Dari rezim ke rezim, isu penentuan nasib sendiri (act of free choice) bagi Papua tak pernah surut. Terbaru, 1 Desember 2020, The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mendeklarasikan pemerintahan sementara, yang mencakup provinsi Papua dan Papua Barat.
Benny Wenda, Presiden sementara pemerintahan ini, menegaskan bahwa motif pemerintahannya mewujudkan referendum untuk kemerdekaan Papua.
Mari berkaca pada sejarah. Papua adalah satu-satunya Provinsi Indonesia, yang bergabung melalui mekanisme Internasional. Maka tak heran wilayah ini begitu sering diperdebatkan dalam forum Nasional maupun Internasional.
Termasuk oleh para pendiri bangsa dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Saat itu, Mohammad Yamin berpandangan Papua merupakan wilayah Nusantara karena dalam sejarah berada di bawah kesultanan Tidore dan masuk wilayah Majapahit. Soekarno senada menegaskan, dengan alasan seluruh wilayah jajahan Belanda merupakan bagian dari Indonesia.
Mohammad Hatta mengajukan pandangan berbeda. Baginya, Papua masuk bagian bangsa Melanesia, berbeda dengan sebagian besar orang Indonesia yang Melayu. Bahkan, tambahnya, jika Papua masuk wilayah Indonesia, sekalian saja teritorinya diperluas hingga Kepulauan Salomon atau Suriname yang juga jajahan Belanda.
Hatta justru lebih menyarankan wilayah Borneo dan Malaya dimasukkan dalam NKRI karena kesamaan etnis Melayu. Jika Indonesia memaksakan integrasi Papua, maka Indonesia tidak berbeda dengan negara imperialis.
Wajiman Wedyoningrat yang menjadi ketua BPUPKI mengusulkan pemungutan suara dengan tiga opsi. Pertama, Seluruh Hindia Belanda. Kedua, seluruh Hindia Belanda, Borneo Utara, Malaya, Timor dan Papua. Dan ketiga, wilayah Hindia Belanda, Borneo Utara, Malaya, tanpa Papua. Hasilnya, dari 66 peserta sidang, opsi pertama mendapat 19 suara, keduaa 39 suara, ketiga 6 suara, blangko 1 suara, dan lain-lain 1 suara.
Tetapi dalam forum itu tidak satupun wakil dari Papua hadir. Perwakilan paling timur Indonesia hanya dihadiri oleh wakil dari Ambon, Johanes Latuharhary. Itulah kenapa, menurut pandangan Sejahrawan Pieter Drooglever, BPUPKI tidak representatif menyangkut nasib masyarakat Papua.
Wakil Papua baru hadir setahun kemudian dalam Konferensi Malino (1946) yang diwakili oleh Frans Kaisiepo. Di situ ia mengenalkan nama Irian yang sangat simbolis, sekaligus menegaskan integrasi Papua dalam Indonesia. Tetapi Latuharhary merupakan gubernur pertama Maluku (1945), yang pada saat itu wilayah kekuasaannya mencakup Papua. Latuharhary pun tidak pernah berada di Papua dalam menjalankan Pemerintahan.
Hal tersebut membuat Belanda kembali mencengkram Papua dan berusaha memisahkannya dari Indonesia, hingga harus diselesaikan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Salah satu putusannya adalah nasib Papua akan diselesaikan dalam waktu satu tahun kedepan. Setelah KMB selesai beberapa perundingan sempat dilakukan, namun tidak menghasilkan apa-apa.
Kini keberadaan Papua dalam wilayah NKRI selama lebih 57 tahun (1963-2020) justru melahirkan masalah politik, sosial, ekonomi hingga Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti pembunuhan yang dilakukan oleh militer terhadap masyarakat sipil dan adat Papua, pembatasan akses informasi, eksploitasi sumber daya alam, kelaparan hebat dan lain sebagainya. Oleh karena itu kini penentuan nasib sendiri begitu keras disuarakan oleh sebagian besar Orang Asli Papua (OAP).
Awal Bangkitnya Kesadaran Nasional Papua
Pada kurun 1944-1949, Belanda, melalui Resident pertama Papua, J.P Van Echoud, mendirikan sekolah Pamongpraja di Jayapura, dengan mendidik 400 OAP.
