Judul Film: Jojo Rabbit
Sutradara: Taika Waititi
Produser: Carthew Neal, Taika Waititi, Chelsea Winstanley
Penulis: Taika Waititi
Genre: Komedi, Drama
Durasi Film: 1 jam 48 menit
Bahasa: Inggris
Rating: PG-13
Rilis di bioskop: 8 November 2019
Resentator: Bening Tiara Shany*
Perang Dunia II merupakan sebuah simbol kedigdayaan Adolf Hitler sebagai pemimpin Jerman dengan ideologi Nazismenya. Film dengan latar waktu perang ini tidak lagi dikemas dengan adegan tragis, memilukan atau bahkan menegangkan, melainkan film ini berhasil mengemasnya dengan komedi dan satir untuk menggambarkan masa-masa kelam saat Hitler menjalankan kepemimpinannya.
Jojo Betzler seorang anak berusia 10 tahun digambarkan sebagai seorang simpatisan muda Nazi. Sejak awal film dimulai, Jojo yang penuh semangat berteriak “Heil Hitler!” bersama dengan teman imajinasinya – Adolf Hitler – menunjukan kuatnya doktrin Nazi terhadap masyarakat Jerman meskipun mereka hanya seorang anak-anak.
Usai membakar semangatnya dengan meneriakan “Heil Hitler!” berkali-kali, Jojo akhirnya pergi ke kamp pelatihan calon tentara Nazi yang diikuti mulai usia anak-anak sampai remaja.
Dalam dialognya Kapten K menyebutkan bahwa dalam kondisi perang, anak laki-laki berlatih baris-berbaris, latihan bayonet, melempar granat sedangkan anak perempuan mereka bertugas untuk merawat luka, merapikan ranjang, bahkan bertugas untuk melahirkan demi menciptakan regenerasi baru.
Maka yang bisa kita lihat adalah dalam kondisi perang terdapat pembagian tugas antara perempuan dan laki-laki, dan tetap yang menjalani fungsi domestik selalu perempuan sedangkan yang turun berperang hanya laki-laki.
Jika berbicara Nazi dan Hitler di masa Perang Dunia II, ada sejarah kelam yang terjadi dan berkaitan dengan kebencian terhadap Yahudi. Jojo Rabbit menyampaikan pesan kebencian bangsa Jerman terhadap Yahudi dengan menyebarkan doktrin bahwa Bangsa Arya dianggap sebagai ras paling unggul dan Bangsa Yahudi merupakan ras yang paling lemah.
Bahkan, doktrin tersebut disampaikan kepada Jojo dan teman-temannya dan menekankan bahwa Bangsa Arya lah ras yang paling maju dalam peradaban. Adegan kebencian tersebut juga didukung dengan pembakaran buku-buku yang ditulis oleh orang-orang Yahudi.
Di satu sisi, film ini juga memperlihatkan adanya pertentangan antara pemahaman dengan perasaan. Hal ini bisa dirasakan oleh penonton saat Jojo berkata bahwa menurutnya Bangsa Yahudi tidak semengerikan apa yang disampaikan para pelatih di kamp tersebut.
Ditambah lagi saat Jojo dihadapkan dengan posisi Ia sebagai tentara kecil Nazi yang harus mengesampingkan rasa iba dan posisi Ia sebagai anak kecil dengan rasa kemanusiaan tinggi lalu diperintahkan untuk membunuh seekor kelinci yang tak berdosa. Saat Ia menolak, maka Ia dicap sebagai seorang yang penakut dan tidak pantas untuk menjadi tentara Nazi. Konsekuensinya, Ia kemudian dijadikan pekerja untuk menyebarkan propaganda Nazi di penjuru Kota Jerman.
Bak pemandangan umum di Jerman pada masa itu, Fasisme Jerman juga membunuh masyarakat yang tidak mendukung Nazi dengan menggantungnya dan ditampilkan di muka publik. Di kaki mereka tergantung slogan “befreit deutschland, bekämpft die partie” yang memiliki makna “membebaskan Jerman, melawan partai.”
