Monday, June 27, 2022
LintasBatas.co
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
  • Home
  • Opini
  • MILD
  • GKB
  • Lipsus
  • Resensi
  • Resah
  • Silam
  • Kirim Tulisan
  • Home
  • Opini
  • MILD
  • GKB
  • Lipsus
  • Resensi
  • Resah
  • Silam
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
LintasBatas.co
No Result
View All Result
Home Opini

Makin Tinggi Ilmu, Budi Pekerti Tambah Lembut

Redaksi by Redaksi
11/03/2019
in Opini
Dibaca Dalam: 4 menit
0 0
A A
0
Makin Tinggi Ilmu, Budi Pekerti Tambah Lembut
81
SHARES
86
VIEWS
Share on WhatsappShare on FacebookShare on Twitter
ADVERTISEMENT

Oleh: Nurudin*

Pak Guru Tiardi baru dua bulan ini mengajar pada Sekolah Dasar Muhammadiyah di Kabupaten  Bantul. Ia memutuskan banting setir menjadi guru. Meskipun awalnya ia seorang aktivis mahasiswa, suka demonstrasi yang menolak kemapanan. Padahal kebanyakan teman-temannya aktivis itu kemudian menjadi pejabat. Ada yang jadi staf ahli. Ada juga yang tetap menjadi aktivis dengan mengejar sejumlah proyek. Teman-temannya itu sekarang hidup makmur. Kalau kunjungan ke daerah saja ia tinggal di hotel. Bahkan Tiardi mendengar ada temannya yang sudah naik mobil Alpard. Tiardi ikut senang.

Sebagai aktivis memang dia lulusnya menjelang kena Drop Out (DO). Sementara teman-temannya sudah lulus kuliah dua atau tiga tahun sebelumnya. Teman-temannya itu ada yang tetap menjadi aktivis, tetapi banyak yang “tergadaikan” dengan fasilitas material. Apakah ini tidak boleh? “Tentu tidak dilarang demikian,” pak guru itu sering membatin.

Namun, ia memilih pulang ke desanya di Bantul. Ia ingin mendarmabaktikan ilmunya untuk memberdayakan masyarakat saja. Jauh dari hiruk pikuk orang-orang kota. Setelah mencoba pekerjaan di sana dan sini, ikut proyek sana proyek sini, pikirannya kemudian berputar dan mendorongnya pulang ke desa. Mungkin ini juga harapan dan doa orang tuanya.

“Suatu saat, ibu ini berharap kamu bisa membangun desamu ini, Le,“ kata ibunya pada suatu ketika.

Pak guru muda itu mengangguk pelan saja. Tapi batinnya memberontak. Untuk apa sebagai aktivis harus kembali ke desa yang sunyi? Tiardi muda waktu itu saja jarang pulang meski jarak kota Yogya ke daerahnya tak sampai 1 jam.  Ia sebagaimana aktivis lainnya ingin mendobrak kemapanan di jantung kekuasaan. Ini tekadnya waktu itu. Buku-buku kiri menjadi penyemangat untuk melakukan perubahan.

Baca juga:

Zelensky, Ambisi Kedaulatan, dan Proyeksi Perdamaian Rusia-Ukraina

Tantangan Pendidikan Bagi Muhammadiyah di Masa Pandemi

Di desanya, saat ini sedang riuh. Maklum saja menjelang Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Banyak spanduk, stiker, dan baliho bertebaran. Ia jadi ingat memori saat demonstrasi. Pikirannya seolah dibawa pada masa-masa saat ia menjadi aktivis. Tapi saat ini ia justru bosan. Ingin memberontak. Spanduk dan papan-papan itu justru melambangkan kesombongan dan ketidaktulusan. Ada banyak jargon-jargon ideal di papan itu.

Yang membuat dia semakin jengkel dan kadang membuat salah tingkah, ada gambar Caleg. Caleg itu temannya semasa SMA. Sebagai seorang mantan aktivis ia pernah didatangi temannya itu untuk meminta bantuan. Biasa, aktivis punya pengalaman menggalang massa dan mencari dana dengan banyak cara. Tapi ia menolaknya secara halus. Bahkan Caleg itu sanggup membayarnya tinggi. Tapi Tiardi tetap kukuh pendirian tidak mau terlibat politik. Apalagi uang yang dipakai temannya itu berasal dari uang orang tuanya hasil dari menjual binatang ternak.