Misi yang diemban adalah menanamkan nasionalisme dan membuat OAP setia terhadap Belanda. Sementara rakyat Papua yang Pro Indonesia akan dipenjara dan dibuang keluar Papua. Strategi ini, hampir sama seperti Politik Etis.
Kemerdekaan Indonesia juga memberi pengaruh pada beberapa tokoh Papua. Di antaranya Silas Papare, Albert Karubuy dan Martin Indey, yang pro Indonesia. Pada tahun 1946 di Serui, Silas Papare dan pengikutnya mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) di bawah bimbingan Dr. Sam Ratulangi saat menjalani masa pengasingan.
Selain PKII, ada juga gerakan pro Indonesia yang didirikan Soegoro Admoprasodjo dengan mengumpulkan orang Jawa, Sumatera, Makassar dan Buton yang ada di Papua. Di tahun 1954 Sam Ratulangi kembali mendirikan organisasi politik Komite Indonesia Merdeka (KIM), organisasi ini dipimpin oleh Marten Indey, Nicolas Jouwe, dan Korinus Krey. Namun di kemudian hari, Nicolas Jouwe menjadi pemimpin Papua yang berbalik anti terhadap Indonesia.
Van Echoud melarang aktivitas PKII dan KIM serta menangkap dan membuang para pemimpinnya keluar Papua. Namun kegiatan PKII dan KIM tetap berlangsung dengan menerapkan strategi gerakan bawah tanah.
Untuk menentang pengaruh Indonesia, Belanda mendirikan Gerakan Persatuan New Guinea (GPNG). Tokoh yang dilahirkan dari gerakan tersebut ialah Markus kaisiepo, Johan Ariks, Abdullan Arfan, Nicolas Jouwe, da Herman Womsiwor, yang kemudian menjadi pendukung fanatik bagi nasionalisme Papua.
Menjelang akhir 1960, Belanda membentuk beberapa organisasi dan partai politik untuk merealisasikan dekolonisasi Papua yang dilakukan secara bertahap. Partai yang paling berpengaruh adalah Partai Nasional (PN) yang dipimpin oleh orang-orang yang beraliran nasionalis Papua dan menghendaki suatu pemerintahan sendiri tanpa harus bergabung dengan Indonesia. PN didirikan berbarengan dengan 11 Partai dan Organisasi politik lainnya.
Kelahiran 12 Organisasi dan Partai tersebut dibawahi pemerintah Belanda, sebagai perwujudan dari kebijakan politik Kabinet De Quay, untuk mempercepat pembentukan Nieuw Guinea Raad (Dewan Nugini) yang dilakukan secara bertahap. Kewenangan bagi Dewan Nugini adalah, hak petisi, hak interpelasi, hak amandemen, dan tugas terhadap pelaksanaan anggaran pembangunan.
Tentu, keinginan gerakan Belanda sangat ditentang Presiden Soekarno dan melahirkan sengketa berkepanjangan. Hingga mendorong menteri luar negeri Belanda pada saat itu, Joseph Luns ditahun 1961 terlibat dalam penyelesaian sengketa.
Joseph Luns mengajukan suatu rencana pemecahan masalah Papua pada sidang umum PBB tanggal 28 November 1961. Rencana Luns terdiri 4 pasal: Pertama, jaminan adanya undang-undang untuk penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Kedua, harus ada kesediaan sampai terbentuknya pemerintah dengan persetujuan Internasonal. Ketiga, sehubungan dengan kegiatan tersebut juga akan diberikan kedaulatan. Dan keempat, Belanda akan terus membiayai perkembangan masyarakat ke taraf yang lebih tinggi.
Di Papua, sebagai jawaban atas rencana Luns, maka 5 anggota Dewan Nugini yang dipimpin oleh Mr. de Rijke merumuskan suatu manifesto dan membentuk suatu Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang. Komite ini mengadakan suatu forum di Jayapura yang dihadiri 70 OAP.
