Oleh: Muhammad Ardi Firdiansyah*
Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 akan dilaksanakan pada bulan Desember mendatang. Para bakal calon kepala daerah sudah mulai mempromosikan dirinya masing-masing.
Banyak cara yang mereka lakukan agar bisa meraih simpati dari masyarakat, mulai dari promosi melalui media sosial, baliho, sampai turun langsung ke masyarakat (blusukan).
Hal tersebut bisa kita lihat banyaknya baliho diberbagai sudut-sudut jalan di daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak.
Begitupun dengan media sosial, banyak foto dan video yang memperkenalkan bakal calon kandidat kepala daerah beserta visi misinya.
Mereka berusaha meyakinkan masyarakat bahwa mereka mampu membawa perubahan disegala sektor, terkhusus sektor ekonomi.
Namun sudah menjadi rahasia umum disetiap pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) atau pesta demokrasi Money Politik atau politik uang sering menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara, peserta maupun pemilih.
Hal tersebut disebabkan karena adanya pro dan kontra terkait Money Politik yang selama ini dipraktekan setiap pemilu di Indonesia.
Pro dan kontra tersebut disebabkan adanya pandangan bahwa Money Politik merupakan praktek yang keliru dalam pemilu.
Bagi sebagian pengamat maupun masyarakat adanya Money Politik akan melahirkan pemimpin yang korup dan akan memiliki dampak sosial yang besar ditengah masyarakat.
Lantas, apa hal positif dari adanya Money Politik? walaupun bagi sebagian pengamat atau masyarakat berpandangan bahwa adanya Money Politik akan membawa dampak yang buruk.
Namun bagi sebagian besar masyarakat kebiasaan tersebut membawa keuntungan bagi mereka. Masyarakat mengganggap bahwa adanya Money Politik merupakan bumbu dalam pemilu.
Kalau tidak ada uang, sulit untuk memilih calon yang akan menjadi pemimpin mereka. Perilaku tersebut seakan sudah menjadi kebiasaan ditengah masyarakat.
Visi dan misi saja tidak cukup membuat masyarakat percaya begitu saja kepada calon yang akan mereka pilih.
Hal tersebut disebabkan oleh perilaku dari kepala daerah yang terpilih lupa akan janjinya selama kampanye.
Dalam pilkada 2020 mendatang tentu Money Politik akan kembali terulang, bahkan nominal uangnyapun semakin meningkat.
Jika pada pilkada sebelumnya uang yang digelontorkan untuk membayar para pemilih sebesar Rp.150.000/orang. Pada pilkada 2020 ini akan naik menjadi Rp.200.000-Rp.300.000/orang.
Tentu mengenai nominal tersebut masih bisa diperdebatkan, tergantung keberanian dari calon dan tim sukses kepala daerah.
Untuk menyikapi hal tersebut pemerintah tidak diam begitu saja, segala macam aturan sudah disiapkan untuk membasmi Money Politik.
Namun aturan tersebut masih belum mampu menindak secara tegas oknum yang melakukan Money Politik.
Hal tersebut bisa dilihat dari pernyataan salah satu anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo, bahwa tren Money Politik masih akan terjadi pada pilkada 2020 nanti.
Beliau menjelaskan bahwa belum ada aturan yang tegas mengenai Money Politik dan masih ada cela hukum bagi para pelakunya.
Ada hal yang menghambat upaya penegakan dan penindakan hukum terhadap pelaku, ada tiga poin yang harus dipenuhi agar para pelaku Money Politik bisa ditindak secara hukum.
Ketiga poin tersebut ialah Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Jika salah satu poin tersebut tidak terpenuhi maka secara otomatis para pihak yang berwajib tidak bisa menindak secara hukum para pelaku Money Politik.
Peraturan tersebut bisa kita lihat dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2016 tentang“ Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota”.
Terlepas dari aturan yang belum jelas terkait penindakan terhadap pelaku Money Politik. Ada sesuatu yang paling mendasar mengapa perilaku tersebut selalu kita temukan dalam pilkada.
Hal tersebut ialah adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya. Banyak para kepala daerah yang berakhir dipenjara akibat penyalahgunaan kekuasaan, masyarakat selalu mendengar janji manis dari para kepala daerah.
Setiap ajang pilkada mereka mengumbar janji tanpa memikirkan apakah mereka mampu merealisasikannya? Bahkan masyarakat selalu dibodohi dan dibohongi.
Daripada masyarakat selalu menjadi tumbal lebih baik mereka menerima uang yang dibagikan para calon kepala daerah.
Serta mereka tidak harus menunggu terlalu lama janji yang belum tentu bisa direalisasikan tersebut. Mending mereka mngambil uang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Pilkada serentak 2020 ini merupakan ajang mencetus gagasan untuk kemajuan suatu daerah. Bukan ajang saling memperlihatkan siapa yang paling banyak uang dari para calon kepala daerah.
Jika para calon kepala daerah nanti masih memperhitungkan nominal uang yang harus dibayar untuk pemilihnya nanti.
Maka, cita-cita besar untuk memajukan daerah terbuang sia-sia dan krisis kepercayaan akan semakin meningkat.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Fisip,
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Instagram: ardinfirdiansyah
Discussion about this post