***

Namun mendadak di daerahnya tambah  riuh. Tidak oleh geliat Pileg dan Pilpres.  Desa pak guru Tiardi tinggal didatangi mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN). Pak guru sangat senang. Dia berharap banyak pada mahasiswa yang sering mengklaim diri sebagai agent of change itu. Paling tidak pak guru itu bisa bernostalgia saat kuliah dulu. Pak guru juga yakin mahasiswa itu sangat peduli dengan masyarakat sebagaimana ia melakukannya dulu. Sebab, mereka itu kan anak-anak terpilih yang sempat kuliah. Beda dengan teman-teman sebayanya yang tidak sempat kuliah.

“Hari ini kita kedatangan tema-teman mahasiswa dari kota,” kata pak Kepala Sekolah pada Tiardi.

“Iya, pak,” jawab pak guru Tiardi.

“Coba, dibuatkan program yang relevan dengan sekolah kita pak,”

“Misalnya apa pak?,”

“Mungkin mereka bisa memberikan pelajaran tambahan sore hari. Mungkin pak dukuh atau takmir masjid meminta mereka juga mengajari ngaji atau yang lain. Mereka pinter-pinter kayaknya,”

Tiardi diam. Ia merasa tersindir. Kadang ia merasa mengapa mantan aktivis akhirnya hanya menjadi  guru SD? Tapi itu sudah pilihan dan ia sudah bertekad bulat sebagai bentuk pengabdian. Mengabdi pada negara juga tidak harus jadi anggota DPR.

Tenyata mahasiswa KKN itu juga sudah punya program. Namun, programnya masih ngawang-awang alias tidak membumi sesuai dengan kepentingan masyarakat. Bagaimana tidak? “Masa mereka mau membuat program “Jambanisasi”. Mentang-mentang masyarakat di daerah sini kalau buang hajat di sungai. Program yang ideal, tetapi tidak membumi,” gerutu pak guru Tiardi.

ADVERTISEMENT

Namun, mahasiswa itu dari hari ke hari kok seperti orang malas. Mungkin pengamatan yang kurang jeli, begitu pikir Tiardi. Tetapi kok setiap hari bangun mesti siang. Program yang sudah ditetapkan banyak yang tidak jalan. Koordinator Desa (Kordes) juga bingung melihat teman-temannya itu.

Kejengkelannya pun memuncak. Sebab, ternyata saat mengajar anak-anak sekolah mereka pun malah bercerita dunia kampusnya, bukan pelajaran. Teman yang lain malah sering membuka android saat mengajar. Pelajaran tambahannya pun tidak nampak. Bahkan jika dibiarkan anak-anak ini tidak akan menjadi pintar, tetapi menganggap pelajaran hanya untuk senang senang. Sementara mahasiswa KKN itu beberapa minggu ke depan sudah pulang ke kampusnya.

“Ini bisa menjadi racun,” teriak Tiardi.

Belum lagi ada sebagian kecil mahasiswa yang tidak memperhatikan sopan-santun saat bergaul dengan masyarakat. Bantul itu masyarakat Jawa yang beradab. Pak Tiardi paham, mahasiswa itu banyak dari berbagai daerah. Sehingga budayanya macam-macam. Tapi ia merasa gelisah sendiri.

***

Pada suatu saat, memuncak amarah pak guru Tiardi. Ia menjadi ikut bertanggung jawab pada para mahasiswa tersebut. Mau jadi apa mahasiswa yang pemalas itu? Seolah warga yang harus menyesuaikan dengan pendidikan mereka, bukan mereka yang harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Ia juga terpanggil sebagai mantan aktivis yang tak kenal takut.

“Mas, saya mau bicara bentar,” teriak pak Tiardi mengagetkan seluruh rumah yang dihuni oleh mahasiswa KKN.

