Oleh: Zulfiana Miftahul Jannah*
“Memarjinalkan atau di marjinalkan” adalah sebuah lontaran kalimat pernyataan yang berujung pada pertanyaan oleh salah satu kawan kolektif saya. Perempuan, sebuah tema besar yang menarik untuk didiskusikan dengan melihat kondisi perempuan hari ini yang tidak dalam keadaan baik-baik saja karena ada unsur keterbatasan, ketidaknyamanan, dan unsur-unsur tekanan dalam setiap langkahnya.
Terkhusus di ranah publik dalam konteks politik misalnya, perempuan tidak disederajatkan porsinya dengan kaum laki-laki. Dimana secara konstitusional diatur bahwa perempuan hanya mendapatkan 30% porsinya di dalam parlemen. Hal demikian menjadi pertanyaan-pertanyaan bagi kita bahwa perempuan dalam berkehidupan dengan keterbatasan apakah atas dasar ketidakmampuan secara individu atau ada sebuah sistem yang menjadikanya lemah dalam bahasa lainya adalah memarjinalkan atau di marjinalkan.
Belum lagi kondisi perempuan yang hari ini menjadi korban atas kekerasan domestik dan lain-lain sehingga menjadi ruang permasalahan yang komplit dan dapat diakumulasikan sebagai penyebab penyakit masyarakat terkhusus dalam aspek ekonomi. Dalam isu gender dan kemiskinan, rumah tangga merupakan salah satu sumber deskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan, ketidaksetaraan dalam alokasi sumber daya dalam rumah tangga memperlihatkan laki-laki dan perempuan mengalami bentuk kemiskinan yang berbeda.
Padahal sejak zaman penjajahan Belanda kemudian beralih ke Jepang sampai pada kekuasaan bernegara dipegang oleh bumi putera peran-peran perempuan yang di konstruksikan hanya di ranah domestik saja sudah mulai dibongkar dan dituntaskan. Perempuan pada saat itu begitu memperlihatkan kekuatanya baik melalui gerakan-gerakan perlawanan dari sayap organisasi maupun sebuah partai politik.
Sehingga kemerdekaan juga tidak dapat sepenuhnya diapresiasi dari hasil kerja keras kaum laki-laki saja. Bahkan ketika kita tarik lebih jauh lagi yakni pada masa komunal primitif dimana manusia masih dalam fase berburu, perempuan mengambil peran-peran yang cukup strategis dalam memajukan manusia pada peradabanya.
Marjinalisasi yang Masih Menimpa Perempuan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata marjinal diartikan sebagai kaum yang terpinggirkan. Ketika kita kontekskan dengan kondisi sosok perempuan, maka jelas pemaknaan yang tepat terhadap kondisi yang ada hari ini sebagaimana pula yang telah dijelaskan diatas yang terdapat pada individu seorang perempuan meski kedudukan dua insan manusia yang diamanahkan Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi ini setara. Pelecehan seksual, buruh perempuan yang di PHK sepihak, kekerasan dalam rumah tangga, perempuan terlantar dan pernikahan dini masih saja kerap terjadi dan melekat pada perempuan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang menjadi penyebab atas kondisi yang demikian rumit ini?
Apakah rekonstruksi yang telah terbangun bahwa perempuan adalah sosok yang mengambil peran di ranah domestik saja sehingga tidak membutuhkan pendidikan dan peran dalam ranah publik menjadikanya lemah dan mudah ditindas? Atas dasar tersebut maka apakah ia dengan sengaja dibentuk karena kepentingan suatu golongan atau mungkin saja atas dasar individu perempuan itu sendiri yang tidak berkeinginan bergerak dan melangkah lebih maju?
Demikianlah sekelumit deskripsi dan pertanyaan yang membuktikan eksistensi kecenderungan dalam mencari akar permasalahan yang terjadi pada diri perempuan. Semoga ini pula mampu menjadi refleksi terhadap diri kita atas kondisi sosial yang melibatkan perempuan menjadi subjek didalamnya.
Discussion about this post