Oleh: Zulfiana Miftahul Jannah*
Zaman modern menunjukkan kemajuan teknologi yang tentu tidak lepas dari perkembangan industrialisasi ala Barat. Atas nama pembangunan dan kemajuan, suatu negara yang baru merdeka mengadopsi semua tanpa batas.
Mengutip perkataan Vandana Shiva, seorang aktivis perempuan yang menginisiasi konsep keadilan sosial berwawasan ekologis mengatakan bahwa “Pemikiran dan kebudayaan barat dikuasai oleh sistem kapitalisme-patriarki sehingga mengasingkan manusia dan alam’’. Maksudnya adalah sistem nilai yang diterapkan tidak peduli terhadap kelestarian lingkungan dan penindasan terhadap kaum perempuan.
Hal ini dikarenakan kapitalisme-patriarki mengedepankan materialisme yang orientasi utamanya menghasilkan laba dan menumpuk modal setinggi-tingginya sehingga hal ini menjadi problematika yang kompleks terhadap perempuan dan alam.
Mengutip sebuah ungkapan Aleta Ba’un atau biasa dikenal Mama Aleta, menyatakan bahwa ‘’Tanah tidak melahirkan tanah. Manusia akan bertambah banyak, namun tanah akan semakin sempit’’
Mama Aleta ialah perempuan revolusioner yang mendedikasikan diri berjuang menegakkan keadilan mempertahankan alam sebagai sumber kehidupan dengan mengusir perusahaan-perusahaan pertambangan yang mengeksploitasi wilayah adatnya.
Baginya, batu, air, pohon adalah tempat asal usul leluhur. Kita tahu bahwa tanah tempat kita berpijak tidak akan bertambah banyak dari jumlah awalnya, melainkan semakin berkurang dengan didirikannya berbagai macam infrastruktur, mulai dari jalan, mall, pabrik-pabrik yang menjulang tinggi dan lain sebagainya.
Hal itu tidak seperti manusia yang mampu bertambah banyak karena pada dirinya dalam hal ini perempuan, memiliki rahim yang mampu untuk melahirkan generasinya sehingga bertambah banyak.
Perempuan dan lingkungan menjadi isu menarik untuk kita teliti dan pahami bersama. Kita akan berbicara tentang ketidakadilan, eksploitasi, diskriminasi dan penindasan.
Disadari atau tidak, segala tindakan perempuan yang terkonstruk kepada kita dan kemudian menjadi budaya sangatlah berhubungan erat dengan alam. Akhirnya terjadi kesamaan perilaku dominasi antar perempuan dan alam.
Manusia dan alam seperti mata air yang memberikan penghidupan atau rantai makanan yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perempuan dijadikan sebagai representasi dari alam dan sumber kehidupan, sebagaimana tubuh perempuan ialah lambang kesuburan.
Konstruksi sosial yang kemudian menjadi budaya memposisikan perempuan sebagai pekerja domestik dan juga menjadi subjek atas penggunaan bahan-bahan hasil dari eksploitasi alam itu sendiri.
Jika kita bandingkan konteks kecantikan dan ketampanan misalnya, maka konsep kecantikanlah yang lebih menonjol atau lebih dominan.
Konstruksi kecantikan yang melebihi batas kewajaran melahirkan berbagai macam produk yang mengikat serta melahirkan satu paradigma baru tentang konsep kecantikan pada perempuan itu sendiri.
Sebab itulah yang selanjutnya menjadikan perempuan sebagai pengguna alat-alat kecantikan dari ujung rambut sampai ujung kaki yang tak pernah selesai dalam penilaiannya, di mana rekonstruksi kecantikan itu sendiri selalu berubah seiring dengan perubahan itu.
Bahkan produk-produk kecantikan juga berubah dan tidak luput, produk-produk itu bersumber dari alam. Misal, soal fisik perempuan sebagai penilaian kecantikan yang sifatnya universal kemudian dispesifikasikan dengan penggunaan bahasan-bahan yang dilekatkan pada tubuhnya.
Belum lagi peran kerja yang menempatkan perempuan pada kerja-kerja domestik, yakni urusan rumah tangga pengelolaan pangan mulai dari penggunaan air, makanan, dsb.
