Oleh: Hafid Adim Pradana*
Piala Dunia Qatar yang berlangsung sejak 20 November 2022 telah menyelesaikan seluruh laga perdana di grup A-H. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat 32 negara yang berpartisipasi pada putaran final Piala Dunia FIFA edisi ke-22 ini. Masing-masing negara berhak memainkan tiga pertandingan di babak penyisihan grup guna memperebutkan tempat di babak gugur.
Hanya dua tim teratas di setiap grup yang berhak lolos ke babak gugur. Meskipun beberapa negara menelan kekalahan dalam laga perdana penyisihan grup, peluang untuk masuk ke babak gugur belum sepenuhnya tertutup. Mengingat masih ada dua pertandingan yang harus dimainkan.
Kejutan Tim Semenjana
Dari berbagai pertandingan yang telah dimainkan, terdapat beberapa laga yang bertolak belakang dengan prediksi. Tiga diantaranya melibatkan Korea Selatan, Maroko, Tunisia yang berhasil menahan imbang lawan masing-masing dengan skor kacamata.
Sebelum pertandingan banyak yang menyebut bahwa ketiga negara tersebut akan menelan kekalahan pada laga perdana penyisihan grup. Mengingat Uruguay, Kroasia maupun Denmark merupakan negara yang mempunyai keunggulan kualitas pemain. Berbeda dengan Korea Selatan, Maroko dan Tunisia yang sejak awal hanya dianggap sebagai tim semenjana.
Kejutan yang tidak kalah besar juga dihadirkan oleh Arab Saudi dan Jepang. Tidak seperti Maroko dan Tunisia, kedua negara representator Asia tersebut berhasil mengalahkan lawan mereka masing-masing. Arab Saudi sukses mempermalukan Argentina yang diperkuat salah satu pemain terbaik dunia, Lionel Messi.
Sementara Jepang membuat Jerman kembali menelan kekalahan di pertandingan perdana babak penyisihan grup. Baik Arab Saudi maupun Jepang, keduanya sama-sama menang dengan skor 2-1 atas lawan-lawan mereka. Uniknya, hal yang identik juga tampak pada proses bagaimana Saudi Arabia dan Jepang memenangkan pertandingan, di mana pada babak pertama kedua negara sama-sama tertinggal terlebih dahulu melalui gol penalti dari pihak lawan. Sebelum kemudian membalikkan skor di babak kedua.
Jika dibandingkan dengan kejutan Arab Saudi atas Argentina, kemenangan Jepang atas Jerman lebih banyak memberikan cerita serta pelajaran bagi seluruh penggemar sepak bola. Pelajaran pertama berkaitan dengan aspek murni sepak bola. Tidak sedikit pengamat menyebutkan bahwa kombinasi ketepatan strategi pelatih Hajime Moriyasu yang disertai dengan daya juang para pemainnya di babak kedua, merupakan salah satu kunci utama kemenangan Jepang.
Selain itu kekalahan yang mesti diterima Jerman juga tidak bisa dilepaskan dari sikap para pemain Jerman yang terkesan menganggap remeh pertandingan, ketika laga belum benar-benar berakhir. Salah satu momen ikonik yang menunjukkan hal tersebut tampak pada menit ke-64. Tepatnya ketika bek Jerman, Antonio Rudiger berlari secara aneh seperti melompat-lompat kecil ketika melindungi bola dari penyerang Jepang, Takuma Asano.
Selain itu terdapat momen-momen lain pada menit awal babak kedua. Seperti Jamal Musiala yang lebih memilih melakukan tembakan langsung ke gawang Jepang. Alih-alih memberikan bola kepada rekan setimnya yang berada di posisi yang lebih memungkinkan Jerman untuk mencetak gol kedua.
Praktik Diplomasi Sepakbola
Pelajaran berikutnya terkait dengan aspek di luar lapangan. Lebih tepatnya berkenaan dengan bagaimana praktik diplomasi sepak bola yang dilakukan oleh Jepang maupun Jerman. Sebagai bagian dari diplomasi publik, secara konseptual diplomasi sepak bola dapat dipahami sebagai praktik diplomasi yang dapat dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara dengan menggunakan olahraga sepak bola sebagai media atau instrumen.
Bagi pemerintah, sepak bola dapat dijadikan instrumen untuk menunjukkan keunggulan atau meningkatkan citra di hadapan negara-negara lain. Selain pemerintah sebagai representasi aktor negara, keberadaan aktor non-negara yang meliputi atlet hingga suporter juga turut memainkan peran penting yang bisa saja mempengaruhi citra suatu negara.
