Malam berkumpul bersama beberapa kawan, berbincang tentang ini dan itu sampai warung kopi mulai sepi pengunjung, perlahan kosong, dan tutup. Tidak lama, meja yang sebelumnya dipenuhi kepulan asap rokok itu mulai mengering, meja itu juga akhirnya kosong.
Kami beranjak pulang, beberapa karena hendak mencari makan, dan beberapa lagi menaruh niat bangun pagi untuk mengikuti aksi.
Omnibus Law, UU yang dipersoalkan oleh hampir seluruh kalangan; ahli hukum, politik dan ekonomi, lalu mahasiswa, siswa, dan pedagang lontong tahu di seberang jalan juga tak mau kalah. Oh ya, para buruh, mereka pasti yang paling kuat membangun narasi dan aksi, kurasa mereka merasa bahwa hujan batu sedang menuju menimpa mereka.
Tidak lupa juga para aktivis HAM, lingkungan dan feminis, yang sedari awal terdengar kabar tentang UU Cipta Kerja ini telah gencar pontang panting membangun aliansi. Demi kemanusiaan yang terancam akan terseret jauh dari esensi adil dan bebas. Demi lingkungan alam yang terancam akan tergilas oleh roda pembangunan.
Situasi global memang mengharuskan keterbukaan total. Kedaulatan hanya tinggal basa basi dalam karya ilmiah lama, yang ada namun tak relevan lagi oleh trend perpolitikan dunia. Yang tersisa dari negara hanya satu, kehendak untuk mengunci kebebasan manusia di dalamnya demi utopia kapitalistik yang akan memajukan dan mensejahterakan.
Rakyat tahu apa, kami yang tahu segala, jadi kalian duduk manis dan diam saja. Bukan sekarang, entah kapan, kita tunggu saja buah manisnya di masa mendatang. Begitu bisik halus para pemuja modernitas.
Terbangun
Dinginnya pagi membangunkanku dengan cepat. Kebanyakan orang menyebutnya “musim maba”, masa ketika mahasiswa baru ramai berdatangan di Malang. Beranjak untuk bersiap-siap tanpa lupa menghisap sebatang rokok untuk mendamaikan kepala yang kisruh sebelum aksi sebenarnya di balai kota.
Bersama dua teman lainnya, aku berangkat.
Titik temu sudah padat dengan keramaian, dengan tertib prosedur hukum dan kesehatan. Massa aksi sudah siap melakukan long march dari Stadiun Gajayana menuju Balai Kota. Bersama dalam kerumunan, terdengar orasi diiringi sorak lagu khas representasi buruh terdengar riuh.
Singkat cerita, kami pun sampai di Balai Kota (di depan gedung DPRD). Tak lama berada di depan gedung DPRD keributan mulai terdengar. Massa aksi tak terkendali menimbulkan kisruh dengan aparat kepolisian.
Water canon dan gas air mata memukul mundur kerumunan yang sebelumnya telah berposisi dengan begitu rapi. Sungguh disayangkan, hanya dengan beberapa aktor provokasi saja, ketenangan berakhir dengan gelombang.
Siang datang, perlahan massa semakin mengecil, pudar, lalu hilang seiring matahari menurun.
Taman-taman yang sebelumnya rapi kini telah berantakan terinjak-injak; bunga, botol minuman, abu api, putung rokok, dsb. masih menetap, meski massa telah pergi. Kini, buruh kembali bertugas untuk mengangkat sampah, dan memperbaiki kerusakan tersebut. Ironis.
Nampak dari kejauhan para polisi masih sigap dengan kuda-kudanya, bersiap menahan apapun yang mencoba untuk lewat, bahkan, seekor lalat tidak akan berhasil melewati barisan tersebut. Terdengar beberapa massa meneriaki mereka dengan ucapan-ucapan kotor, mereka diam. “Dasar anjing negara,” ucap pria di ujung jalan.
Jika harus membela, kurasa kedua-nya berada pada prosedur yang sama-sama harus dijaga. Aktor-aktor tertentu sebagai biang keladi yang harus bertanggung jawab. Siapapun, dari pihak manapun. Jadilah massa aksi yang bijak, jadilah aparat yang bijak.
Kita sedang membela rakyat, bukan kepentingan kelompok saja. Toh juga kita sama-sama rakyat, lantas kenapa harus saling memberi tangis?
Matahari telah pulang, malam datang menuntun seluruh semangat yang terkumpul untuk sejenak mengambil nafas. Esok akan datang, semangat terus kawan-kawanku, aliansi dan para aparat. Apapun alasannnya, tidak ada kekerasan yang bermakna demi kebaikan.
Indonesia, Cepat Pulih
Konflik. Sepertinya setiap hari adalah puncak. Meskipun memasuki musim dingin, negeri ini justru semakin terasa panas. Bukan karena global warming, tetapi situasi politik.
Deretan norma tertulis disusun secara maraton oleh bapak/ibu anggota Dewan Perwakilan Rakya (DPR). Tidak hanya UU Cipta Kerja, juga UU KPK yang sebelumnya menimbulkan konflik internal antara masyarakat dan pemerintah. Sepertinya pemerintah belum benar-benar belajar dari kisruh yang terjadi sebelum-sebelumnya.
Belum lagi persoalan pandemi yang tak mau berhenti menular secara massal. Ah, seolah virus ini tidak seberbahaya persoalan ekonomi. Nasib tuan investor sepertinya masih lebih penting daripada nasib rakyat klaster bawah.
Tidak akan berlangsung sebuah norma tanpa kepercayaan penuh masyarakat. Bukan persoalan ideal atau tidaknya, yang lebih utama adalah persoalan konsensus. Pro-kontra pasti hadir sebagai konsekuensi demokrasi.
Adalah munafik ketika berbicara efektifitas di tengah dinamika dan pluralitas sosial. Kita manusia bukan benda yang butuh diotoritasi secara penuh oleh sang “puan”. Kalau tahu demokrasi yang berjalan akan secacat ini, aku merasa bersalah sempat tidak memberi dukungan penuh atas legitimasi Sunda Empire tahun lalu.
Tindakan komunikatif beragam unsur perlu diberikan sentuhan yang lebih erat lagi, aliansi mahasiswa dan buruh, para aparat, dan adik-adik serta unsur-unsur lain yang turut meramaikan aksi. Ramaikan dengan menindak secara bijak. Musuh kita bukan sesama rakyat, namun para wakil yang mengaku sebagai tangan kanan tuhan kepada rakyat.
Indonesia, cepatlah pulih, kami rindu.
Discussion about this post