Oleh: Yuliani Nurhayati*
Sejak berkembangnya teknologi industri, isu-isu internasional mengalami pergeseran dari hard politics menjadi low politics. Negara dengan kepentingannya mengeksploitasi sumberdaya alam secara terus menerus untuk kepentingan yang cukup beragam. Akibatnya lingkungan hidup menjadi terancam dan berubah menjadi status yang memprihatinkan, penipisan ozon adalah salah satunya.
Meningkatnya peredaran gas CFC (chlorofluorocarbons) yang dikeluarkan oleh pabrik-pabrik besar negara maju telah merusak lapizan ozon sehingga menimbulkan penipisan ozon. Masalah ini menjadi masalah dunia dengan peningkatan penipisan lapisan ozon yang naik signifikan dari tahun ke tahun.
Langkah dunia internasional dalam penanggulangan penipisan ozon bergerak hingga membentuk Protokol Montreal. Protokol Montreal adalah salah satu perjanjian perpanjangan dari Konvensi Wina 1985. Perjanjian ini mengatur tentang pemakaian bahan kimia yang merusak lapisan ozon dan disepakati pada 16 September 1987 di Markas Besar Organisasi Penerbangan Sipil Internasional di Montreal1
Kepatuhan atau compliance terhadap peraturan regime internasional menjadi isu yang menarik untuk di bahas. Kepatuhan dikatakan terjadi ketika suatu perilaku negara sesuai dengan perilaku yang telah ditentukan dalam suatu peraturan, sedangkan ketidak patuhan terjadi ketika perilaku negara yang dilakukan secara signifikan menjauh dari perilaku yang telah ditentukan.2 Teori ini mendeskripsikan bagaimana negara patuh atau tidak terhadap perjanjian yang telah di sepakati di ranah Internasional.
Indonesia telah meratifikasi Protokol Montreal sesuai dengan keputusan Presiden No. 23 Tahun 1992 dan tetap berkomitmen hingga saat ini3. Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan program perlindungan lapisan ozon secara bertahap.
Salah satu keunggulan dari protokol ini adalah negara-negara yang meratifikasi protokol memiliki kesepakatan target pengurangan, namun tidak ada ketetapan aturan mengenai mekanisme pengurangan tersebut. Protokol Montreal membiarkan negara-negara bereksperimen dengan pendekatan ilmiah dan menyesuaikan keadaan di masing- masing negara.
Jadi dapat dikatakan perjanjian ini sangat fleksibel dan tidak memberatkan bagi negara, terutama bagi negara-negara berkembang, yang memiliki banyak hambatan seperti dari sektor ekonomi dan teknologi. Protokol Montreal menyatakan bahwa produksi dan penggunaan CFC yang berdampak pada penipisan ozon di stratosfer harus dikurangi bahkan dihapuskan. Perjanjian ini adalah salah satu perjanjian internasional pertama yang memberi sanksi perdagangan untuk mewujudkan tujuan yang ingin di capai.
Alternatif dari pihak Protokol Montreal terhadap pengurangan pemakaian bahan CFC adalah mengganti bahan tersebut dengan HFC atau Hidrofluorkarbon. Bahan ini merupakan salah satu bahan kimia yang dianjurkan digunakan sembari mengganti pemakaian CFC karena tidak mengandung klorin dan tidak menguras lapisan statosfer ozon. HFC ini juga dapat digunakan dalam mesin pendingin seperti bahan CFC 4.
Protokol Montreal dianggap cukup berhasil karena banyak dilihat dari negara yang meratifikasi perjanjian hingga hari ini berjumlah cukup banyak, yaitu diratifikasi oleh 196 negara. Dengan bantuan Dana Multilateral, pada akhir tahun 2005, negara-negara berkembang mau berkontribusi dalam proyek pengurangan sebesar 72%. Dan di masa depan, negara berkembang telah menyepakati proyek pengurangan hampir 90% dari bahan kimia yang terdaftar dalam peraturan Protokol Montreal
Tak hanya mengenai target pencapaian program, pengamatan global mengenai tingkat zat perusak ozon yang sampai kelapisan ozon semakin menurun. Hal ini dikarenakan, Protokol Montreal tidak hanya menguntungkan dari segi pengamanan lingkungan saja, namun juga membawa dampak positif dalam aspek lain. Secara keseluruhan, Protokol Montreal memberikan efek terhadap sektor ekonomi walaupun sektor ini bukan merupakan tujuan awal dari dibentuknya protokol ini.
Discussion about this post