Oleh: Fitrah TA*
April mendatang, seluruh warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih akan berkesempatan memilih wakil-wakilnya di legislatif dan eksekutif (Pemilu Serentak). Merujuk kepada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), memberikan batasan bahwa setiap orang yang sudah berumur 17 tahun atau sudah pernah menikah diberikan hak untuk memilih (right to vote).
Pemilu kali ini akan tercatat sebagai permilu bersejarah dalam perhelatan demokrasi yang pernah dilaksanakan. Pasalnya penerapan demokrasi benar-benar langsung melampui tempat asal demokrasi dilahirkan yaitu negara Paman Sam, Amerika. Dalam pemilihan presiden, Amerika masih menggunakan sistem pemilihan tidak langsung melalui electoral votes menggunakan prinsip winner takes all.
Secara terperinci setiap warga negara akan memilih wakilnya untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR Republik Indonesia (RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Secara garis besar perubahan besar ini dimulai dari tafsir judicial review yang diajukan oleh Efendi Ghozali, Pakar Komunikasi Politik yang mengemukakan pendapat bahwa konstitusi Indonesia mengakui pemilihan umum (pemilu) hanya dilakukan sekali dalam lima tahun.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan daftar calon legislatif (Caleg) untuk DPR-RI sebanyak 7.968 dari 20 partai politik yang mengikuti Pileg 2019 sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan KPU RI Nomor 1129/PL.01.4-Kpt/06/IX/2018 tentang Daftar Calon Tetap Anggota DPR RI Pemilu Tahun 2019. Dengan rincian 4.774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan. Sebagaimana kita ketahui bahwa hanya ada 575 kursi di DPR-RI yang tersedia, itu artinya 7393 orang akan tersingkir dari ganasnya pertempuran itu.
Sementara untuk calon DPD berjumlah 807 orang kursi berasal dari 34 provinsi yang terbagi atas 671 calon laki-laki dan 136 dari kalangan perempuan. Keputusan tersebut tertuang di keputusan KPU RI Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD RI Tahun 2019. Patut dicatat bahwa hanya ada 136 kursi DPD, itu berarti 671 calon yang lain harus bersiap untuk tidak lolos ke senayan. Selain itu juga, masih ada 2207 perebutan kursi DPRD Provinsi dan 17.610 untuk kursi DPRD Kota/Kabupaten. Total keseluruhan tercatat ada 20.528 kursi di parlemen yang akan diperebutkan oleh puluhan ribu caleg yang sudah terdaftar.
Tidak bisa dipungkiri bahwa, hampir disetiap kantor-kantor, kampus-kampus, dan kampung-kampung. Setiap masyarakat mulai anak SMP, SMA, Mahasiswa hingga elit penguasa, tidak luput berbicara masalah atau wacana politk, baik politik sebagai seni dan ilmu, politik sebagai bentuk pasrtisipasi masyarakat, maupun politik sebagai strategi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dalam menghadapi pilkada dan pemilu.
Dan pasti, ketika masyarakat sudah bergabung dan berinteraksi sejatinya masyarakat tidak hanya duduk, datang dan diam. Melainkan, ada satu wacana atau isu yang diangkat atau di diskusikan untuk mencari solusinya. Oleh karena itu, wacana atau isu yang kerap mucul menjelang pemilu adalah mengenai menjamurnya isu atau tema politik populisme di Indonesia. Karena itu, pada kali ini penulis ingin membedah dan mengupas sedikit mengenai definisi, konsep, tipologi dan praktik politik populisme itu sendiri yang terjadi di masyarakat.
Politik Populisme
Populisme politik adalah kelompok elite yang membawa ide-ide dan gagasan populis dalam bidang politik untuk kebutuhan atau kepentingan memobilisasi massa sebagai strategi mendapatkan dukungan politik meraih kekuasaan.
Politik populisme adalah sekelompok partai atau elite yang mengguakan simbol, identitas, jargon atau retorika populis sebagai sarana untuk menggaet atau memobilisasi simpati masyarakat umum agar mau mengikuti ide yang disampaikan oleh aktor populis sebuah partai. Misalnya, di negara Argentina. Juan Veron. Presiden tersebut dipilih bukan karena visi-misi, narasi-narasi atau ide yang dibawakannya. Melainkan presiden itu dipilih karena karisma yang dimiliki dari seorang pemimpin itu sendiri yang mampu menghipnotis masyarakat banyak dengan menggunakan politik populisme. Juga, populisme itu muncul karena gagalnya sistem demokrasi. Seperti, elemen demokrasi adalah isu kesenjangan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran.