Dalam konteks pertandingan Jerman melawan Jepang, para pemain Jepang menunjukkan bagaimana sikap yang mesti ditunjukkan atlet sepakbola dalam mengikuti turnamen akbar Piala Dunia. Sebagai induk organisasi yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Piala Dunia di Qatar, FIFA sejak awal telah berkomitmen untuk mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah Qatar.
Salah satunya ialah pelarangan terhadap penonjolan simbol-simbol LGBTQ di ranah publik. Tim nasional Jepang, sebagai salah satu partisipan Piala Dunia FIFA, sejak awal tidak pernah menunjukkan gestur penentangan terhadap aturan tersebut. Alih-alih mengurusi kebijakan pemerintah Qatar, para pemain Jepang memilih berfokus pada pertandingan sepakbola yang mereka mainkan.
Sementara itu, berkebalikan dengan Jepang, para pemain tim nasional Jerman sejak sebelum dimulainya turnamen cukup sering mempersoalkan aturan pelarangan LGBTQ oleh pemerintah Qatar. Puncaknya, pada saat sesi foto tim pada awal pertandingan melawan Jepang, seluruh pemain Jerman menampilkan gestur tutup mulut.
Gestur tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai bentuk protes para pemain Jerman atas pelarangan dicantumkannya simbol pelangi yang diikuti tulisan “one love” pada ban kapten yang akan digunakan oleh Manuel Neuer. Tentu saja, bagi pemerintah Qatar keberadaan simbol Pelangi pada ban kapten pemain merupakan wujud kampanye LGBTQ di ruang publik.
Selain pemain Jerman, suporter Jerman juga turut melancarkan protes terhadap aturan dari pemerintah Qatar. Hal ini terlihat dari adanya salah satu suporter Jerman yang tertangkap kamera menampilkan simbol pelangi dan tulisan “one love” pada aksesoris yang ia gunakan. Ironisnya, sosok suporter yang tertangkap kamera tersebut ialah Nancy Faeser yang saat ini menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Jerman.
Sekali lagi, hal berkebalikan ditunjukkan oleh para suporter Jepang. Alih-alih melakukan hal yang sama dengan suporter Jerman, para suporter Jepang memilih untuk memunguti sampah yang berserakan di tribun Stadion tempat berlangsungnya pertandingan Jerman melawan Jepang.
Apa yang dilakukan oleh para pemain maupun suporter Jerman dan Jepang selama dan setelah pertandingan pada gilirannya memunculkan penilaian publik yang bertolak belakang. Hal ini tentunya bisa saja berpengaruh pada citra dari kedua negara.
Jika melihat pada perilaku pemain dan suporter Jerman, maka tidak salah jika kemudian muncul penilaian bahwa Jerman merupakan negara yang arogan. Arogansi Jerman tidak hanya terlihat dari tindakan Antonio Rudiger, tetapi juga bisa dilihat dari kengototan para pemain dan suporter mereka dalam memprotes aturan yang ditetapkan oleh pemerintah Qatar.
Selain arogan, tindakan Jerman juga mencerminkan bagaimana negara tersebut sama sekali tidak menghargai kedaulatan Qatar. Berbagai upaya protes yang bertujuan agar pemerintah Qatar mengubah aturan pelarangan simbol LGBTQ tidak lebih sebagai bentuk upaya kolonialisme gagasan.
Secara kasar, dapat dikatakan bahwa Jerman memaksa Qatar untuk menerapkan aturan sesuai dengan apa yang Jerman kehendaki. Dalam prinsip kedaulatan, tidaklah dibenarkan suatu negara memaksa negara lain mengubah peraturan yang berlaku di wilayah negara tersebut. Jerman semestinya sadar bahwa etika mereka berada di Qatar, maka wajib hukumnya untuk mematuhi aturan yang berada di wilayah teritorial Qatar.
Adapun jika melihat pada tindakan dari para pemain dan suporter Jepang, maka tidak berlebihan untuk menyebut Jepang sebagai negara yang lebih beradab dibandingkan dengan Jerman. Pasca pertandingan, tidak sedikit warganet yang memberikan sanjungan terhadap Jepang.
Sementara Jerman harus menerima banyak kecaman. Pada akhirnya kemenangan Jepang atas Jerman bukan hanya kemenangan dalam pertandingan sepakbola. Melainkan juga kesuksesan dalam menjalankan praktik diplomasi sepakbola.
*Penulis Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
Instragram: @adimhafid
Discussion about this post