Globalisasi tak serta merta menciptakan perdamaian. Sebaliknya, sebagaimana dalam Resolusi Damai Konflik Kontemporer (2000) karya Hugh Miall, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse, era multipolar di abad 21 kini justru ditandai oleh perkembangan variasi konflik dan perang.
Mereka mencatat kemunculan “perang baru” ini didasarkan pada komunalisme yang mewujud perang antar suku, ras dan agama (SARA). Baik dalam lingkup satu atau antar negara. Perang antar negara tetap berlaku, tetapi perang SARA adalah sorotan utama. Perang baru merupakan hasil konsolidasi kepentingan etnis dengan tujuan kekuasaan.
Perang pun berkembang dengan melibatkan kelompok yang lebih luas. Seperti para-militer, kriminal dan tentara anak-anak, dengan mode lebih beragam. Perang Nagorno-Karabakh yang tak kunjung usai hingga kini adalah salah satu contohnya.
Sebagai jenis perang baru, konflik militer ini melibatkan kedaulatan Republik Nagorno-Karabakh (sekarang dikenal dengan Republik Artsakh), Republik Azerbaijan dan Republik Armenia. Juga konflik etnis yang melibatkan etnis Azeri dan Armenia.
Ladang Minyak di Baku
Nagorno-Karabakh, Azerbaijan dan Armenia sama-sama mendiami bagian Kaukasus Selatan. Sedangkan Perang Nagorno-Karabakh berpusat di wilayah Karabakh yang menjadi bagian Republik Artsakh. Kendati sebagian besar wilayahnya masuk teritori Republik Azerbaijan, yang mayoritas populasinya adalah etnis Armenia.
Nagorno-Karabakh sendiri sejak lama menjadi wilayah sengketa. Persia, Arab, Seljuk, Mongol, Turki dan Rusia silih berganti mempengaruhi dalam bentuk rezim. Mereka mewariskan sengketa wilayah, demografi serta ekonomi-politik yang pelik di kemudian hari.
Nama Nagorno-Karabakh sendiri diresmikan saat kekuasaan Uni Soviet. Sematan ini merujuk pada kondisi geografis yang berarti Pegunungan Karabakh. Sedangkan nama Karabakh diserap dari bahasa Turki dan Persia yang berarti kebun anggur hitam.
Di sisi lain etnis Armenia menyebutnya Artsakh atau Ashkharatsuits. Mereka mengacu pada wilayah kekuasaan kerajaan Armenia di masa silam. Wilayahnya pun tercantum secara resmi pada peta Armenia Raya hingga abad ke-7.
Sementara Azerbaijan juga menganggap Nagorno-Karabakh sebagai bagian negaranya, karena meyakini nenek moyangnya berasal dari sana.
Saat Nagorno-Karabakh berada di bawah kekaisaran Rusia, tepatnya setelah ladang minyak ditemukan di Baku (ibu kota Azerbaijan) pada 1870-an, banyak orang Armenia dari Nagorno-Karabakh, Zangezur dan provinsi timur imperium Utsmani bermigrasi ke Baku. Mereka berbondong-bondong berebut pekerjaan di sektor industri perminyakan, tekstil dan tembakau.
Sampai tahun 1990-an, pekerja Rusia dan Armenia mengisi lebih banyak pekerjaan di sektor industri dibandingkan etnis Azeri, yang sejak awal mendiami Baku, yang tersingkir menjadi tenaga kerja kasar. Situasi ini memicu reaksi anti Armenia dari Azeri.
Pasca kekaisaran Rusia tumbang di Perang Dunia I dan Revolusi Bolshevik 1917, Armenia dan Azerbaijan menjadi negara merdeka dan menjadi republik bertetangga. Tetapi sengketa wilayah menjadi masalah selanjutnya bagi kedua negara.
Setelah Uni Soviet mengambil alih kuasa Kaukasus Selatan, konflik menemui babak baru. Pemerintah pusat Uni Soviet menjadikan Nagorno-Karabakh sebagai oblast. Serta memasukkannya sebagai bagian Republik Sosialis Soviet (RSS) Azerbaijan, kendati 95% populasinya adapah etnis Armenia.