Jadi, populisme ini muncul sebagai transisi untuk memperbaiki sistem demokrasi dengan memobilisasi massa dengan isu-isu yang lain untuk menentang para penguasa (status quo) yang sedang memimpin. Misalnya, populisme di indonesia adalah muncul pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu salah satu ukurannya adalah, pada saat itu presiden SBY menggunakan isu seperti, menaikan gaji PNS, guru honorer, dan UMKM atau fokus meraih simpati suara kelas menengah atas di Indonesia.
Kategori populisme pada era SBY itu adalah populisme sebagai stategik politik untuk meraih simpati masyarakat banyak dengan jargon-jargon kampanye, pro rakyat, jaminan rakyat miskin, membangun sekolah dan pesantren, dll. Dengan menggunakan isu-isu atau jargon populisme tersebut presiden SBY dipilih oleh rakyat Indonesia. Kampanye pemilihan presiden 2019 semakin panas. Dua kubu, saling serang menggunakan bahasa bersayap, yang kedengarannya kasar.
Joko Widodo, yang akan bertarung kembali pada Pilpres 2019 mendatang, pernah mengucapkan “Politisi Sontoloyo”, saat menghadiri pembagian sertifikat tanah di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 23 Oktober 2018.
Dia pun pernah mengungkapkan kata “Politik Genderuwo” saat membagikan 3.000 sertifikat tanah di GOR Tri Sanja, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, pada 9 November 2018.
Sedangkan calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto pernah membuat masyarakat Boyolali panas kuping, lantaran melontarkan “tampang boyolali” saat berpidato pada acara peresmian kantor Badan Pemenangan Prabowo-Sandi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada 30 Oktober 2018.
Strategi Populisme
Kata-kata kontraproduktif, baik yang diucapkan Jokowi maupun Prabowo, sempat memantik perdebatan menyoal etika. Namun, bukan itu yang utama. Bila dicermati, Jokowi maupun Prabowo sama-sama memanfaatkan populisme sebagai strategi kampanye mereka pada Pilpres 2019. “Salah satu ciri penggunaan populisme adalah gemar memakai bahasa yang mudah dimengerti oleh publik,” kata dosen Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran dan President University Teuku Rezasyah, ketika dihubungi, Rabu (21/11).
Menurut Rezasyah, kata-kata metafora seperti “Sontoloyo”, “Genderuwo”, ataupun “Tampang Boyolali”, merupakan penggunaan bahasa populis. Meski secara etika dipertanyakan.
Di dalam bukunya, Budi Hardiman memaparkan, populisme merupakan sebuah antipolitik. “Alasannya, pertama, populisme naik ke panggung politik bukan dengan gerakan rasional, tetapi dengan slogan-slogan dan alasan-alasan sentimental untuk memancing emosi kerumunan,” tulis Budi Hardiman dalam Demokrasi dan Sentimentalitas.
Kedua, menurutnya, populisme politik disempitkan kepada figur pemimpin. Sehingga, politik tak lebih daripada gerakan yang terkait figur itu. Dengan demikian, fenomena politik populisme yang dilakukan oleh elit-elit partai dan politisi di indoesia adalah sangat mengkhawatirkan dan merugikan kebutuhan masyarakat dan merugikan eksistensiatau kedaulatan negara indonesia dimasa depan. Karena politik populisme di indonesia ini adalah cara atau strategi sekelompok elit penguasa atau politisi partai yang menggunakan simbol, jargon atau retorika populis sebagai sarana untuk memobilisasi simpati masyarakat agar mau mengikuti ide yang disampaikan oleh aktor populis tersebut.
Politik populis ini hanya sebatas kepentingan jangka pendek untuk meraih dukungan atau legitimasi dari masyarakat untuk mendapatkan kekuasaan. Konsekuensi dari populisme ini adalah karena banyaknya jargon-jargon atau retorika politik pada saat kampanye, ketika pemimpin atau presiden tersebut dipilih maka akan sulit untuk memenuhi semua visi-misi, janji dan proramnya untuk direalisasikan selamat masa jabatannya berakhir.
Maka dengan kejadian fenomena itulah, muncul gerakan populisme dari bawah ke atas seperti teori (Hadiuz dan Robinson, 2017), yang mengatakan bahwa, fenomena populisme lahir karena kritik atas sistem demokrasi representatif yang dianggap kurang membawa maslahat bagi rakyat. Populisme sebagai startegik politik untuk melawan penguasa (status quo).
*)Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah 2015, Fakultas Agama Islam, Univesitas Muhammadiyah Malang
Discussion about this post