“Maaf pak. Ada apa?” tanya Kordes.

“Begini. Kenapa anak-anak KKN kok tidak sopan? Saya banyak laporan dari warga. Anak-anak KKN angkuh-angkuh.”

“Masa pak? Kami menjalankan program sesuai yang disepakati.”

“Di desa itu tidak cukup kalian hanya menjalankan program. Kalian tetap harus bergaul dengan mereka. Kamu sekalian kan ibaratnya mengamalkan ilmu, bukan masyarakat yang harus memahami kalian.”

“Yang penting program kami jalan pak. Juga kami tidak dimarahi dosen pembimbing lapangan”

“Itu tidak cukup”.

“Lalu?”

“Mulai sekarang kalian harus mengubah aktivitas, “kata Tiardi tak terbentung. “Buat apa kalian pinter kalau tingkah laku kalian menyinggung perasaan masyarakat? Saya sudah mau menyampaikan ini agak lama. Tapi baru kali ini keluar. Kalian tidak boleh sombong hanya karena kuliah. Sementara masyarakat di sini kebanyakan hanya tamat SMA.”

“Sombong bagaimana pak?”

“Kalian sombong. Merasa pinter. Harusnya kalian harus berhati lembuh. Menghormati warga. Jangan bunyikan musik keras-keras misalnya. Apa kalian tidak diajari etika di kampus?”

Tiardi melanjutkan, “Seharusnya makin tinggi pendidikan seseorang atau makin berilmu akan membuat budi pekertinya semakin lembut. Sopan di masyarakat. Memahami keadaan masyarakat. Rela berkorban. Perilaku yang baik itu cermin ketinggian ilmu seseorang. Bukan sok pinter. Juga bukan memaksakan kepinteranmu pada masyarakat!”

“Apa dosenmu juga begitu? Makin tinggi ilmunya, justru makin sombong? Apa yang dibanggakan dosenmu itu kalau hanya pinter khotbah di depan kelas saja?”, Pak Tiardi sebagai mantan aktivis marahnya tidak terbendung.  Dan para mahasiswa itu pun hanya bisa diam.

*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, Fisip,
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Twitter/IG: nurudinwriter

ADVERTISEMENT
Redaksi

Redaksi

LintasBatas.co adalah kanal berita bentukan mahasiswa independen. Pembaca dapat mengirimkan tulisannya melalui email redaksi@lintasbatas.co.

Artikel Lainnya

Opini

Zelensky, Ambisi Kedaulatan, dan Proyeksi Perdamaian Rusia-Ukraina

by Baikuni Alsfaha
06/03/2022
pendidikan muhammadiyah
Opini

Tantangan Pendidikan Bagi Muhammadiyah di Masa Pandemi

by Redaksi
20/02/2021
Narkoba
Opini

Narkoba dan Sisi Lain Kehidupan

by Redaksi
30/01/2021
pemekaran
Opini

Untung Rugi Pemekaran Daerah di Saat Pandemi

by Redaksi
26/01/2021
Bencana Alam
Opini

Bencana Alam: Antara Ulah Manusia atau Takdir Tuhan

by Redaksi
26/01/2021

Discussion about this post

YPI Al Multazam HK Launching Buku Bunga Rampai

26/04/2022

Ada Juri Hafiz Indonesia di Milad YPI Al-Multazam HK Kuningan

26/04/2022

Milad YPI Al-Multazam HK Dihiasi 20 Kali Khatam Al Quran

26/04/2022
  • REDAKSI
  • DISCLAIMER
  • KIRIM TULISAN
  • KONTAK KAMI
  • PEDOMAN PEMBERITAAN MEDIA SIBER
Media Independen Mahasiswa

© 2018-2021 Lintas Batas - Media Independen Mahasiswa

No Result
View All Result
  • Login
  • Sign Up
  • Home
  • Opini
  • MILD
  • GKB
  • Lipsus
  • Resensi
  • Resah
  • Silam
  • Kirim Tulisan

© 2018-2021 Lintas Batas - Media Independen Mahasiswa

Welcome Back!

Sign In with Google+
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Google+
OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist