Oleh: Syahrul Ramadhan*
Sejak zaman kolonial perampasan tanah terus berlangsung. Praktek serta pola yang dilakukan dalam proses perampasan tanah milik rakyat selalu sama. Adapun yang membedakan yaitu produk kebijakan. Pada zaman kolonial perampasan tanah dilakukan melalui kebijakan Agrarische Wet, sementara hari ini perampasan tanah melalui kebijakan-kebijakan tertentu yang memuluskan investor untuk mendapatkan tanah milik rakyat. Dari kebijakan tersebut dijadikan sebagai landasan oleh penguasa dalam memuluskan perampasan tanah milik rakyat.
Permasalahan yang kerap kali terjadi antara pihak penguasa dan rakyat merupakan problem yang harus diperhatikan secara serius. Perampasan tanah terjadi diakibatkan adanya kepentingan dari dua aktor besar di negeri ini yaitu korporasi dan pemerintah, maka tidak heran kenapa perampasan tanah terus terjadi dan tidak pernah terselesaikan. Pemerintah dan korporasi memandang tanah sebagai sumber ekonomi, sehingga banyak tanah masyarakat yang dirampas demi memenuhi hasrat pembangunan yang menguntungkan kedua aktor tersebut.
Melalui Undang-Undang (UU) No 02 Tahun 2012 Tentang “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum” menjadi tameng pemerintah dalam merampas tanah milik rakyatnya. Hal tersebut diperparah dengan hadirnya UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 pasal 125 sampai 135 yang mengatur tentang Bank Tanah. Adanya konsep Bank Tanah dari pasal tersebut akan banyak menimbulkan kerugian dibandingkan keuntungan bagi rakyat Indonesia.
Dari kedua UU di atas pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2021 Tentang “Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”. Ketiga aturan itu menunjukkan bahwa pemerintah sedang berupaya membuat rakyatnya terus dihantui oleh perampasan tanah secara paksa, dengan dalih pemerataan pembangunan dan peningkatan perekonomian.
Dalih tersebut diperkuat dengan banyaknya Proyek Strategis Nasional (PSN) yang direncanakan oleh pemerintah jokowi-ma’ruf, adapun jumlah proyek sebanyak 208 dan 10 program PSN Tahun 2020 sampai 2024. Maka tidak heran perampasan tanah terus berlangsung secara membabi buta.
Melalui aparat beserta koloninya, negara terus memaksa rakyat supaya merelakan tanah mereka untuk dirampas. Jika rakyat melawan, maka aparat tidak segan-segan melakukan tindakan represifitas, intimidasi dan kekerasan dengan menggunakan moncong senjatanya.
Adapun PSN yang telah dirancang oleh pemerintah antara lain kawasan industri, food estate, 10 destinasi wisata, ibu kota baru serta proyek lainnya. Perampasan tanah akan terus berlangsung selama PSN belum terealisasikan secara keseluruhan. Sudah banyak rakyat yang menjadi korban akibat konflik agraria di Indonesia, namun rezim tetap saja memaksakan kehendak mereka demi keuntungan yang besar tanpa mempedulikan nasib rakyatnya.
Berdasarkan Data Konsorsium Agraria (KPA) 2021, konflik agraria yang terjadi di Indonesia sebanyak 207 kasus dengan korban kartu keluarga sebanyak 198.895. Konflik agraria terjadi di berbagai sektor, diantaranya sektor perkebunan, infrastruktur, pertambangan, properti, kehutanan, pesisir, fasilitas militer hingga sektor pertanian.
Pemerintah menggunakan aparat sebagai tameng negara dalam rangka menyukseskan kepentingan PSN yang berujung represifitas. Seperti yang terjadi di Desa Kalasey Dua, Daerah Sulawesi Utara yaitu penggusuran paksa lahan perkebunan rakyat. Sehingga menyebabkan banyaknya tindakan represifitas, intimidasi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang diakibatkan tindakan brutal dari aparat ke rakyat.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Manado, aparat yang diturunkan oleh rezim dalam kasus di atas sebanyak 100 anggota dan dibantu kurang lebih 40 anggota Satpol PP. Tindakan yang dilakukan oleh aparat dan satpol PP memakan korban luka-luka sebanyak 8 orang petani dan 46 warga ditangkap secara sewenang-wenang. Hal ini merupakan cerminan bobroknya negeri ini.
Kasus perampasan tanah yang terus menambah daftar hitam konflik agraria di Indonesia. Dengan banyaknya agenda PSN menunjukkan bahwa rezim sedang berpihak kepada kepentingan para oligarki, mereka seolah-olah menutup mata terhadap korban yang terus berjatuhan, negara Indonesia yang dikenal dengan negeri agraris yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah seolah-olah tidak bisa dinikmati oleh rakyatnya. Jika praktik perampasan tanah terus terjadi, maka jangan harap rakyat Indonesia akan mendapatkan keadilan dan kesejahteraan di negerinya sendiri.
*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
Instagram: @syahrulramaddhaan
Discussion about this post