Sebagai percontohan demokrasi modern, Amerika Serikat (AS) sebenarnya juga tidak luput dari masalah kemanusiaan.
Justru karena berbagai persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) yang pelik dalam sejarahnya, negeri Paman Sam melahirkan tokoh-tokoh besar dalam kemanusiaan.
Teranyar, negara dengan populasi terpadat ketiga ini disorot publik internasional akibat kematian George Floyd, seorang kulit hitam, oleh empat orang polisi pada 25 Mei 2020 kemarin.
Floyd tewas di tengah perjuangan dunia melawan pandemi corona, di bawah lutut Derek Chauvin, salah seorang polisi, yang menindih lehernya selama lebih dari delapan menit.
Floyd disergap setelah dilaporkan oleh penjaga Cup Foods, toko kelontong tempatnya membeli rokok, hanya karena Ia membayar dengan uang palsu.
Selain dengan kulit hitam, sejarah AS juga berhadapan dengan diskriminasi terhadap golongan Muslim. Propaganda anti Islam bahkan pernah diterapkan dengan kebijakan dalam negeri dan politik luar negerinya.
Kebijakan itu diterapkan setelah serangan serempak pada 11 September 2001 terhadap gedung World Trade Centre (WTC) di New York, gedung Pentagon di Washinton DC dan Pennsylvania. Serangan itu diduga didalangi oleh Osama bin Laden bersama organisasinya, Al-Qaidah.
Lima puluh tahun sebelum tragedi itu, Malcolm X, seorang Muslim Afro-Amerika, hadir menyuarakan hak kaum Muslim dan kulit hitam di AS.
Menjadi Mualaf
Hingga dekade 1960-an, di AS, Islam identik sebagai salah satu agama budak yang datang ke benua Amerika pada abad 16.
Keterkaitan antara perbudakan, kolonisasi Afrika dan agama-khususnya Islam, mengemuka sebagai sebuah keyakinan.
Bahwa bangsa Afrika sebagai ras kulit hitam selayaknya memeluk Islam, karena ditakdirkan berbeda dengan ras kulit putih sebagai penjajah, yang menganut Kristen.
Ayah Malcolm X, misalnya. Kendati seorang Pendeta Katolik, Ia juga seorang aktivis Universal Negro Improvement Association (UNIA). Sebuah organisasi yang mempropagandakan agar kulit hitam di AS kembali menuju tanah kelahirannya di Afrika.

Saat Malcolm X dipenjara pada 1946-1956, Ia bergabung dengan Nation of Islam (NOI), organisasi perjuangan muslim-negro pimpinan Elijah Muhammad, kawannya di penjara.
Elijah mengenalkan buku-buku ke-Islaman dan sejarah ras kulit hitam, kemudian menginspirasinya menjadi mualaf.
Sebagaimana Ia kisahkan terhadap Alex Halley dalam Otobiografi Malcolm X, Ia merasakan spirit kemerdekaan dan kesetaraan dalam Islam.
Sementara dalam ideologi NOI, memeluk Islam berarti menjadikannya simbol perlawanan terhadap supremasi kulit putih, sekaligus sarana menziarahi warisan leluhur. Praksis tersebut menjadikan NOI sebagai organisasi muslim dan negro terkemuka.
NOI yang menyematkan ‘X’ pada namanya. X menggambarkan kehidupan baru Malcolm sebagai eks-perokok, eks-peminum, eks-pemakai narkotika, eks-Kristen dan eks-budak.
Popularitas Malcolm X dan NOI berjalan seiring lahirnya Civil Rights Movement (1955-1968), sebuah periode perjuangan hak sipil warga kulit hitam, yang kemudian menginspirasi berbagai gerakan anti diskriminasi lainnya di AS.
Tapi prinsip ideologi NOI juga yang menyulut perseteruan Malcolm X dengan Elijah, dan kemudian membuatnya keluar pada 1963.
Perbedaan prinsip ini mengemuka setelah kedatangannya dari Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 dan William Edward Burghardt Du Bois, seorang sosiolog kulit hitam, mempengaruhi pandangan Malcolm X terhadap kesetaraan hak sipil, yang tanpa pandang golongan.
