Semester genap 2019/2020 saya membuat kebijakan yang “memaksa” mahasiswa wajib menulis artikel di media. Menulis di media itu untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Media dan Masyarakat. Kebijakan itu saya lakukan karena pembelajaran dan ujian harus daring karena pandemi covid-19.
Tentu saja, saya sangat menganjurkan mereka menulis di media ternama. Tapi jika tidak bisa saya perbolehkan menulis di blog. Melengkapi tugas menulis tersebut, mereka wajib mempublikasikan tulisannya di media sosial. Minimal twitter. Saya mengharuskan mereka untuk mention akun Twitter saya @nurudinwriter dan akun Prodi Ilmu Komunikasi @IkomUMM, lalu saya retweet.
Jadi, nilai akhir tercapai, tugas dan kewajiban saya memberikan nilai terpenuhi. Lagi, ada publikasi melalui pemuatan di media atau minimal saya retweet. Pokoknya harus “berbau” publikasi. Semua berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sangat meggembirakan, ada yang dimuat di media cetak, online, dan blog.
Setelah pemuatan di media tersebut saya isen-iseng bertanya kepada beberapa mahasiswa, bagaimana perasaan mereka setelah tulisannya dimuat di media? Kebanyakan mereka senang. Peristiwa yang tidak pernah terbayangkan jika saya tidak memaksa mereka menulis di media.
Yang membanggakan lagi, banyak diantara mereka tidak saja senang tetapi kecanduan untuk menulis kembali. Bahkan ada yang meminta saya untuk meneliti ulang sebelum dikirim ke media. Tentu itu membuat saya senang pula.
Terapi
Perasaan yang dialami mahasiswa itu tentu pernah dan sedang saya rasakan pula. Bahwa setiap saya menulis dan dimuat media ada perasaan senang. Tentu ada banyak alasan kenapa seseorang yang dimuat tulisannya senang. Setiap orang juga berbeda alasan mengapa senang. Yang pasti senang saja.
Perasaan senang ini tentu bisa meningkatkan imun tubuh. Tubuh menjadi semakin sehat, baik secara fisik maupun non fisik. Tentu itu tidak mudah dirasakan bagi mereka yang belum pernah menulis lalu dimuat.
Untuk itu tak ada cara lain bagaimana agar tulisannya dimuat. Setiap tulisan punya cara sendiri untuk dimuat dan ada jalan sendiri untuk bisa dibaca oleh masyarakat. Tentu saja untuk mencapai itu harus menulis. Kuncinya itu saja.
Pada tahun 2010, seorang mahasiswa angkatan 2007 pernah bercerita perihal betapa girangnya bisa menulis. Ceritanya, suatu saat ia membawa buku hasil kumpulan tulisan ke orang tuanya. Buku kumpulan tulisan itu hasil kompilasi beberapa tulisan satu kelas matakuliah yang pernah saya ampu.
Kemudian mahasiswa itu cerita, jika orang tuanya sampai berkaca-kaca menyaksikan anaknya bisa menulis buku. Saya menduga bahwa mahasiswa itu tipe “anak nakal”, tetapi bisa membuat buku itulah yang membikin orang tuanya trenyuh.
Lain lagi saat kami bedah buku di Cofee Time (26/6/2010) depan kampus 3 Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Saat itu ada mahasiswa yang mengajak orang tuanya untuk menyaksikan bedah buku karyanya. Cara ini tentu membuat saya juga senang.
Tidak saja acara diliput media dan ada publikasi tetapi orang tua bisa menyaksikan sendiri bagaimana proses belajar mengajar anaknya selama kuliah. Satu kebanggaannya bisa membuat buku. Meskipun itu buku hasil “keroyokan”.
Maka saya percaya bahwa writing for healing dan writing for therapy. Bahwa menulis itu bisa menyehatkan jiwa raga dan membahagiakan. Tentu seseorang tidak akan percaya dengan motto itu.
Tetapi pernahkah Anda melihat atau mendengar seorang penulis tiba-tiba berhenti menulis tanpa sebab yang luar biasa? Biasanya, setiap orang yang bisa menulis akan “kecanduan” untuk terus menulis. Dalam hal ini Anda perlu percaya terlebih dahulu pada saya.
Kebahagiaan lain bisa dialamai jika tulisannya dibaca banyak orang. Bahkan, bisa menjadi perbincangan masyarakat. Bahwa apa yang seorang penulis lakukan ternyata punya manfaat. Menjadi perbincangan saja sudah menjadi kebahagiaan tersendiri, apalagi menjadi pembicaraan hangat bahkan banyak yang mengapresiasi.
Karena hal itu, saya jarang “menghina”, “menyacat” tulisan orang lain. Karena itu jelas tak membuat seorang penulis senang dan bahagia. Meskipun saya yakin, ada orang lain yang dengan mudahnya “menghina” tulisan orang lain itu.
Ingat, biasanya kalangan “penghina” itu bukan penulis (dalam arti penulis yang sudah mengalami “pahit getir” proses menulis). Bisa karena iri atau didorong faktor tertentu yang membuatnya emosi.
Tetapi disamping seorang penulis itu senang dengan pujian ada baiknya tetap menyiapkan diri untuk “dihina”. Mengapa? Di dunia ini pasti ada “tukang” yang senang menghina. Namanya juga “tukang”, pekerjaannya memang itu. Tentu saja dengan sebab-sebab yang berlainan satu sama lain.
Namun demikian, ia harus siap karena setiap tulisan tak akan memuaskan semua orang. Apakah dengan demikian kita tak perlu menulis? Piilihannya cuma dua; menulis atau tidak. Mereka yang enggan menulis karena belum merasakan kemanfaatkan menulis atau memang sudah apriori pada profesi penulis.
Sekarang menulis atau tidak bukan hal yang penting untuk diperdebatkan. Menulis juga bukan satu-satunya pilihan. Saya hanya menekankan bahwa dengan menulis bisa membuat kita bahagia. Dengan bahagia itu berarti menyehatkan jiwa raga. Jika Anda ingin meningkatkan imum tubuh, salah satunya dengan menulis. Karena menulis itu sebuah terapi.
______________________________
Discussion about this post