Oleh: Miftahul Husnah*
Permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia selalu menjadi kasus yang tidak pernah terpecahkan secara konkret dan adil. Beberapa diantaranya cenderung larut dimakan waktu dan semakin bertambah setiap tahunnya.
Kelemahan HAM dari prespektif pengalaman perempuan menambah dampak pada perkembangan konsep baru tentang HAM.
Kita ketahui bahwa pejuang hak perempuan dalam menyuarakan dan memperjuangkan hak kaumnya selalu diakomodir dan dimasukkan dalam hukum HAM.
Sebagai bukti, dalam instrumen internasional terdapat konvensi yang diselenggarakan pada tahun 1977 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Konvensi ini menemukan kesimpulan bahwa diskriminasi perempuan merupakan bentuk dari relasi yang timpang dalam masyarakat kemudian dilegitimasi oleh struktur politik dan hukum yang ada.
Sebagai pengetahuan, hak individu terkhusus pada pendekatan HAM berdasarkan kesepakatan umum, seperti adat, kebiasaan, atau kelaziman lebih condong pada jaminan terhadap hak-hak dalam lingkup publik.
Namun terlihat kurang dalam wilayah domestik, dengan alasan hak privasi. Perlindungan hak antara dua wilayah tersebut sangat dilematis.
Dalam hal tersebut masalah kekerasan terhadap perempuan dalam wilayah domestik dan privat memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi, seperti kasus kekerasan dan diskriminasi. Bahkan, berlangsung sangat serius dan masif.
Akan tetapi, kasus tersebut sering kali dianggap bukan merupakan bentuk dari pelanggaran HAM. Melainkan hanya perlakuan kriminal, begitupun dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dalam ranah publik.
Dalam Catatan Tahunan (Catahu) terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2016. Sedangkan pada tahun 2018 tercatat 348.446 kasus.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), menyebutkan bahwa ada 7.238 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan pada tahun 2018.
Sedangkan, dalam Catahu Komnas Perempuan menyatakan kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 406.178 laporan, dengan aduan langsung pada Komnas Perempuan sekitar 1.301 laporan.
Hal tersebut belum termasuk korban yang tidak melapor karena mengalami trauma dan sanksi sosial dalam masyarakat.
Selain itu terdapat perspektif-perspektif negatif yang ‘‘dilabelkan’’ kepada korban, ini akan menambah tekanan pada psikis yang dialami oleh korban.
Dari data tersebut membuat masyarakat memandang perlu agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) harus segera disahkan.
Hukum di Indonesia yang hanya beracuan pada bukti fisik pada tubuh korban, dinilai kurang efektif dalam penetapan hukuman atau penggalian data.
Perlu diketahui bersama bahwa RUU PKS akan mengatur jenis tindak pidana kekerasan seksual yakni kontrol (pengekangan), intimidasi, eksploitasi, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi.
RUU PKS juga akan menegaskan bahwa terdapat kewajiban yang harus diberikan oleh negara pada hak-hak korban.
Seperti halnya dalam aspek perlindungan, penanganan, dan pemulihan yang bermuatan pada pemulihan kondisi traumatis korban.
Selain itu, jika disahkan RUU PKS kedepannya akan menjadi payung hukum untuk melindungi hak-hak korban pelecehan seksual.
RUU PKS merupakan alat untuk melengkapi produk hukum yang sudah ada. Seperti dalam KUHP yang sekadar mencakup perkosaan dan pencabulan, UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Sebelumnya, perjalanan untuk mengusahakan pengesahan RUU PKS sudah dimulai pada tahun 2015. Pasca Komnas Perempuan mendorong DPR untuk memasukkan RUU PKS dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Pada tahun 2016 Komnas perempuan menyerahkan naskah akademik RUU PKS dan Peresiden Joko Widodo pada tahun 2018 memerintahkan pengadaan koordinasi berbagai kementerian untuk membahas RUU PKS.
Hingga akhirnya pada tahun 2018 DPR menunjuk Komisi VIII sebagai panitia kerja. Namun, 30 Juni 2020 Badan Legislasi DPR manyatakan penarikan RUU PKS.
Alasannya karena dinilai sulit dalam pembahasannya. Kemudian mengajukan pembahasan RUU tentang Kesejahteraan lanjut usia.
Perlu diketahui sudah 5 tahun pembahasan RUU PKS, namun saat ini masih belum menemukan titik terang. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar tentang kesulitan dalam pembahasan RUU PKS.
Menjadi sangat miris jika RUU PKS sudah memakan waktu 5 tahun dan berakhir pada pembatalan dengan alasan sulitnya pembahasan.
Jelas berbanding terbalik dengan beberapa produk kebijakan yang baru-baru ini dikeluarkan oleh pemerintah dengan durasi waktu yang cukup singkat.
Padahal dalam kurun waktu 4 tahun dalam Catatan Tahunan Komnas perempuan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat.
Tercatat mencapai 431.471 kasus pada tahun 2019, dengan 416.752 kasus dari Badan Peradilan Agama dan 14.719 kasus dari Lembaga Pelayanan. Belum lagi yang masih takut dalam menyuarakan kasus yang dialaminya karena trauma.
Semestinya RUU PKS tidak menjadi polemik lagi jika kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya meningkat. DPR RI selaku penanggungjawab harus mampu mengatasi masalah ini.
Ada baiknya pemerintah serius dalam membahas kasus pelanggaran HAM. Jika tidak, Indonesia akan menjadi negara yang begitu kuat mendukung diskriminasi terhadap perempuan.
*Penulis adalah Mahasiswi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fisip,
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Instagram/Twitter: migta007/miftahusna007
Discussion about this post