LINTASBATAS.CO – MALANG. 2022 ditutup dengan banyak tragedi kemanusiaan. Baru-baru ini, sekitar 135 penonton sepakbola meninggal dunia saat laga antara Persebaya dan Arema di Stadion Kanjuruhan, Malang (1/10/2022). Peristiwa ini menandai satu dari sekian catatan buruk persoalan HAM di Indonesia di penghujung tahun.
Merefleksikan beragam persoalan kemanusiaan dan banyaknya regulasi seputar sepak bola yang belum dibenahi. Renaissance Political Research and Studies (RePORT) Institute, kembali menggelar diskusi akhir tahun, Sabtu (31/12).
Dalam diskusi akhir tahun tersebut tema yang diangkat ialah Hak Asasi Manusia dan Diplomasi Sepak Bola, dengan dua pembicara. Persoalan Hak asasi manusia dibawakan oleh Hafid Adim Pradana Direktur Eksekutif Renaissance Political Research & Studies. Dan Diplomasi Sepak Bola dibawakan oleh Ilham Zada Jurnalis.
Dengan megahnya euforia atas sepakbola, tidak jarang ia dikaitkan dengan ragam bidang kehidupan lain seperti politik, budaya-sosial, dan ekonomi. Di bidang politik, publik berlomba-lomba menggerutu beragam regulasi yang dianggap menghambat kemajuan sepak bola, seperti kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh PSSI dalam tataran nasional dan FIFA di tataran Internasional.
Seperti yang dikatakan Ilham Zada, sepak bola tidak hanya dilihat sebagai sepak bola yang berlangsung selama Sembilan puluh menit. Melihat sepak bola seharusnya dari banyak segi karena sepak bola akan senantiasa mengiringi kehidupan manusia.
Ada sebuah pepatah, “soccer is more than a game”. Pepatah itu nampaknya tidak berlebihan mengingat sepak bola begitu digandrungi oleh hampir setiap kalangan di tanah air. Tim tertentu, misalnya, merupakan harga mati untuk dibela di dalam dan luar lapangan.
Di bidang sosial-budaya, sepakbola dianggap sebagai simbol yang mampu menyatukan sekaligus menjadi komunitas masyarakat. Terakhir, di bidang ekonomi, misalnya, sepakbola dipandang sebagai mata pencaharian bagi para pemain, dan ladang emas bagi para bandar judi.
Sekali lagi, “soccer is more than a game”. Ia bermakna secara individu dan sosial. Ia membawa banyak cerita bahagia dan duka, mulai dari kemenangan atau kenaikan peringkat tim tertentu sampai isu rasial, kekerasan, dan kematian tercatat dalam cerita sepak bola.
Sepak bola tidak hanya menjadi kultur baru di tanah air. Di level internasional, sepak bola masih menduduki peringkat pertama sebagai olahraga yang paling diminati. Hampir semua masyarakat di banyak negara menggemari sepak bola. Berkat popularitasnya, sepak bola bahkan mampu mempengaruhi bagaimana publik beropini.
Karena itu, sepak bola merupakan media diplomasi baru. Sebagaimana tujuan diplomasi untuk menjalin relasi, mempererat, dan meningkatkan hubungan untuk mencapai suatu kesepakatan tanpa melalui kekerasan. Sepak bola sepertinya memenuhi syarat-syarat tersebut.
Misalnya, pandangan publik Eropa terhadap Islam yang masih asing dan bercitra negatif saat dikaitkan dengan terorisme, perlahan berubah melalui kehadiran beberapa pemain profesional seperti Moh. Salah, S. Mane, M. Ozil, N. Kante, dll di Inggris.
Seperti yang disebutkan oleh Ilham Zada, lonjakan masyarakat london memeluk agama islam sangat tinggi, lonjakan ini tidak dipengaruhi oleh pemuka agama melainkan pemain sepak bola.
Sikap dan mentalitas para pemain itu membuat para penggemar mulai tertarik untuk mengetahui dan mematahkan pandangan umum tentang Islam, misalnya, sebagai agama yang penuh kekerasan. Di sini, para pemain itu seakan hadir sebagai perwakilan komunitas agama-budaya tertentu yang bertugas mempromosikan citra baik pada Islam sebagai agama dan peradaban.
Discussion about this post