Oleh: Iqbal Darmawan*
Status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 telah resmi dicabut menyusul rilis resmi Federation Internationale de Football Association (FIFA) pada rabu (29/3) malam. Keputusan ini juga telah disampaikan oleh Presiden PSSI Erick Thohir setelah kepulangannya dari Doha setelah bertemu Presiden FIFA Gianni Infantino. Dalam rilis FIFA tersebut, FIFA mendasarkan pembatalan terhadap situasi terkini di Indonesia. Besar kemungkinan situasi yang dimaksud adalah maraknya arus penolakan kedatangan tim nasional Israel oleh banyak kalangan.
Banyak pihak mensyukuri keputusan ini. Pihak-pihak yang menolak kedatangan Timnas Israel menganggap bahwa integritas Indonesia sebagai negara yang konsisten melawan kolonialisme terjaga. Tetapi banyak juga yang begitu menyayangkan.
Pihak-pihak yang menerima kedatangan Timnas Israel menganggap keputusan ini berarti mengubur dalam-dalam mimpi bangsa akan olahraga yang lebih maju, dan berprestasi di kancah Internasional. Jika memperhatikan dinamika yang terjadi, bukan tidak mungkin hal ini akan membawa implikasi sosial dan politik yang luas bagi masyarakat Indonesia.
Melihat Duduk Perkara Isu Penolakan Kedatangan Timnas Israel Ke Indonesia
Pihak penolak kedatangan Timnas Israel melihatnya sebagai representasi negara kolonial Israel. Menerima Timnas Israel berarti juga memberikan ruang eksistensi bagi penjajahan seperti yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
Mereka berdiri atas dasar argumentasi bahwa sikap Indonesia harus selaras dengan UUD 1945. Maka harus menjunjung kemerdekaan segala bangsa dan menolak segala bentuk penjajahan di atas dunia. Di sisi yang lain, sikap ini dianggap perlu untuk menunjukkan konsistensi dukungan terhadap Palestina dan Indonesia pun tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Sedangkan pihak yang menerima berdiri atas dasar argumentasi bahwa domain negara dan sepak bola dunia diatur oleh regulasi yang berbeda. Yang satu oleh Piagam PBB dan konstitusi Negara dan satunya oleh Statuta FIFA. Maka tidak tepat mencampur adukkan domain politik kenegaraan dengan olahraga, sesuai dengan Statuta FIFA pasal 13 dan 17.
Justru seharusnya helatan Piala Dunia U-20 dapat dimaksimalkan untuk meningkatkan citra Indonesia di kancah dunia. Selain itu penolakan terhadap Timnas Israel juga tidak akan berdampak apapun terhadap hubungan indonesia dengan Palestina, sesuai dengan pernyataan Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al-shun.
Implikasi Sosial
Pro kontra tersebut menjadi dialektika konflik yang menyiratkan benturan antara pihak mendukung dengan pihak yang menolak kedatangan Timnas Israel. Konflik ini dilekatkan pada penilaian masyarakat atas pertaruhan kedaulatan Negara Indonesia, yang saat itu masih berstatus tuan rumah.
Lokus narasi yang bergulir yaitu perlunya Indonesia menjaga komitmen terhadap amanah UUD 1945 dan perjuangan bangsa Palestina. Benturan ini seharusnya tidak demikian mengingat perbedaan status antara Israel sebagai negara (State Actor). Sedangkan Timnas Israel (Non State Actor) yang mewakili asosiasi sepak bola Israel di bawah naungan FIFA. Kedua aktor tersebut memiliki ranah gerak yang berbeda sehingga tidak tepat jika serta merta mencampur adukkan domain politik kenegaraan dengan perhelatan sepak bola FIFA.
Pro kontra ini juga syarat dengan nuansa penguatan Identitas di masing-masing pihak. Marak terdengar narasi bahwa Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia yang harus selalu menjaga solidaritas terhadap saudara-saudara muslim di Palestina. Identitas kelompok muslim menguat, dipertentangkan dengan kelompok yang dengan tangan terbuka menerima kedatangan Timnas Israel.
Lewis Coser memandang konflik sebagai proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial, yang dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua kelompok atau lebih. Konflik memiliki fungsi positif dalam hal penguatan koordinasi atas kesamaan identitas dengan adanya pihak yang bertentangan. Jika mengacu pada penjelasan tersebut, wajar jika muncul perhatian dan mobilisasi dari kelompok muslim dalam merespon rencana kedatangan Timnas Israel.