Konferensi Asia-Afrika (KAA) dilaksanakan pada pertengahan April 1955 di Bandung, Indonesia. Malcolm X hadir sebagai perwakilan pejuang hak sipil AS.
Kehadirannya mempertemukan Ia dengan dengan para pejuang kemerdekaan Asia dan Afrika. Sekaligus mempengaruhi pandangannya, bahwa rasisme berkelindan dengan pertumbuhan kolonialisme.
Prinsipnya makin kuat setelah Ia menunaikan Haji pada 1964. Dalam pelaksaan Haji, Ia melihat Muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Ka’bah, dengan tidak dibeda-bedakan atas dasar status sosial apapun.
Sejak itu, selain mengajarkan kemerdekaan dan kesetaraan, Islam baginya adalah agama perdamaian. Sang Haji juga mengganti namanya menjadi Malik El-Shabazz.
Melampaui Perdebatan Nasional
Civil Rights Movement membawa diskursus nasional; integrasi kulit hitam dan kulit putih atau mendirikan lingkungan khusus secara terpisah bagi keduanya. NOI termasuk yang paling anti kooperasi dan getol memisahkan diri dari kulit putih.
Pada 24 Juni 1964, Malcolm X mendirikan Organization of Afro-American Unity (OAAU). Dengan organisasi barunya ini, Ia hendak membawa isu hak sipil di AS menjadi isu HAM internasional.
Berbekal relasi yang Ia punya, Malcolm X menjalin kerjasama dengan tokoh dan ormas kulit hitam di AS dan negara-negara lain.
Ini membuatnya berhasil mendapatkan kesempatan melancong ke beberapa negara, menjalin kerjasama yang lebih luas dan kembali tampil di depan forum-forum internasional.
Ia mendapatkan kesempatan berbicara di hadapan audiens Eropa; di Paris (23 November 1964), Oxford ( 3 Desember 1964) dan London (11 Februari 1965). Audiensi ini bersamaan dengan pembukaan beberapa kantor cabang OAAU di Paris, London dan Amsterdam.
Sesuatu yang paling fenomenal adalah ceramahnya di Oxford University. Saat itu ceramahnya sudah banyak menonjolkan identitas Islamnya, menyinggung isu rasial di berbagai negara, menyerukan integrasi antara kulit hitam dan kulit putih.
Terlebih acara itu disiarkan radio BBC, membuat suaranya terdengar di seluruh penjuru Imperium Britania dan negeri-negeri persemakmuran.
“Saya seorang Muslim. […] jika ada yang salah dengan itu saya siap dikecam,” Malcolm X membuka ceramahnya. Ia kemudian melanjutkan dengan memaparkan Islam sebagai sebuah kekuatan radikal dan humanis, yang mampu menyatukan kulit hitam di seluruh dunia.
Ceramah itu mengundang lebih banyak simpati untuk menyimak ceramah selanjutnya, di London School of Economics (LSE).
Malcolm X mendapatkan momentum, karena kampus dengan populasi pelajar asing yang tinggi dari dunia ketiga itu, menjadi salah satu pusat protes menolak Perang Vietnam.
“Hanya dengan menjadi muslim, saya bisa tak peduli dengan warna kulit. Agama ini mengajarkan persaudaraan. Tapi saya harus realistis-saya tinggal di Amerika, sebuah masyarakat yang tidak percaya pada persaudaraan apa pun,” tegasnya.
Akibat dua ceramah itu, Departemen Luar Negeri AS dan Perancis sepakat melarangnya masuk ke Perancis. Sehingga Ia kembali ke AS.
Tapi sayang pada 21 Februari 1965, ketika sedang berceramah di Manhattan, tiga anggota NOI menembakkan 15 peluru dan merenggut nyawanya.
Dia menjadi salah seorang martir pertama perjuangan kulit hitam di negeri Paman Sam, mendahului dua koleganya, Dr. Martin Luther King yang ditembak pada 1968 dan Fred Hampton, pemimpin Black Panther, yang dibunuh di apartemennya pada 1969.
________________________
Kontributor: Imam Achmad Baidlowi
Instagram: @imamachmadb
Discussion about this post