Oleh: Muh. Khusni Tamrin*
Beberapa waktu lalu, kembali bangsa ini mengukir sejarah perjuangan. Perjuangan rakyat melawan bangsa sendiri. Persis seperti apa yang dikatakan bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Huru-hara yang kemarin tersaji di hampir seluruh kota besar di negara ini ialah pertanda nyata bahwa pemerintah dengan yang diperintah sudah tidak lagi sejalan.
Berbagai spekulasi kemudian muncul. Mulai dari isu yang mengkambinghitamkan mahasiswa atas rusaknya berbagai fasilitas umum, sampai beredarnya video-video yang mempertontonkan betapa menggilanya oknum dalam memperlakukan massa aksi dan lain sebagainya.
Tentunya hal yang demikian perlu untuk segera diusut dan dicari siapa sebenarnya oknum antagonis yang ingin mengadu domba rakyat. Tapi, siapa lagi yang akan dipercaya untuk mengusut itu semua? kepercayaan rakyat telah terlanjur hancur oleh segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan yang bahkan dilindungi oleh undang-undang.
Lalu apakah judicial review bisa dijadikan solusi? berikut argumen beberapa pakar. “Percuma diajukan judisial review ke Mahkamah konstitusi (MK), hakimnya dipilih oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini diutarakan oleh Haris Azhar, Direktur Lokataru Foundation. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati memaparkan bahwa, “Omnibus law lahir secara inkonstitusional, maka kita tidak perlu menggugatnya secara konstitusional.”
Namun yang terbaru ialah, cuitan Jimly Ashshiddiqie di akun Twitternya (12/10), “Pengujian di luar materi UU seperti proses pembentukan, disebut pengujian formil. Coba cek, apa benar ketika disahkan di DPR, naskah final belum ada. Kalo para anggota DPR bisa buktikan bahwa mereka belum dibagi naskah final, sangat mungkin dinilai bahwa penetapan UU tersebut tidak sah dan bisa dibatalkan oleh MK.”
Sisi lain, terlepas dari carut marutnya Omnibus Law ini, ada hal yang mungkin luput dari perhatian sebagian orang. Political awareness di kalangan milenial. Betapa tidak, meskipun negeri ini sedang berada di tengah pagebluk, kaum muda tetap tumpah ruah menyuarakan aspirasi melalui parlemen jalanan.
Mereka bukannya tidak takut akan virus, mereka takut. Akan tetapi, ada ketakutan yang lebih besar, mereka sadar bahwa rakyat telah diperdaya secara politik melalui regulasi penuh kontroversi ini. Milenial sadar, bahwa Omnibus Law lebih mematikan daripada pandemi itu sendiri. Kesadaran akan hal itulah yang kemudian merubah ketakutan menjadi keberanian untuk melawan segala bentuk penindasan.
“The real virus is Omnibus,” begitu salah satu kalimat yang terpampang di kertas karton besar yang dibawa salah satu mahasiswa di barisan aksi. Demi satu kalimat itu, menurut hemat kami, Ibu Pertiwi patut berbangga memiliki kaum muda yang terdidik dan tersadarkan. Karena sejatinya sebuah gerakan besar berawal dari kesadaran yang muncul dari dalam benak kemudian bermuara kepada sebuah aksi nyata.
Political awareness yang kian meningkat tidak terlepas dari peran sosial media yang merupakan wajah milenial. Media sosial akhir-akhir ini diwarnai oleh video-video heroik dan lagu-lagu perjuangan. Hal ini kemudian semakin deras masuk ke ruang-ruang berpikir kaum muda milenial sehingga kesadaran itu mulai terpupuk dan terus tumbuh. Sehingga tersadarlah kaum muda menyusul disahkannya UU Cipta kerja.
Seiring dengan tumbuh kembangnya political awareness kaum muda milenial, ghirah persatuan anak muda juga semakin jelas terlihat. Berangkat dari kesadaran yang sama, kemudian membentuk kesatuan massa yang memiliki tujuan yang sama yakni tegaknya keadilan.
Mungkin banyak dari kaum muda yang belum memahami secara mendalam substansi dari Omnibus Law ini, karena memang draft finalnya masih simpang siur bahkan dari segi jumlah halamannya. Akan tetapi yakin dan percaya, bahwa awareness telah tumbuh dalam sanubari. Mereka telah tersadarkan dan mereka merasa terpanggil untuk ikut serta dalam aksi membela hak dan kepentingan rakyat.
Ini momen yang harusnya mampu menjadi titik tolak menuju progresivitas bangsa dari segi politik. Bangkitnya political awareness dari kaum muda milenial adalah pertanda baik untuk masa depan bangsa. Jika ini dirawat, maka bukan tidak mungkin, generasi milenial lah yang akan tampil sebagai solusi dari peliknya problematika bangsa. Hanya saja, kaum muda milenial selain harus merawat, juga harus belajar dari mereka yang telah lalu.
Sebut saja angkatan 98, banyak pelajaran yang dapat dipetik dari pergerakan pemuda kala itu. Bagaimana perkasanya anak muda kala itu merobohkan tirani yang berkuasa selama 3 dekade lebih. Akan tetapi pada akhirnya, banyak dari anak muda yang dulunya keras menentang rezim yang lalim sekarang melempem duduk manis dan terbawa arus sistem yang kian carut marut.
Tentunya hal ini yang harus diwanti-wanti agar supaya tidak terulang lagi di generasi milenial. Langkah awal yang baik, haruslah disusul dengan langkah-langkah selanjutnya yang tentunya akan melahirkan gebrakan-gebrakan positif demi kemajuan bangsa.
Akhirnya, harapan akan terwujudnya negeri indah adil dan makmur harus tetap hidup dalam sanubari setiap pemuda. Pemuda ialah pelanjut tongkat estafet kepemimpinan bangsa yang harus siap dipimpin dan siap memimpin.
Jika tiba masanya kelak, giliran pemuda lah yang akan memegang kemudi dan menentukan, ke arah mana bahtera besar ini akan berlayar. Ke pulau indah penuh kejayaan kah? atau justru sebaliknya. Semangat untuk kaum muda milenial. Semangat untuk kita semua!
Discussion about this post