus status otonomi Madrid, Catalunya dan Basque.
Kedua, penyeragaman budaya yaitu segala aktivitas pemerintahan dan sipil wajib menggunakan bahasa Spanyol dan tradisi lokal yang dianggap tidak mencerminkan nasionalisme diberangus.
Pada tahun 1939 peraturan baru sepak bola ditetapkan. Setiap pesepakbola harus mendapatkan lesensi bermain. Akibatnya untuk mendapat lesensi mereka harus berikrar setia kepada Falange, partai fasis Franco dan pemerintah.
Kemudian pada tahun 1941 Real Madrid dan Barcelona dipaksa berganti nama. Real Madrid menambahkan Club de Futbol (CF) dibelakang namanya. Sementara Barcelona berganti dari Football Club (FC) Barcelona menjadi Barcelona CF.
Barcelona juga harus menghapus dua garis merah yang berada di kanan atas logonya yang melambangkan La Senyera, bendera Catalunya.
Rivalitas keduanya dilapangan baru dimulai pada 7 Juni 1943. Saat El Clasico pertama terjadi di semi final Copa del Generalisimo.
Leg pertama yang digelar di Les Corts kandang Barcelona waktu itu, berbuah kemenangan telak 3-0 bagi El Barca.
Hasil ini memunculkan kontroversi sebab wasit dianggap berpihak kepada tuan rumah. Gol pertama dinilai diawali dengan pelanggaran. Gol kedua dari penalti yang tidak seharusnya dan gol ketiga yang berbau off side.
El Real membalas di leg kedua dengan pesta gol 11-1. Derbi pada 13 Juni 1943 di Charmatin kandang Real Madrid kembali memunculkan Kontroversi.
Seorang Kolonel tiba-tiba mendatangi pemain Barcelona saat turun minum. Saat itu banyak pemain yang ingin menyudahi laga lebih awal karena tertinggal 6 gol.
Sang Kolonel kemudian membentak, “Kembali ke lapangan atau kalian dipenjara”. Insiden ini membuat banyak orang percaya kemenangan Real Madrid sebenarnya dipaksakan oleh Franco.
Madrid waktu itu memang dikenal dekat dengan Franco. Pemerintahan Madrid penting karena statusnya sebagai Ibu Kota.
Franco membutuhkan kejayaan Real Madrid di Eropa untuk mewakili gagasan kepemimpinannya. Keberpihakan tersebut juga digunakan sebagai kritik terhadap Catalunya yang diwakili oleh Barcelona.
Catalunya era Franco, seperti dijelaskan Alan Woods dalam Spanish Revolution Against Franco (2019), difungsikan sebagai salah satu pusat industri.
Karena itu terdapat basis massa luas dari kalangan Buruh dan Petani, yang kerap direpresi karena tetap mengusung gerakan kemerdekaan.
Derbi ini selanjutnya berbuntut rivalitas panas nan panjang. Tidak hanya soal adu strategi-taktik, pemain bintang dan drama antar kesebelasan tetapi juga intrik gengsi di luar lapangan. Hal yang membuat derbi ini ditajuk El Clasico.
Madridista, sebutan untuk suporter El Real selalu mengibarkan bendera nasional Spanyol dengan teriakan “I’m Spaniard” (Aku orang Spanyol). Sementara Cules suporter El Barca mengibarkan La Senyera dengan teriakan “Independencia” (Merdeka).
Real Madrid kemudian dilambangkan politik sayap kanan dan Barcelona politik sayap kiri. Sebuah catatan sejarah yang memunculkan konstruk yang melekat hingga saat ini.
Franklin Foer dalam Memahami Dunia Lewat Sepak Bola (2006), menjelaskan bahwa konflik ini telah banyak dimanfaatkan oleh kedua petinggi klub untuk tujuan komersial.
Ia menunjukkan betapa sepak bola modern berlari beriringan dengan budaya pop dan kapitalisme global. Saat El Clasico diselenggarakan, kedua klub dapat mengantongi untung lebih dari 1 Miliar Euro.
Terdapat sebuah laporan menarik yang diterbitkan Amir Somoggi bersama Sports Business Institute pada 2017. Laporan tersebut menunjukkan pendapatan kedua klub dalam kurun 2003-2016 yang terus meningkat dan kian melampaui pendapatan negara.
Diketahui bahwa pendapatan keduanya telah banyak membantu Spanyol dalam meningkatkan GDP (Gross Domestic Product) pertahunnya.
________________________
Kontributor: Imam Achmad Baidlowi
Instagram: @imamachmadb
Discussion about this post