Degradasi Kesadaran Manusia terhadap Alam
Penebangan pohon secara liar dan eksploitasi yang dilakukan oleh kaum pemodal dengan prinsip meraup keuntungan sebanyak-banyaknya sudah tentu menghancurkaan ekosistem alam.
Hutan yang dibabat habis akan merusak habitat burung sehingga mereka tidak tahu di mana harus tinggal, air hujan yang tidak meresap ke tanah, dan kurangnya proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida.
Hal lain dalam degradasi hutan yang terjadi di Indonesia telah terjadi dengan luasan yang sangat besar. Berdasarkan hasil analisis Forest Watch Indonesia (2015:5), laju deforestasi di Indonesia selama tiga periode ini mengalami penurunan akibat semakin menipisnya kawasan hutan Indonesia, yakni 1,8 juta ha/tahun dalam kurun waktu 1985-1997, sekitar 2,84 juta ha/tahun dalam kurun waktu 1997-2000, sekitar 1,51 juta ha/tahun selama tahun 2000-2009.
Lalu, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015), laju deforestasi pada tahun 2009-2011 sebesar 0,45 juta ha/tahun , tahun 2011-2012 sebesar 0,61 juta ha/tahun, tahun 2012-2013 sebesar 0,73 juta ha/tahun dan tahun 2013-2014 sebesar 397,4 ribu ha/tahun.
Hal ini tentu mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Penyebab dari kesemuanya tentu tidak lain adalah penebangan liar (illegal longging), kebakaran dan peralihan fungsi hutan.
Sementara pemerintah masih saja sibuk memfokuskan pada pembangunan infrastruktur yang pada kenyataannya juga berkoalisi dengan negara pemodal.
Melihat degradasi yang terjadi pada hutan di Indonesia tentu oknum-oknumnya tidak lain adalah para pemodal dengan prinsip akumulasi keuntungan sebanyak-banyaknya.
Tanpa sadar masyarakat kita hidup bermewah-mewahan dengan konsumsi tinggi dan padat, sebagaimana konstruk gaya ala barat (tren dan modernitas) yang ditanamkan pada masyarakat kita.
Misal, mobil pribadi dalam satu keluarga masing-masing anggota, rumah bertingkat-tingkat, pesawat pribadi, televisi dan aksesoris perumahan dan kecantikan semua ala barat.
Belakangan ini kita ramai melihat berbagai macam gerakan pembebasan perempuan atau gerakan berkeadilan gender diberbagai golongan. Dalam tataran mahasiswa misalnya, lembaga intra kampus dalam aliansi BEM seluruh Indonesia membentuk forum perempuan BEM-SI, organisasi kepemudaan lainnya pun demikian termasuk IMM dengan gerakan IMMawatinya, HMI dengan Kohatinya, PMII, GMNI dan lain sebagainya.
Gelombang semangat yang cukup besar dalam memperjuangkan nasib kaum perempuan atas ketertindasannya sungguh nyata disadari. Berbagai macam cara telah dilakukan, mulai dari edukasi, advokasi, pendampingan, pemberdayaan perempuan dsb, telah mengalami peningkatan yang cukup baik.
Sekali lagi saya tegaskan! Terjadi kesamaan perilaku yang bermuara dari sebuah konsepsi pada sistem dominasi laki-laki terhadap perempuan dan dominasi laki-laki terhadap alam, sehingga menjadikan syarat akan ketidakadilan, eksploitasi, diskriminasi, dan penindasan secara terpaksa dilahirkan hanya untuk kalkulasi untung-rugi semata.
Kita beramai-ramai memperjuangkan nasib kaum perempuan yang tertindas, dan dengan kondisi yang sama, eksploitasi alam secara besar-besaran juga perlu diperjuangkan. Dengan demikian, memperjuangkan kebebasan perempuan juga berarti memperjuangan pemberhentian eksploitasi dan penindasan terhadap alam untuk bumi yang lestari, hijau dan berseri.
*Penulis adalah Mahasiswi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fisip,
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
IG/Twitter: @miftapandora/@miftapandora
Discussion about this post