Judul Film: Offside
Sutradara: Jafar Panahi
Produser: Jafar Panahi
Penulis Naskah: Jafar Panahi dan Shadmer Rastin
Pemeran: Sima Mobarak Shahi, Syayesteh Irani, Ayda Sadeqi, Golnaz Farmani, Mahnaz Zabihi, Nazanin Sediq Zadeh, Safdar Samandar, Mohammad Kheir Abadi, Masoud Kheymeh Kabood
Genre: Sejarah, Olah raga dan Komedi
Rating MPAA: PG (Parental Guidance)
Durasi: 93 Menit
Tanggal Rilis: 1 Februari 2006
Resentator: Imam Achmad Baidlowi*
Iran adalah negara penggila sepak bola. Kendati minim prestasi pada kejuaraan internasional, tetapi boleh dikata fanatisme Iran adalah salah satu yang terbesar di Asia dan Timur Tengah.
Kegilaannya kepada si kulit bundar begitu mengakar, menjadi salah satu sendi terpenting dalam sejarah kebudayaan Iran modern.
Sejak pertama kali diperkenalkan pada 1925 oleh Syah Reza Khan, pendiri dinasti Pahlevi, sepak bola adalah simbol dari modernisasi ala Barat yang gila-gilaan digencarkan.
Dengan cepat simbol ini mempengaruhi cakrawala pemikiran rakyat untuk lebih terbuka terhadap Barat. Tetapi turut mengikis budaya dan tradisi Parsi, serta melemahkan kekuatan Mullah. Oleh karena itu dinasti Pahlevi dan sepak bola adalah musuh utama para Mullah.
Maka pasca Revolusi Islam 1979 yang menumbangkan dinasti Pahlevi, Ayatollah Khomeini bersama kolega islamisnya berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan sepak bola, yang dianggap mewakili pengaruh dinasti Pahlevi. Upaya ini terus dilanjutkan oleh pemerintahan Iran hingga hari ini.
Satu dari sekian upaya yang paling kontroversial adalah melarang perempuan untuk bermain dan menonton sepak bola secara langsung.
Aturan kontroversial tersebut diangkat oleh sang Sutradara Jafar Panahi dalam film ini. Dengan nuansa realisme, ia mengangkatnya bersama sehari bersejarah bagi sepak bola Iran pada 8 Juni 2005.
Yaitu saat kesebelasan nasional Iran mengalahkan Bahrain 1-0 di Stadion Azadi (Tehran), dan memastikan lolos dari kualifikasi menuju putaran Piala Dunia 2006 di Jerman.
Ia menggambarkan antusiasme rakyat Iran melalui enam perempuan tokoh utama, serta beberapa tentara, yang diiringi gemuruh suporter di sekelilingnya.
Adegan dibuka oleh seorang bapak tua di dalam taksi terlihat sedang mencari putrinya, yang tanpa izin menuju stadion.
Dalam dialognya bersama supir, tersirat betapa lumrahnya di pertandingan sepak bola, tentara menemukan dan menghukum perempuan yang mencoreng nama baik keluarga dengan masuk ke stadion.
Sementara di salah satu bus suporter, seorang perempuan muda (Sima Mobarak Shahi), tokoh perempuan pertama, duduk sendirian dengan kecemasan di antara sorak sorai supoter laki-laki.
Ini adalah pertama kalinya bagi perempuan polos ini mencoba menonton ke stadion. Karena itu ia membawa bendera Iran ukuran besar yang digunakan untuk menutupi badan, serta topi, baju dan celana panjang lebar layaknya laki-laki. Karena pemula, ia begitu gugup dan belum tahu trik-trik untuk masuk secara ilegal.
Sesampainya, ia melihat seorang perempuan (Ayda Sadeqi) yang juga berpenampilan layaknya laki-laki, tokoh perempuan kedua, yang berpura-pura buta. Sehingga saat penjaga loket memeriksanya, ia menjatuhkan diri dan lolos dari penggeledahan.
Perempuan pertama kemudian membeli tiket dari seorang calo. Sang calo yang awalnya khawatir, akhirnya mau menjual tiketnya dengan ketentuan khusus bagi perempuan ini.
Ia menaikkan harga tiket yang awalnya 5000 Toman menjadi 8000 Toman, plus kewajiban membeli poster Ali Karimi, seorang striker Iran, yang awalnya seharga 300 Toman menjadi 500 Toman.
Singkat cerita, aksi perempuan pertama ketahuan. Seorang tentara menangkap dan membawanya ke sebuah penampungan khusus perempuan di samping stadion, sebelum nantiya dibawa menuju Polisi Susila (kepolisian yang dibentuk untuk mengawasi dan menindak moralitas yang dianggap menyimpang oleh pemerintah).
Di penampungan ini ia bertemu dengan lima perempuan senasib yang lebih dulu tertangkap: tokoh perempuan kedua, seorang striker di sebuah tim sepak bola perempuan.
Perempuan ketiga bernama Akram (Golnaz Farmani), putri seorang Mullah yang mengajak putri dari Bapak pada adegan pertama film. Perempuan keempat (Nazanin Sediq Zadeh), yang termuda dan cengeng.
