Dulu, saat menjadi Pemimpin Umum majalah mahasiswa Visi, FISIP, Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Saya pernah mengadakan diskusi dengan mengundang tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan Solo (LPTP).
Saat ini, yang namanya LSM berada di bawah “pengawasan” pemerintah. Maka, saat kami mengundang tokoh LSM pun tak lepas dari pengawasan itu.
Ceritanya begini. Saat seorang pembicara datang saya sempat iseng bertanya mengapa ia jalan kaki. Dia bilang kalau harus parkir di gedung sebelah, kebetulan gedung Fakultas Ekonomi (FE), baru berjalan ke gedung FISIP. Saat selesai diskusi saya baru sadar bahwa itu caranya menghindari “pengawasan”.
Dikusinya berjalan dengan sangat menarik. Isu-isu soal pembangunan dikupas habis. Namun, di tengah diskusi ada gangguan kecil.
Di luar kantor majalah ada orang yang berambut cepak dan berbadan kekar bolak balik melihat ke ruangan diskusi. Karena merasa terganggu saya pun keluar.
“Pak, mencari siapa?”. “Tanya saya”.
“Anu mas, saya mau mendaftarkan anak saya lomba mewarnai, “Jawabnya agak gagap”.
“Mungkin di kampus sebelah pak. Di sana, kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), “Tangan kanan saya menunjuk ke arah kampus tersebut”.
“Oh ya mas”. “Terima kasih”.
Lalu dia pergi menuju pintu masuk gedung sebelah utara. Saya masuk ke ruangan kantor majalah untuk melanjutkan diskusi. Saya merenung. Lalu tiba-tiba saya bergegas keluar ruangan menuju pintu masuk gedung sebelah utara itu.
Bermaksud mengejar orang yang baru saja menanyakan di mana lomba mewarna. Tapi orang itu sudah “raib”. Saya hanya menemukan pak Martin (Satpam Fakultas).
“Pak, ada orang lewat sini barusan?”. “Saya menjelaskan detail ciri fisik orang yang saya maksud”.
“Oh enggak ada mas”. “Jawab Pak Martin gagap dan sedikit rasa cemas dilihat dari raut mukanya”.
“Ya sudah pak”. “Terima kasih”.
Lalu saya kembali ke kantor majalah sambil menoleh ke belakang melihat pak Martin yang masih dihinggapi rasa takut.
Dari peristiwa itu, saya semakin sadar bahwa diskusi di majalah kami memang selalu “diawasi”. Termasuk isi majalah, tentunya.
Soal Makar
Beberapa waktu lalu diselenggarakan diskusi bertema “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”, oleh mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Gajah Mada (UGM) yang tergabung dalam Constitutional Law Society (CLS) (29//5/20). Diskusi yang akhirnya gagal diselenggarakan itu menuai polemik.
Polemik dipicu tulisan seorang mantan calon rektor UGM Bagas Pujilaksono Widyakanigara, dosen Fakultas Teknik (FT) Sekolah Pascasarjana UGM. Bagas menulis “Gerakan Makar di UGM Saat Jokowi Sibuk Atasi Covid-19” yang dimuat dalam tagar.id (28/5/20). Tulisan ini memicu kontroversi dan dianggap sumber provokasi diskusi.
Bagas sendiri sebagaimana dikutip tempo.com (30/5/20) membantah melakukan provokasi. Ia mengaku hanya membaca apa yang tertulis dalam poster lalu menilai ada gagasan makar.
Ia lalu menuduh bahwa diskusi itu ingin menurunkan presiden karena dianggap gagal mengatasi pandemi covid-19.
Sigit Riyanto (dekan FH UGM) melakukan klarifikasi tertulis. Bahwa, diskusi itu tidak ada yang salah sejauh tak melanggar hukum, ketertiban umum dan etika kesusilaan. Hal itu tidak akan dicurigai jika seseorang membaca Term of Reference (TOR) diskusi.
Akun Instagram @clsfhugm juga menjelaskan bahwa diskusi tersebut hanya ingin membahas tentang mekanisme serta sejarah pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.
Namun, pembicara, panitia, telanjur kena terror dan ancaman selain juga diretas nomor telepon selulernya. Mungkin juga soal waktu pelaksanaan diskusinya yang menuai polemik.
