Oleh: Fardien Faiz Syaputra*
Kita berada dalam hiruk pikuk kehidupan yang diwarnai dengan keberagaman orang-orang yang seringkali menganggap diri selalu benar.
Seringkali kita dengan bangga mengatasnamakan Islam sebagai agama yang toleran dan damai. Namun dalam prakteknya enggan untuk memperdalam apa yang disyariatkan.
Jika sudah seperti ini siapa yang patut disalahkan? Islam? atau Tuhan yang menciptakan akal orang-orang tersebut?
Ditengah kebimbangan dunia untuk menemukan secercah cahaya kehidupan. Manusia cenderung terjebak dalam pusaran ideologi-ideologi pragmatis.
Individualisme, materialisme, hedonisme, serta pragmatisme lainnya membanjiri akal manusia hingga menyumbat naluri dan akal sehat.
Kenyataan telah memperlihatkan bahwa manusia diarahkan untuk mengetahui kesalahan sebagai suatu kebiasaan yang dibenarkan.
Bahkan, kebenaran ini tersembunyi dibalik wajah-wajah pecundang dan pemegang otoritas yang memonopoli kebenaran.
Agama telah banyak diarahkan ke kanan dan ke kiri. Ayat-ayat Tuhan menjadi sesuatu yang dapat melegalkan kesalahan-kesalahan yang diperbuat seolah-olah itu menjadi benar.
Umat manusia kini telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, yakni nurani dan akal sehat. Ruang geraknya, kecenderungan berfikir, pilihan hidup, semuanya telah memasuki ke tahap hedonisme dan materialisme.
Sejak dulu materialisme telah menjadi Tuhan baru yang menegasikan hakikat Tuhan. Prakteknya pun tergambarkan dalam kesholehan seseorang sering diukur melalui kacamata materialisme.
Agar tidak terbalik dalam menilai sebuah permasalahan, yang benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar.
Tentu untuk sampai pada titik penentuan pilihan tersebut harus mengenali standarisasinya. Islam memiliki standar yang valid dan akurat dalam menilai sebuah pandangan dan pendapat. Sehingga pandangan dan pendapat itu berlaku kebenarannya.
Betapa banyak orang zaman sekarang yang membuat kebingungan di tengah masyarakat dengan pendapat-pendapatnya. Baik dalam hal keyakinan beragama maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Setiap orang seolah-olah bebas melontarkan segala pendapat yang terlintas dibenaknya tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Lantas, sebagai seorang Muslim yang memegang erat ajaran Islam harus megambil peran seperti apa?
Menjadi Netizen yang Islami
Islam hadir ditengah-tengah jalur kehidupan yang penuh akan problematika ummat. Kita tidak dapat memungkiri bahwa berpegang teguh pada ajaran Islam sangatlah diperlukan. Sebelum membawa diri dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagian orang di masa sekarang ada yang meremehkan orang-orang yang mempelajari dan mengamalkan Al-Qur’an dalam berakidah, beribadah, bermu’amalah dan berakhlak.
Apalagi yang mengajak untuk menjalankan Al-Qur’an dalam segala aspek kehidupan. Mereka dianggap sebagai kaum terbelakang dan anti modernisme. Mereka diejek dengan berbagai tuduhan-tuduhan dusta.
Sebaliknya, orang-orang yang merusak ajaran Al-Qur’an justru disanjung dan dipuji. Bahkan sebagian dari mereka berani mengatakan bahwa sebab keterbelakangan adalah akibat menjalankan Al-Qur’an.
Mereka menganggap teori-teori mereka jauh lebih jitu dan lebih hebat daripada Al-Qur’an. Padahal dalam hal ini tidak dapat dipisahkan antara Al-Qur’an dan As-Sunnah, bahwa segala yang ada di dunia telah diatur dan telah termaktub dalam izin-Nya.
Jelas bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna dan selalu menyampaikan kebenaran di dalamnya. Sungguh kebenaran hanyalah milik Allah SWT.
Seseorang yang memiliki pengetahuan tentang suatu kebenaran dituntut untuk menyampaikan kebenaran tersebut kepada mereka yang belum mengetahuinya.
Menyampaikan suatu kebenaran adalah kewajiban dan bagi mereka yang mendapatkan kabar mengenai kebenaran haruslah menyadari dan mengikutinya. Bukan kolot dengan pemikiran yang masih dibawah standarisasi kebenaran.
Disinilah kita layak menyalahkan diri sendiri karena dalam kenyataanya individulah yang menjadi tanah bagi tumbuh suburnya penyakit jiwa dalam masyarakat.
Bulan demi bulan terlewati, tahun demi tahun terlupakan, sepanjang perjalanan manusia yang melelahkan. Ambisi dan egoisme menjadi hakikat sifat manusia yang tak pernah mau mengenal arti kesalahan.
Mulailah berbenah tanpa mengkhawatirkan masa lalu. Berbagai macam jalan tersedia menuju pintu-pintu kebaikan. Sampai saat ini ada slogan yang memang sangat menyentuh jika benar-benar dipahami.
Fashtabiqu-l-khairaat, slogan ini mengajarkan bahwa tidak ada salahnya manusia itu saling berkompetisi dalam menyebarkan kebaikan.
Nabi besar kita Baginda Muhammad SAW terlahir untuk membangun dimensi revolusioner bagi pembebasan dan perubahan.
Lahir dalam lika-liku kehidupan yang begitu berat sejak kecil. Sehingga menjadikan Ia tangguh, jujur dan memiliki kepekaan tinggi terhadap nasib kaum lemah.
Dan bahkan gelar “Al-Amien” telah dijuluki oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau bukan hanya hadir untuk mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan.
Lebih dari itu beliau memimpin masyarakat untuk melawan gejolak ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Semangat ini yang seharusnya menjadikan manusia sadar bahwa bersuara, berpendapat dan berbenah itu penting.
Tidak perlu terlalu jauh untuk melangkah seperti Nabi, akan tetapi melangkahlah di jalur Nabi. Sebelum jauh untuk melihat malapetaka dunia. Benahi dulu diri dan orang sekitarmu. Buktikan bahwa diri ini memang pantas dijuluki sebagai manusia.
*Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional, Fisip,
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Instagram/Twitter: ffaiz.s/FFaizSyaputra
Discussion about this post