Perempuan kelima (Syayesteh Irani), yang perokok dan tomboy. Dan Perempuan keenam, yang menyamar sebagai tentara. Karena tertangkap, pada akhirnya tidak ada satupun dari perempuan ini yang berhasil masuk stadion.

Mereka dijaga oleh empat orang tentara: tentara kepala penampungan perempuan (Safdar Samandar), laki-laki asal Azerbaijan bernama Samandar yang sering meratapi kondisi ekonomi keluarganya. Tentara asal Mashad (Mohammad Kheir Abadi) yang jago menjadi komentator bola.
Tentara asal Tehran (Masoud Kheymeh Kabood) yang galau karena pacarnya salah sangka terhadap hubungannya dengan tokoh perempuan pertama. Dan tentara terakhir (Hadi Saeedi), yang berhasil menemukan penyamaran tokoh perempuan keenam.
Jafar Panahi sengaja tidak memberi nama pada banyak tokoh. Kecuali pada tokoh perempuan ketiga dan tentara kepala penampungan perempuan.
Ia membiarkan penonton mengidentifikasi karakter setiap tokoh yang beragam dan bertabrakan, terutama antara kubu laki-laki dan perempuan, tetapi memiliki kesamaan dalam gila bola dan nasionalisme.
Dengan berfokus pada setting tempat di penampungan perempuan, dan waktu setengah hari pada sebelum, saat dan setelah pertandingan, ia menyuguhkan hal yang tak biasa.
Ia memberikan peran protagonis bagi semua tokoh. Sehingga dialog dan interaksi yang terjadi terasa ringan, bahkan penuh komedi.
Begitu banyak adegan komedi nan aneh yang mengeksplorasi bias gender dalam sepak bola Iran. Salah satunya saat tokoh perempuan kelima bertanya kepada kepala penampungan mengenai logika hukum pelarangan perempuan menonton di stadion.
Perempuan ini membandingkannya dengan pembolehan suporter perempuan Jepang yang menonton dan membaur dengan laki-laki pada laga sebelumnya di stadion Azadi, antara Iran melawan Jepang.
Sang tentara menjawab karena mereka orang Jepang, jadi tidak mengerti bahasa Persia dan umpatan jorok nan kotor yang biasa keluar dari mulut suporter Iran.
Dan saat perempuan ini membandingkan dengan bioskop di Iran yang membolehkan laki-laki dan perempuan duduk bersama, sang tentara hanya pasrah dengan kebingungannya dengan menjawab “aku bukan bosnya”.
Film ini diakhiri oleh lantunan lagu kebangsaan Iran dalam euforia rakyat di jalanan, setelah memastikan lolos pada Piala Dunia 2006.
Sebelumnya, saat terhenti karena kemacetan, baik tentara dan perempuan yang berada dalam sebuah mobil menuju kantor Polisi Susila sama-sama larut dalam tumpah ruah itu.
Tentara pun memberikan toleransi dengan membiarkan para perempuan ikut dalam perayaan, sebagai wujud syukur atas pertamakalinya Iran lolos pada helatan sepak bola terakbar.

Sesuatu yang ganjil adalah karena Jafar Panahi berfokus pada intensitas dialog dan interaksi yang dibangun oleh tokoh perempuan kedua, ketiga, kelima dan keenam.
Tokoh perempuan pertama yang awalnya membawa cerita, lebih banyak ditampilkan dengan tidak bicara setelah bergabung di penampungan.
Tokoh perempuan keempat baru sangat jelas karakternya saat menjelang akhir film. Ia menangis merengek minta diturunkan dari mobil karena takut orang tuanya tahu, setelah sebelumnya hampir tidak pernah bicara.
Makin terasa ganjil jika membandingkan dengan porsi besar tentara yang sebetulnya hanya sebagai pemeran pendukung. Padahal banyak momentum yang sebetulnya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan karakter dari keduanya.
Tetapi kekurangan ini tidak sepadan dengan keberhasilan Jafar Panahi menyajikan kritik terhadap ketimpangan sosial dengan ringan dan sederhana. Warga negara lain yang menonton film ini tentu akan heran.
Sebegitu anehnya teokrasi Iran mengatur perempuan? Kok gak masuk akal alasan melarang perempuan bermain dan menonton sepak bola? Terutama jika mengetahui telah banyak perempuan Iran yang berada di pemerintahan.
Para tokoh perempuan ini adalah gambaran dari maraknya kenekatan perempuan penggila bola yang ada dalam realita sosial Iran. Jafar panahi dalam sebuah wawancara dengan Tempo mengaku bahwa film ini terinspirasi dari putrinya yang gemar menonton bola di stadion.
Karena reputasinya sebagai aktivis sosial yang kerap mengkritik pemerintah lewat film, ia bahkan harus merahasiakan proyek dan syuting film ini. Benar saja, beberapa hari setelah resmi ditayangkan di Iran, pemerintah mencabut izin penayangan film ini. Berbanding terbalik dengan banyaknya penghargaan yang didapatkan dari festival film di berbagai negara.
Discussion about this post