Terlebih, Indonesia dan Palestina memiliki kesamaan dalam identitas agama dan budaya ketimuran. Hal ini positif untuk lebih menggeliatkan dukungan terhadap perjuangan bangsa Palestina. Tetapi bersamaan dengan itu, situasi ini justru rawan dimanfaatkan untuk memunculkan sentimen identitas berdasar sosio-historis, terkhusus bagi kelompok muslim, yang dapat diwujudkan dalam bentuk aksi protes.
Situasi ini dapat diruntut dengan alur pertama, pejabat pemerintah yang santer melakukan penolakan adalah gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Gubernur Bali I Wayan Koster.
Adapun yang kedua, melansir dari CNN (28/03/2023) terkait statement Sekjen Partai PDIP Hasto Kristiyanto meliputi: (a) Penolakan Timnas israel bukan persoalan agama, melainkan persoalan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa; (b) klaim tersebut muncul berdasarkan kesadaran ideologis dan historis terhadap Palestina dengan melihat berbagai dokumen dokumen tentang Konferensi Asia Afrika yang mendukung kemerdekaan Palestina; (c) Manfaat (penolakan) Wayan Koster dan Ganjar Pranowo muncul dari suatu kesadaran ideologi sebagai kader partai untuk menjaga Marwah Indonesia.
Nira Yuval-Davis mendefinisikan politik identitas sebagai sejenis proyek khusus politik kepemilikan, artinya rasa kepemilikan kepada satu kelompok identitas atau lebih, dan bukan yang lain. Kunci dari pembentukan politik identitas adalah identifikasi atas dasar kategori yang akan dipakai. Proses pembentukan identitas juga melibatkan deidentifikasi dari kategori yang lain. Identitas harus dipahami secara relasional begitupun dengan politik identitas. Dan jantung politik identitas adalah persoalan pengakuan.
Munculnya politik identitas dapat terjadi melalui beberapa alur. Pertama, momentum dalam kondisi yang dibuat. Kedua, pembentukan rasionalisasi sebagai legitimasi melalui isu sebagai sarana identifikasi membentuk identitas. Ketiga, mencapai tujuan citra rasa kepemilikan kepada satu kelompok identitas atau lebih.
Bila di kontekskan terhadap situasi di atas, alur terbentuknya politik identitas: Pertama, polemik penolakan Timnas Israel untuk datang ke Indonesia. Kedua, statement kader-kader dan partai PDIP dalam hal konsistensi membela Palestina sesuai amanat UUD 1945. Ketiga, Memungkinkan Pembangunan Citra dan deidentifikasi Partai PDIP dalam menggaet rasa kepemilikan atas simpati kelompok muslim di Indonesia sebagai konstituen, tentunya tanpa menghilangkan asas prinsip nasionalisme kebangsaan dengan dalih tak sekedar persoalan agama namun persoalan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa.
Apabila dilihat dari sudut pandang politik begitu memungkinkan isu ini dimanfaatkan sebagai momentum untuk menampilkan citra positif dalam mendulang simpati kelompok muslim. Sebagai konstituen, mengingat Indonesia akan menghadapi momentum pemilu di tahun depan. Isu ini menjadi keruh dikarenakan pencampuradukan antara domain politik dan domain olahraga.
Semestinya semua pihak mendudukkan terlebih dahulu perbedaan domain negara dengan asosiasi Sepak bola. Tentu dengan batalnya status sebagai tuan rumah, Indonesia akan merugi dalam banyak hal. Tidak hanya dalam olahraga, melainkan juga politik, sosial dan ekonomi.
Pada akhirnya perlu kiranya mengetahui duduk permasalahan suatu isu dengan melihat posisi, konteks, dan keterhubungan tiap masalah yang ada. Agar isu ini tidak justru meningkatkan eskalasi konflik yang bakal merugikan banyak pihak.
Penolakan atas kolonialisme Israel terhadap Palestina memang perlu dilakukan secara konsisten, tetapi dengan cara dan di ruang yang tepat. Piala Dunia U-20 adalah ruang sepak bola yang penyelenggaraan dan mekanismenya diatur oleh Statuta FIFA, bukan oleh Konstitusi Indonesia maupun Piagam PBB.
Tetapi nasi sudah menjadi bubur, status tuan rumah telah resmi dicabut. Maka kini jangan sampai tenggelam dalam narasi isu yang memungkinkan untuk memecah belah masyarakat menjadi konflik golongan dengan sumbu sentimen identitas demikian. Perlu antisipasi juga agar isu ini tidak dimanfaatkan untuk sekadar kepentingan politik pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab.
*Penulis adalah Peneliti Renaissance political research and studies (RePORT) Institute
Instagram: @juluwangi
Discussion about this post