Oleh: Mirza Bareza*
Pada dasarnya kita sebagai manusia sangat gemar mengukur diri sendiri melalui percakapan yang kita lakukan dengan orang lainnya. Selain itu, kita juga begitu senang ketika membicarakan perihal yang dilakukan bahkan yang akan dilakukan orang lain. Biasanya hal ini lebih akrab dikenal dengan istilah gossip atau “cocote tonggo”. Lalu mengapa kita begitu suka dengan gosip?
Mari kita lihat keseharian kita. Mulai bangun tidur, pastinya kita lebih akrab dengan smart-phone dari pada sikat gigi dan air. Entah dengan alasan melihat jam, meng-check chat doi semalam atau cuman sekedar buka menu lalu back dan lock kembali.
Ngomong-ngomong, karena kita begitu akrab dengan smart-phone coba deh kita lihat akun apa saja yang kita follow. Bisa dipastikan kita mengikuti satu bahkan lebih akun yang secara cepat mengabarkan berbagai hal. Mulai dari kecelakaan, pengumuman, pengaduan hingga lawakan ringan. Nama-nama aku tersebut pun juga beragam. Ada yang diawali dengan kata info, news sampai terkini. Kontennya tentu saja beragam. Hal-hal ter-update biasanya yang dimuat.
Jaman sekarang, kita tahu suatu hal bukan dari orang tua, teman atau kanal berita mainstream. Ya… Dari beranda kita. Ketika ada sebuah informasi baru, kita tentu saja akan merasa lebih tahu dari yang lainnya. Walaupun kita belum tahu lengkap tentang kejadian tersebut. Yang penting, tahu dan sebar dulu. Masalah bener enggaknya kan bisa klarifikasi.
Sedang marak, klarifikasi-klarifikasian dan pamit-pamitan. Enggak ada salahnya, kok. Sebenarnya, kita bisa meminimalkan sikap klarifikasi ke publik dengan mengkonfirmasi secara pribadi terlebih duhulu. Kita cek dulu apa benar berita tersebut, bagaimana kronologi kejadian tersebut, dll. Mengapa kita jarang melakukan sikap konfrimasi terlebih dahulu? Karena ada efek yang yang hendak digapai. Apa itu? Hero. Ya kan? Ketika kita menyebarkan informasi terlebih dahulu dari pada yang lain, kita merasa lebih tahu terlebih dahulu. Artinya, kita lebih tahu, maju, berwawasan luas hingga memiliki kamampuan advanced dalam penguasaan media.
Kembali lagi pada alasan mengapa kita suka bergosip. Hal ini pernah diteliti oleh seorang dosen Ilmu Komunikasi UMM yang kemudian disusun menjadi jurnal ilmiah Pemahaman Media Literacy Televisi Berbasis Personal Competences Framework. Sugeng Winarno dalam penelitiannya menemukan jika objek penelitiannya, yakni ibu-ibu masih memiliki kemampuan melek media di level basic dalam menonton acara infotainment di TV. Artinya, kemampuan para ibu-ibu dalam mengoperasikan media tidak terlalu tinggi. Juga kemampuan dalam menganalisa konten media tidak terlalu baik serta kemampuan berkomunikasinya lewat media terbatas.
Setidaknya setiap orang harusnya memiliki Personal Competences yang terdiri dari dua hal yakni Technical Skill dan Critical Understanding. Technical Skill berhubungan dengan bagaimana kita menguasai media dan segala tools-nya. Critical Understanding terkait dengan daya analisis dan evaluasi terhadap konten yang diproduksi suatu media. Rupanya dengan sangat kecewa, kita masih berada pada level basic di bawah level medium dan advanced yang mapan dalam bermedia.
Ketika kemampuan kita dalam menguasai media begitu rendah, tentu saja kita mudah terombang-ambing dengan berbagai kabar angin. Karena kita tidak memiliki kemampuan analisis yang baik. Kita hanya mengedepankan heroisme dalam penyebaran berita. Pengakuan diri yang ingin kita raih terlalu naif dengan cara tersebut. Seandainya saja kita mau sedikit repot mengkonfirmasi segala berita yang hendak kita konsumsi dan sebarkan demi kebaikan bersama pasti dunia kegaduhan di negara +62 kita ini akan lebih subtantif. Bukan memperdebatkan hoaks atau asli, tapi lebih berisi daripada itu.
Bergosip yang lekat dengan istilah digosok makin sip, telah lama menguasai kita. Gosip akan musnah ketika kita mau mencari tahu dan meghormati privasi orang lain. Namun, selama media sosial dengan beragam fasilitas kepo dan mental kita yang demikian, jangan heran bergosip akan terus hidup dan merongrong kuota saying dan waktu bermanfaat kita untuk keluarga, kerabat hingga Tuhan YME.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fisip,
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Twitter/IG: @mirzabareza
Discussion about this post