Oleh: Firmansyah Subandari*
Setiap kelompok masyarakat memiliki pandangan yang berbeda mengenai zaman keemasannya, bagi masyarakat Yahudi, Taman Surga menjadi zaman keemasannya, masyarakat China menganggap era Konfusius sebagai zaman keemasannya (551-479 S.M.), sedangkan masyarakat Yunani Kuno era Socrates, Plato, dan Aristoteles di Athena yang menjadi zaman keemasannya .
Menurut Filsuf Amerika Stephen Richard Palmquist (lahir 1957) dalam bukunya “The Tree of Philosophy A Course Of Introductory Lectures for Beginning Students of Philosophy”, berpendapat titik berangkat zaman keemasan Yunani Kuno mengacu pada kebudayaan Minos-Misena, yang hancur pada masa Perang Troya (sekitar 1200 SM). Zaman prekaan mitos-mitos Yunani.
Perkembangan setelahnya adalah Penciptaan epos-epos Homer (sekitar 900 SM) dari mitos ke puisi. Barulah pada abad ke 6 SM pola pikir primitif tergusur oleh akal budi, kala itu muncul filsuf pertama di Yunani Kuno Thales (sekitar 624 -546 SM). Puncaknya pada masa Socrates (Sekitar 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM).
Lahirnya peradaban Yunani Kuno merupakan implikasi logis dari benturan kebudayaan dengan bangsa-bangsa Mesir Kuno, Babilonia, Mesopotamia, dan Kreta. Benturan kebudayaan tersebutlah yang mempengaruhi corak kebudayaan Yunani terutama di Athena dari ilmu pengetahuan, filsafat, dan seni.
Sebelum bangsa Yunani mengenal ilmu pengetahuan, Babilonia sudah mengenal ilmu pembagian hari menjadi dua puluh empat jam dan lingkaran menjadi 360 derajat, Mesir Kuno dan Mesopotamia sudah mengenal sistem irigasi. Hanya saja unsur-unsur pengetahuan dari bangsa terdahulu belum utuh sampai bangsa Yunani Lah yang menyempurnakannya.
Majunya peradaban Yunani Kuno dalam ilmu pengetahuan tidak membuat perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki terutama di Athena. Alih-alih setara, tetapi perlakuan terhadap perempuan masih terbilang tragis.
Kedudukan perempuan di Sparta dan Athena
Yunani Kuno terdapat dua wilayah paling berpengaruh yakni Athena dan Sparta. Sparta adalah bangsa pejuang, terkenal dengan kekuatan militeristiknya. Berbeda dengan Athena, bangsa dengan pusat perkembangan seni, ilmu pengetahuan , dan filsafat. Perbedaan dua wilayah ini juga terlihat dalam memandang perempuan terutama di ranah gender.
Perempuan Sparta berpartisipasi bebas di hampir semua kehidupan politik dan sosial. “Seperti pria, wanita juga menganggap bahwa kebugaran tubuh itu penting” tutur sejarawan Sue Blundell dalam bukunya women in Ancient Greece.
Wanita dewasa Sparta diberi kesempatan yang sama seperti Laki-laki yakni menjalani kehidupan olahraga, berburu, berlari dalam kompetisi, atau balap kuda. Gadis Sparta dididik dalam mousike (seni renungan), keterampilan bermusik, membaca puisi, dan menari.
Kesetaraan laki-laki dan perempuan Sparta tidak lepas dari hukum yang mereka terapkan yakni ketika pejuang Sparta berhasil menaklukan bangsa lain maka tugas-tugas rumah tangga di serahkan kepada helots.
Helots adalah sebuah kelompok yang digambarkan oleh sarjana Yunani abad kedua Julius Pollux memiliki status antara ‘orang bebas dan budak’.
Raja Lycurgus (abad Ke 9 SM) membuat hukum pentingnya kesetaraan di antara semua warga Negara. Latihan Fisik tidak hanya diperuntukkan untuk anak laki-laki, anak perempuan diberikan juga dan dididik pada tingkat yang sama di rumah.
Diceritakan urusan pekerjaan rumah, termasuk menenun pakaian diserahkan ke helots. Wanita Sparta fokus pada apa yang dicita-citakan Lycurgus sebagai peran terpenting mereka yakni menjadi ibu.
Sedangkan di Athena perempuan tidak mendapatkan hak-hak sipilnya. Membaca dan menulis bukan kewajiban perempuan Athena, mereka tak diperbolehkan menjadi pemerintah. Di kalangan elit perempuan disekap di istana-istana, jadi selir para petinggi Negara, di kalangan bawah menjadi komoditi diperjualbelikan bak ibarat barang.
“Menjadi perempuan pada masa Athena Kuno sangat tak menyenangkan” Tulis Jorgen Christian Meyer, guru besar Departemen Arkeologi, Sejarah, Kajian, Budaya, dan Agama pada Universitas Bergen, Norwegia dalam makalahnya “Women In Classical Athens”.
