Oleh: Iqbal Darmawan*
Beberapa waktu lalu santer berita mencuatnya buronan negara selama 11 tahun yakni Djoko Tjandra. Ia kembali dengan aksi luar biasa dalam mempresentasikan kesaktiannya masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi.
Nama Djoko Tjandra melesat melalui skandal Bank Bali pada tanggal 27 September 1999. Kasus yang merupakan satu dari sekian banyak tumpukan kasus korupsi di negara ini.
Kemunculan kembali Djoko Tjandra ke Indonesia merupakan kasus spesial, karena menjadi fenomena luar biasa mengenai kekuatan koruptor dalam mempengaruhi aparatur negara untuk menyelewengkan wewenangnya.
Ada beberapa poin penting yang perlu di sorot dari kejadian ini. Sebagai buronan negara sebelas tahun lamanya Djoko Tjandra layak masuk dalam kategori koruptor kelas atas. Pasalnya dia berhasil lolos dalam berbagai jerat hukum dan perburuan dari kepolisian Indonesia dan interpol.
Seperti yang telah banyak diberitakan oleh media lain, kronologi kasus Djoko Tjandra dimulai dari keterlibatannya dalam skandal Bank Bali. Ia sempat ditahan oleh Kejaksaan Agung pada tanggal 29 September 1999.
Akan tetapi, ia dibebaskan pada tanggal 28 Agustus 2000 dikarenakan Majelis Hakim PN Jaksel menetapkan kasusnya sebagai perdata dan bukan pidana. Kemudian pada tanggal 11 Juni 2009 ia kembali dijatuhi hukuman 2 tahun penjara serta denda sebesar 15 juta dengan subsider 3 bulan kurungan.
Hingga pada 19 Juni 2009 Djoko Tjandra dikabarkan melarikan diri ke Papua Nugini dan mendapatkan kewarganegaraan disana.
Hal yang perlu kita sorot dari kasus kembalinya Djoko Tjandra ke Indonesia adalah kehadirannya yang tidak terdeteksi oleh sistem imigrasi Indonesia. Dan yang lebih hebat adalah keterlibatan tiga jendral dalam membantu melancarkan Djoko Tjandra mengurus keperluan identitas kewarganegaraan dan pembuatan paspor.
Pada akhirnya berujung pada pemecatan tiga jendral tersebut dari jabatannya karena menyalahgunakan wewenangnya. Ini adalah gambaran kekuatan koruptor kelas atas dalam lobiying tingkat tinggi hingga melibatkan elit-elit jendral. Selain itu juga akan menjadi ironi yang memilukan, bahwa seorang koruptor yang buron malah dilindungi oleh elit penegak hukum.
Lika-liku kasus Djoko Tjandra mendapat sorotan tersendiri dalam proses penegakan hukum. Hal ini juga membawa kembali pada persoalan penegakan hukum di Indonesia. Analisanya kenapa ini bisa terjadi? Ada apa dengan hukum di Indonesia?
Wacana akan senantiasa bergulir dengan sistem hukum yang bermasalah. Karena memperkuat wacana dimana ketajaman hukum hanya untuk kalangan rakyat biasa yang tidak mampu. Sedangkan elit masyarakat kelas atas yang dikategorikan penjahat malah dilindungi dan mendapatkan perlakuan istimewa.
Problem tersebut bukan hanya mengenai legal hukum dan peraturan yang berlaku. Tetapi masih banyak yang harus diperbaiki mengenai sistem hukum dan peraturan yang berlaku, agar presisi derajat keadilan, kepastian dan kebenaran hukumnya lebih terlihat.
Apabila berbicara tentang oknum maka akan merujuk kepada person tentang etika dan moral terkait tanggung jawabnya. Walaupun ada barier etika dan sumpah jabatan dengan berbagai konsekuensi, akan tetapi terdapat problem mengenai bagaimana pencegahan oknum yang menyalahgunakan kewenangan.
Bisa dikatakan, ketidakmampuan penegak hukum dalam menyelesaikan kasus korupsi dan buronnya Djoko Tjandra selama sebelas tahun merupakan penghinaan atas negara. Ditambah lagi kedatangannya ke Indonesia tanpa terdeteksi dan malah dilindungi oleh elit penegak hukum.
Mungkin akan semakin memperjelas bahwa hukum merupakan mainan dan komoditas kepentingan elit masyarakat kelas atas. Selain itu, boleh dibilang derajat ekonomilah yang mengendalikan politik dan penegakan hukum. Fenomena tersebut menjadi realitas yang akan mengendap menjadi konstruksi sosial dalam penegakan hukum di Indonesia.
Kepercayaan masyarakat terhadap roda hukum dan negara semakin kempes. Ini merupakan sesuatu hal yang tidak baik bagi negara. Kepercayaan rakyat merupakan sesuatu yang mahal. Dan apabila krisis kepercayaan rakyat telah terjadi serta berlanjut maka akan membuat suatu negara menjadi kacau.
Berbicara mengenai persoalan korupsi di Indonesia sangatlah kompleks. Karena meliputi scope yang makro seperti sistem penegakan hukum hingga yang mikro seperti etika dan mental. Kita ketahui, bahwa pembenahan peraturan dan sistem penegakan hukum sudah sering diperbaiki. Akan tetapi, problem korupsi di Indonesia seperti tak mati dan terus berulang.
Masyarakat senantiasa disuguhi atraksi lucu terkait keleluasaan koruptor terhadap negara. Bagaimana tidak, hukuman yang diberikan pada koruptor tidak jauh beda dengan maling ayam yang hanya merugikan satu orang. Bahkan para narapidana koruptor mendapatkan fasilitas di penjara dan dilindungi ketika menjadi buronan.
Kekuatan koruptor melalui kapasitas intelektual dan finansialnya dapat menggoda aparatur penegak hukum menjadi oknum penyelewengan wewenang. Relasi kuasa memungkinkan adanya lobiying tingkat tinggi dengan pejabat bahkan sekaliber negara.
Kasus Djoko Tjandra menjadi salah satu potret praktik korupsi. Dari Kasus tersebut semakin memperpekat problem perlakuan hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Meskipun sudah berbagai cara telah digunakan untuk memperbaiki problem ini.
Secara nalar potret kasus Djoko Tjandra membuat semakin hilangnya kemungkinan pemberantasan korupsi. Karena sekaliber elit penegak hukum pun dapat dikontrol dan melindungi koruptor yang buron. Akan tetapi kepercayaan untuk mengatasi problem korupsi ini harus tetap hidup.
Kesadaran melek hukum pada masyarakat merupakan suatu hal penting. Paling tidak dapat dimulai dari diri kita. Hukum harus terimplementasikan secara adil dan bijaksana. Begitupun para penegak hukum harus mampu menanamkan mental yang kuat dalam praktiknya.
Discussion about this post