Beberapa Catatan
Apa yang menarik dari peristiwa di atas? Pertama, setiap gerakan yang berlawanan dengan negara akan dicurigai sebagai tindakan yang merongrong, makar, provokator, membuat kisruh atau stigma negatif lainnya.
Kedua, pentingnya membudayakan membaca secara detail disertai dengan mengkaji ulang setiap teks yang ada. Membaca judul berita saja tidaklah cukup tanpa membaca isinya. Tak cukup juga menyimpulkan dan menafsir sepihak atas teks jika hanya membaca poster.
Ketiga, ancaman kebebasan berpendapat dan berserikat yang dijamin dalam undang-undang belum sepenuhnya ditegakkan di negara ini.
Suasana saling curiga masih mewarnai setiap gerak langkah dalam kebijakan pemerintah dan juga keinginan masyarakatnya. Kaitannya dengan ini kita sering hanya menyalahkan satu sama lain tetapi tak mau melihat, mengapa itu terjadi?
Misalnya, mengapa kubu-kubu politik masih hidup saat ini? Apa akar masalahnya? Mengapa banyak anjuran untuk rukun antar kubu tidak mudah dilakukan? Mengapa kubu pemenang selalu menghimbau agar menyudahi pengkubuan sementara kubu yang merasa kalah tidak mudah menghilangkan begitu saja?
Lihat akar masalahnya, sampai kapan partai politik mau menghapus Presidential Treshold (PT), karena hanya memberi peluang munculnya dua kubu saat pencalonan presiden? Pernahkah para elite politik itu berpikir sampai situ? Maukah mereka menghapuskan peraturan yang menjadi sumber masalah tersebut?
Sejauh elite politik masih bersikukuh pada kepentinganya soal PT, maka kubu politik tidak akan mudah dihapus. Akibatnya konflik atas terus berkepanjangan.
Bukankah itu termasuk akar masalah? Ibaratnya, mengobati penyakit tentu dari akarnya. Jadi, jangan menuduh sembarangan bahwa masyarakat selalu mengkritik kebijakan pemerintah.
Kalau masyarakat tidak boleh mengkritik, negara ini mau jadi apa? Bukankah negara ini sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja?
Nah, pelajarannya mengapa kebijakan social distancing (SD), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), new normal tidak “manjur” untuk menekan penyebaran virus covid-19? Apakah pemerintah juga berani dan lapang dada mengakui bahwa pengelolaan keuangan negara selama ini sedang tidak baik-baik saja?
Kalau tidak, selamanya tuduhan kesalahan hanya akan ditimpakan pada masyarakat. Masyarakat tidak patuh SD, PSBB, tak mendukung new normal, tak mau mamahami kenaikan iuran BPJS dan sebagainya.
Sementara itu, pemerintah anti kritik dan sering memutuskan kebijakan hanya untuk kepentingan elite politiknya?
Dunia Kampus

Menarik kiranya pelajaran yang berkaitan dengan dinamika kebebasan akademik di kampus. Kampus itu tentu lembaga ilmiah, bukan lembaga politik. Perkara ada individu yang terlibat dalam politik itu tentu tak bisa dibantah.
Bagaimana kita menyikapi diskusi yang batal diselenggarakan oleh mahasiswa CLS FH UGM? Bahwa, kebebasan akademik justru terancam oleh dunia kampus itu sendiri, lebih khusus oleh individu dalam kampus.
Dalam kasus di UGM, tuduhan makar tidak mungkin terjadi jika mencari data mencukupi terkait dengan acara. Kecuali memang ada kepentingan sepihak dari yang melakukan tuduhan.
Atau jika memang tuduhan itu benar selayaknya kedua belah pihak bertemu untuk klarifikasi bersama-sama. Mengapa? Jangan sampai ada kecurigaan, “Dunia kampus saja begitu bagaimana dengan dunia dalam masyarakat umum?”
Dari uraian di atas saya jadi ingat saat menyelenggarakan dikusi yang mengundang tokoh LPTP beberapa puluh tahun yang lalu.
Saat itu, yang kami hadapi sangat jelas, yakni aparat pemerintah yang sering diwakili oleh “Orang berambut cepak dan berbadan kekar”.
Saat sekarang jika masyarakat kritis justru akan berhadapan tidak saja aparat, tetapi juga oleh masyarakat sipil itu sendiri.
Discussion about this post