Filsuf Pseudo-Demosthenes di depan majelis masyarakat Negara sekitar abad Ke 4 SM pernah mengatakan “kita harus memiliki pelacur untuk kesukaan, selir untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan bagian kita untuk memberi kita anak-anak yang sah dan menjadi penjaga setia rumah kita”.
Di Athena, ada beragam jenis pelacuran yaitu Pornai merupakan menjual pelacur rendahan dengan harga murah, Pelacur Independent yakni pelacur di make up sangat mencolok dan pakaian yang indah dan dermawan, Pelacur Terselubung merupakan pelacur yang dianggap suci yang dipersembahkan untuk kuil-kuil suci Aphrodite terletak di kota Korintus, Hetairai adalah pelacur yang mencapai puncak hierarki tertinggi.
Hetairai, Pelacur di Athena
Di Athena juga terkenal dengan praktik prostitusinya. Jauh sebelum Athena mengenal prostitusi dan di legalisasi untuk pertama kalinya. Prostitusi sudah ada sejak 4000 tahun lalu, di Mesir Kuno, Babilonia, Mesopotamia. Praktik prostitusi dilakukan untuk kepentingan ritual keagaman kuno. Menurut kepercayaan kuno ada Dewi Ishtar, dewi cinta dan perang merupakan pelindung pekerja seks yang disebut sebagai harimtu.
Perempuan-Perempuan yang memuja Dewi Ishtar akan memberikan tubuh mereka pada pria yang memberikan uang ke kuil mereka. Kepercayaan yang mereka anut adalah dengan memberikan jasa seks, mereka meyakini bisa menggunakan kekuatan suci yang berasal dari tubuh mereka.
Di babilonia, gadis mereka memiliki tradisi menghilangkan keperawanan dengan berhubungan seks dengan pria asing di kuil Ishtar, tutur Herodotus seorang sejarawan abad 5 SM. Sementara di Yunani Kuno Prostitusi merupakan suatu hal yang lazim. Di Athena, prostitusi ditempatkan memiliki posisi paling penting terutama dalam kegiatan ekonomi.
Disebutkan bahwa Athena klasik-lah yang pertama kali melegalisasi prostitusi. Pemerintah kala itu alih-alih melarang justru pro terhadap pelacuran. Adalah solon negarawan Athena kala itu (638 SM-558 SM), menjadi salah satu mucikari pertama di Athena. Dirinya membuka rumah bordil. Di rumah bordil inilah para pelacur meniti karir menjadi hetairai.
Dalam bahasa yunani hetairai diartikan pendamping merupakan jenis pelacur di Yunani Kuno.
Dikisahkan bahwa Herodotus (484 – 425 SM) yang pertama kali menyebut istilah hetairai dalam karyanya Histories. Sebutan hetairai ditujukan untuk Rhodopis (546 – 526 SM) seorang perempuan asal Tharece (Turki) yang pindah ke Naukratis (Mesir) koloni Yunani Kuno. Rhodopis dinilai sebagai hetairai pertama dan terkenal di kalangan pembesar Naukratis.
Dalam kisah Socrates yang semasa hidupnya pernah mempunyai kawan akrab seorang hetairai namanya Theodote. Di beberapa tokoh penting Athena, seperti Pericles seorang orator dan negarawan, Praxiteles seniman patung dan Epicurus seorang filsuf, mempunyai hetairai masing-masing. Salah satu hetairai yang terkenal dan dikagumi oleh Socrates karena kemampuan bicaranya yang bagus ialah Aspasia, milik Pericles.
Hanya hetairai, pelacur yang mencapai puncak hierarki tertinggi. Tak cukup menjual kecantikan, harus luas pengetahuan bahasa-puisi, kemampuan main alat musik seperti flute, tamborin, kastanet, dan lyre. Inilah yang membedakan Pelacur hetairai dan pornai.
Berbekal kemampuan tersebut mereka melayani tamu laki-laki dalam symposia, minum anggur dan diakhiri bercinta dengan hetairai. Aktivitas pelacuran ini dapat dilihat pada guci-guci kuno Yunani.
Hidup hetairai diselimuti dengan harta kekayaan yang gemilang, memiliki rumah dan budak sendiri. Sebenarnya ini melanggar aturan di Athena, perempuan dilarang memiliki rumah dan budak.
Hetairai tidak menghendaki kehamilan dari pelanggan mereka. Untuk mencegah kehamilan banyak diantara mereka membaca mantra-mantra, minum ramuan tertentu, memakan telur gagak, sampai menerapkan sanggama terputus.
Zaman klasik (500 -325 SM) adalah zaman keemasan hetairai. Popularitas hetairai menurun di zaman Antikuitas. Mereka menyebar ke luar Athena, konon mereka membangun kuil di Corinth, kota ini para hetairai mendirikan kuil megah untuk dipersembahkan kepada Aphrodite dewi cinta, kecantikan dan seksualitas.
Seiring perkembangan zaman dan tenggelamnya peradaban Yunani Kuno digantikan Romawi, istilah hetairai perlahan menghilang meski secara praktik tak pernah usang ditelan zaman sampai sekarang.
*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
Instagram: @firsu14
Discussion about this post