Dalam Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (1993) karya John RG Djopari tertulis, pada 1 November 1961 itu, melahirkan bendera nasional Papua, lagu kebangsaan ‘Hai Tanahku Papua, nama bangsa Papua dan nama Negara West Papua atau Papua barat. Hasil tersebut membuat Belanda mendapat banyak simpati dari para tokoh nasionalis Papua.
Belanda sendiri meyakini bahwa politik dekolonisasi semacam ini mebuat masyarakat dunia menganggap tuntutan pengembalian wilayah Papua pada Indonesia tidak berdasar dan melahirkan jalan ke arah transisi dalam perdamaian untuk mencapai dominasi neo-kolonial (seperti yang dilakukan Australia kepada Papua Nugini).
Untuk menghadapi ini, Soekarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Isinya adalah seruan untuk mempertahankan Papua dan melawan usaha Belanda dan OAP yang berusaha memisahkan Papua dari Indonesia. TRIKORA merupakan momentum yang membuat Belanda di kemudian hari terpaksa menandatangani pengembalian Papua kepada Indonesia melalui New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962.
Terpecahnya Para Elite Politik
Tetapi di bawah penjajahan Belanda, sebenarnya Papua tidak pernah mengalami taraf kehidupan yang baik. Dalam Irian Barat, Wilayah tak Terpisahkan dari Indonesia (2003) karya G. Kesselbrener ditulis ‘Belanda yang menyebabkan Papua menjadi salah satu Negara di dunia yang paling terbelakang, ………… Penyitaan tanah, penghisapan penduduk asli yang tak kenal belas kasihan, diskriminasi ras, tingkat kesehatan yang sangat rendah, isolasi budaya, hingga praktek perbudakan’. Semua itu dilakukan dari tahun 1828-1944.
Akibat kondisi ini, dunia Internasional pasca perang duni ke-II, seiring adanya sengketa antara Indonesia-Belanda, memberi tuntutan untuk meningkatkan kesejahteraan, mempercepat pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan, perbaikan birokrasi lokal, serta meningkatkan kesejahteraan Papua.
Latar belakang sejarah ini melahirkan elite politik OAP, yang memperjuangkan nasib Papua dengan cara berbeda-beda, yang terbagi menjadi pro Indonesia, pro Belanda, dan pro kemerdekaan sendiri.

Elieser Jan Bonay adalah salah satu elite pro-Indonesia yang diangkat menjadi Gubernur pertama Papua, antara tahun 1963-1964. Elieser diberhentikan menjadi Gubernur setelah menuntut diadakannya referendum hingga tuntutannya disampaikan pada forum PBB. Posisinya lalu digantikan oleh frans Kaisiepo. Tahun 1970, Elieser Jan Bonay berbalik menjadi tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menentang Indonesia dan menetap di Belanda.
Dalam penutup bukunya, John RG Djopari menjelaskan penyebab terpecahnya tujuan elite politik OAP Pertama, belanda merubah sistem dan cara penjajahan sedemikian rupa sehingga rakyat Papua sama sekali tidak merasa dijajah, malah merasa dibangun dan dipersiapkan untuk merdeka.
Di masa itu, Belanda harus menanggung defisit anggaran setiap tahun. Belanda memenuhi permintaan rakyat Papua dan tidak membuat banyak janji. Singkatnya, Belanda cukup mampu menciptakan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik di Papua.
Kedua, kebudayaan yang berbeda antara Papua dengan teritori lain Indonesia. Kondisi tersebut memicu disintergrasi kebudayaan dan mengarah pada disintegrasi politik.
Ketiga, tidak adanya rasa andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Keempat, dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, rakyat Papua sama sekali tidak terlibat dalam ikrar bersejarah tersebut. Baru pada tahun 1963 dan 1964, para pelajar Papua di Yogyakarta dan Jakarta, diarahkan untuk membuat satu pernayataan untuk mendukung Sumpah Pemuda. Oleh karena itu, secara moral rakyat Papua tidak merasa terikat dengan Indonesia. Dan kelima, adanya solidaritas yang kuat diantara bangsa Melanesia. Kelima faktor tersebut menjadi motif mendasar OAP senantiasa meperjuangkan kemerdekaan.
Discussion about this post