Di dalam perseturuan yang menegangkan antara Jerman dengan Yahudi, Jojo dikejutkan dengan adanya seorang perempuan bernama Elsa yang berasal dari Bangsa Yahudi dan tinggal di loteng rumahnya. Ternyata, Elsa disembunyikan oleh Ibu Jojo – Rosie Betzler – dari kekejaman pemerintah Jerman agar tidak dibunuh dan memberikan kesempatan pada Elsa untuk bisa menikmati hidupnya sebagai seorang manusia. Adegan tersebut menunjukan bahwa, tidak semua masyarakat Jerman membenci Yahudi dan berniat untuk memusnahkan ras mereka.
Dalam satu klip, Rosie merasa bahagia saat mengetahui kondisi berubah, sekutu menduduki Italia dan Perancis akan menjadi target selanjutnya. Ia merasa senang karena Ia mengharapkan perang akan segera berakhir karena menurutnya perang adalah hal bodoh, maka semakin cepat damai akan lebih baik. Padahal, Ayah Jojo adalah seorang prajurit yang sedang berjuang untuk kemenangan Jerman.
Terdapat potongan dialog antara Rosie dengan Jojo, Ia menasehati Jojo dengan berkata bahwa anak usia 10 tahun seperti Ia seharusnya tidak merayakan perang dan politik. Jojo seharusnya bisa menikmati kehidupan seperti seorang anak-anak pada umumnya seperti memanjat pohon. Dalam dialog tersebut pun akhirnya menyadarkan penonton bahwa perang tidak hanya merenggut hak kehidupan orang-orang dewasa, tetapi perang pun merugikan anak-anak yang kehilangan waktu untuk menikmati masa kecilnya.
Seiring berjalannya alur, kedatangan Gestapo Falkenheim yang bertujuan untuk melakukan penggeledahan di rumah Jojo juga mampu menimbulkan ketegangan bagi penonton, karena di rumah tersebut terdapat Bangsa Yahudi yang bersembunyi. Adegan ini pun mampu merepresentasikan kebencian Jerman yang tidak ingin Bangsa Yahudi melangsungkan kehidupannya di tanah Jerman.
Alur semakin menegang saat Jojo yang sedang menjadi pelayan sosial melihat ibunya menyebarkan selebaran bertuliskan “befreit deutschland, bekämpft die partie”. Adegan ini membantu film tersebut mencapai titik puncak saat Jojo yang sedang menyusuri kota dan akhirnya menemukan jasad ibunya yang tergantung di muka publik karena tindakannya tersebut.
Kematian Rosie juga diikuti dengan kekalahan Jerman terhadap sekutu yang disusul dengan berhasilnya Amerika Serikat, Inggris, Cina, dan India datang untuk menduduki Jerman. Situasi tersebut diwarnai dengan jatuhnya korban-korban akibat serangan senjata, bahkan Prajurit Jerman dan mereka yang masih memakai seragam Nazi pun ditangkap dan disiksa.
Semangat Jojo pun hilang saat temannya – Yorki – memberi tahu bahwa Hitler menyerah dengan menembakan peluru ke kepalanya. Hitler teman imajinasinya itu lalu datang menghampiri Jojo dan meminta penghormatan untuk terakhir kalinya. Sembari menendang Hitler, akhirnya Jojo pun kehilangan rasa simpatinya terhadap Hitler begitu pun Nazi dan Jerman akhirnya kalah dalam Perang Dunia II.
Dalam Jojo Rabbit, film ini menyampaikan pesan bahwa perang bisa merugikan semua lapisan masyarakat. Diiringi dengan kuatnya Fasisme Jerman, mereka dituntut untuk tetap bertahan hidup dan mengikuti semua perintah dari pemimpin negara. Tak segan, mereka juga harus menerima ancaman kehilangan nyawa apabila membelot dari pemerintahan yang berlangsung. Bukan hanya kerugian secara finansial, perang juga membuat mereka kehilangan keluarga, pekerjaan, bahkan mereka tidak bisa menikmati hidup dengan bebas.
*Resentator adalah Mahasiswi Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang
Instagram: @1vmrmt
Discussion about this post