Namanya secara administratif menjadi Oblast Otonom Nagorno-Karabakh (OONK). Oblast merupakan pembagian semacam daerah atau provinsi di bawah republik. Sementara status otonom diberikan karena cakupan wilayahnya yang kecil, serta keberadaan minoritas etnis Armenia yang menjadi mayoritas di antara etnis Azeri di Nagorno-Karabakh.
Pada 1986, Mikhail Gorbachev memimpin Uni Soviet dengan mencetuskan beberapa program: Glasnot, Perestroika dan Demokratizatsiya, serta menjanjikan otonomi dan penghargaan terhadap kearifan lokal yang lebih besar terhadap masyarakat non-Rusia.
Ronald Grigor Suny dalam The Armenians: Past and Present in The Making National Identity (2005) mencatat program ini memicu perkembangan gerakan etno-nasionalisme. Orang-orang Armenia di Yerevan (ibu kota Armenia) dan Nagorno-Karabakh memanfaatkan situasi tersebut dengan mengorganisir gerakan resistensi terhadap Azerbaijan. Di tahun itu juga Armenia mengajukan klaim atas wilayah Nagorno-Karabakh kepada pemerintah pusat Uni Soviet.
Per 20 Februari 1988, Dewan Nasional OONK merespon hal ini dengan meminta RSS Azerbaijan melakukan transfer wilayah OONK kepada RSS Armenia. Juga agar Uni soviet turun tangan untuk menengahi prosesnya.
Konflik makin bereskalasi. Demonstrasi kian banyak terjadi. Di bulan dan tahun yang sama terjadi 2 tragedi: Askeran Clash yang menewaskan 2 orang etnis Azeri, dan Pogrom Sumgait yang menewaskan 26 Armenia dan 6 Azeri.
Sekira 136.100 Armenia dan 47.500 Azeri menetap di OONK Pada 1989. Tanda-tanda keruntuhan Uni Soviet yang semakin terbaca dimanfaatkan oleh RSS Armenia untuk Menyusun agresi. Etno-nasionalisme kian berkembang, hingga pasukan Armenia berhasil menganeksasi Nagorno-Karabakh, dengan senjata rampasan dari Tentara Merah Uni soviet. Sebagian besar teritori barat daya Azerbaijan berhasil diduduki.
Hasilnya, Pada 1 Desember, Dewan Tertinggi RSS Armenia dan Dewan Nasional OONK mendeklarasikan integrasi Nagorno-Karabakh dengan RSS Armenia. Azerbaijan tak mau kalah. Pada 12 Januari 1990, massa Azeri bergerak dari rumah ke rumah Armenia. 250.000 Armenia melarikan diri dari Baku. Sementara 50.000 lainnya yang bertahan menjadi target penyerangan, pemerkosaan dan mutilasi.
Per 23 Agustus 1990, Armenia mendeklarasikan kemerdekaan dengan memisahkan diri dari Uni Soviet. Bahkan setelah Uni Soviet runtuh, Republik Armenia memberikan kemerdekaan kepada Nagorno-Karabakh pada 2 September 1991.
Karena itu, kendati secara de jure telah merdeka, tetapi secara de facto Nagorno-Karabakh bersama 7 distrik di sekitarnya dikuasai Armenia. Luas wilayahnya juga melebar dari 4.400 km² menjadi 7000 km².
Pusaran Kepentingan
Telah lebih seabad sejak ladang minyak di Baku, yang bersebelahan dengan Nagorno-Karabakh, ditemukan dan menyulut konflik ekonomi-politik antara etnis Azeri dan Armenia. Jutaan nyawa telah dikorbankan, hingga menginisiasi dunia internasional untuk menyikapi.Tetapi tentu keterlibatan negara-negara lainnya dalam konflik ini tak lepas juga dari kepentingan ekonomi-politik.

Dalam perkembangannya, menjaga atau merebut jalur keamanan pipa gas dan minyak dari Azerbaijan, yang meliputi jalur Baku-Tbilisi (ibu kota Georgia)-Ceyhan (Turki) dan jalur Baku-Supsa (pelabuhan di Laut Hitam Georgia) adalah pusaran national interest dari masing-masing pihak yang terlibat. Pusaran ini makin diperumit dengan kaitan masing-masing negara di aspek sejarah dan budaya.
Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) membentuk Minsk Group pada Maret 1922. Rusia, Amerika Serikat (AS) dan Prancis didaulat sebagai Co-Chairs OSCE Minsk Group, untuk mengupayakan perdamaian antara Azerbaijan dan Armenia, sesuai dengan norma dan hukum internasional.
Tergabung juga Azerbaijan dan Armenia sebagai pihak yang berkonflik, serta Turki, Jerman, Belarusia, Italia, Swedia dan Finlandia.
Rusia dan Turki mengambil peran yang paling aktif dengan mendukung Azerbaijan. Di luar OSCE Minsk Group, Iran juga mengambil inisiatif dengan mendukung Armenia.
Sementara, jelas, Armenia mendukung kemerdekaan Nagorno-Karabakh. Dan Azerbaijan menolak dengan tujuan mempertahankan warisan teritori dari Uni Soviet yang menjadikan 30% sumber energinya berasal dari Nagorno-Karabakh sejak 1923.
Rusia, di balik dukungan terhadap Azerbaijan, juga ingin meneruskan pengaruh yang ditinggalkan Uni Soviet, memiliki kepentingan bisnis senjata, yang menjadi komoditas utamanya. Hal ini dapat dicermati pada rentang 2007-2011 Rusia memfasilitasi 55% senjata Azerbaijan dan 96% dari Armenia.
Pengaruh ini dimanfaatkan Rusia untuk mendorong Azerbaijan menutup jalur pipa gasnya secara temporer dengan alasan keamanan. Jalur Baku-Tbilisi-Ceyhan dan Baku-Supsa adalah jalur alternatif utama untuk membawa pasokan energi di wilayah Caspian melalui jalur Kaukasus. Sehingga Uni Eropa diharapkan dapat kembali mengandalkan pasokan energi melalui Belarussia dan ukraina, yang selama ini menjadi jalur utama Rusia.
Sedangkan Turki mendukung Azerbaijan karena memiliki kedekatan sejarah dan budaya, serta sejak lama memiliki ikatan bisnis minyak dan gas yang kuat. Hal ini juga diperkuat oleh faktor kesamaan menjadikan Armenia sebagai lawan, sejak pembantaian dan deportase etnis Armenia pada akhir keruntuhan imperium Ottoman lebih seabad yang lalu.
Di lain sisi, Iran mendukung Armenia, selain karena populasi negaranya yang banyak berasal dari etnis Armenia, ingin memperkuat pengaruh di Eropa dalam bidang pasar listrik dan gas alam, yang menjadi komoditas andalannya.
Pada 26 Juli 1994 Rusia menginisiasi perjanjian damai melalui Protocol Bishek. Perjanjian multilateral ini ditandatangani oleh Rusia, Azerbaijan, Armenia dan Nagorno-Karabakh. Beberapa forum internasional dan perjanjian damai selanjutnya juga dicetuskan, tetapi tidak menghasilkan resolusi konflik yang signifikan.
Perang yang terjadi selama 6 minggu sejak 27 September 2020, setidaknya menjadi ukuran. Kali ini jumlah nyawa yang merenggang dari Azeri dan Armenia, baik dari kalangan sipil maupun militer, hampir menyentuh angka 5.000 orang.
Perjanjian damai pun kembali diteken per 10 November. Vladimir Putin (Presiden Rusia), Ilham aliyev (Presiden Azerbaijan) dan Nikol Pashinyan (Perdana Menteri Armenia) menyepakati dilaksanakannya gencatan senjata, komitmen menjaga perdamaian, pengembalian beberapa wilayah (termasuk Shusa, salah satu wilayah pemukiman strategis) kepada Azerbaijan, pertukaran tahanan dan pengungsi, serta pembangunan sarana komunikasi dan transportasi Azerbaijan-Armenia.
Perang Nagorno-Karabakh adalah salah satu perang paling berkepanjangan. Dengan pusaran kepentingan ekonomi-politik yang diciptakan oleh negara-negara yang terlibat, agaknya, sama seperti sebelumnya, tak perlu waktu lama untuk kembali mendapatkan kabar gejolak perang di salah satu tanah Kaukasia yang subur akan energi alam ini.
Discussion about this post