Oleh: Iqbal Darmawan*
Beberapa waktu lalu terdapat kasus yang viral terkait bullying terhadap seorang anak berinisial RL yang menjual jajanan jalangkote oleh sekelompok pemuda. Korban dihadang sewaktu berjualan oleh sekelompok pemuda hingga terjatuh dari sepeda kayuhnya.
Tak berhenti sampai disitu, korban juga mengalami pemukulan dan didorong hingga jatuh tersungkur di tanah. Peristiwa yang menimpa RL menambah daftar panjang kasus ber-genre bullying di Indonesia.
Mengutip dari laman KPAI tercatat dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak.
Kasus bullying baik di pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat. Melihat data ini, bullying merupakan isu sosial yang cukup krusial.
Secara pengertian bullying merujuk kepada perilaku mengintimidasi seseorang yang dianggap berbeda dan lebih lemah dari pelaku bullying.
Sehingga secara syarat bullying terjadi apabila ada pihak yang mengintimidasi orang diluar dirinya baik secara fisik maupun verbal yang membuat korban tak berdaya dan tidak melawan.
Perlu diketahui bahwa yang menjadi perhatian khusus adalah dampak dari praktik bullying terhadap kerugian fisik, mental serta trauma psikis terhadap pelaku itu sendiri dan utamanya si korban yang menjadi objek bullying.
Sesuatu hal yang menarik untuk ditelaah dari jenis kasus genre ini adalah daya tarik dari praktik bullying. Secara latar belakang pelaku bullying melakukan praktik demikian dikarenakan si pelaku sendiri sebenarnya juga merupakan korban.
Maksudnya adalah orang yang melakukan bullying dulunya juga merupakan korban serupa dimasa lalunya, sehingga dia mengalami efek ketidak berdayaan yang tidak mengenakan.
Kebanyakan penyebabnya adalah suasana keluarga yang kurang harmonis serta bentuk lingkungan sosial yang menstimulus dan mempengaruhi si pelaku untuk melakukan praktik bullying.
Suasana keluarga yang sering bercekcok apalagi sampai melakukan kekerasan terhadap anak memunculkan trauma psikis tak berdaya yang tidak mengenakan.
Hal tersebut memicu si korban ingin lepas dari kondisi ketidak berdayaan, dengan mencari power agar dirinya terlihat berdaya serta memiliki eksistensi pengaruh sebagi wujud dirinya yang kuat dan hebat.
Bagi si korban yang kemudian menjadi pelaku praktik bullying, tindakan tersebut dianggap sebagai obat pelampiasan terhadap rasa tidak enak dan tak berdaya yang pernah dialaminya.
Maka dia mencari pihak diluar dirinya yang lebih lemah untuk di intimidasi dengan harapan ada orang lain yang lebih tidak berdaya dari si pelaku.
Hal ini untuk menutupi ketidak berdayaan yang pernah menimpanya. Akhirnya muara dari motif pelaku bullying adalah tujuan mendapatkan pengakuan dan perhatian.
Faktor pemicu lain dari praktik bullying adalah konstruksi sosial dan lingkungan. Bentuk konstruk sosial juga mempengaruhi intensitas praktik bullying.
Karena konstruksi sosial memunculkan sistem nilai dan perilaku masyarakat tentang apa-apa saja yang tabu dan berbagai bentuk stereotip didalamnya sehingga menjadi kesadaran sosial bersama.
Maka ketika ada sesuatu yang berbeda dan dianggap tabu oleh konstruksi sosial (kesadaran kolektif) dapat memicu munculnya praktik bullying.
Selain itu stereotip tertentu juga menjadi pemicu praktik ini dan biasanya menimpa kelompok minoritas. Bentuk kongkritnya misalkan masalah perbedaan warna kulit, bentuk fisik, suku, agama dan ras yang menjadi alasan pelaku.
Karena dirasa hal tersebut merupakan objek lemah yang dapat di serang untuk membuat korban tak berdaya serta tak melawan.
Hal ini disebabkan modal budaya dalam istilah Pierre Bourdieu, misalkan modal simbol seperti warna kulit, ciri fisik, tingkat kepandaian, identitas suku, agama, ras, dan sebagainya.
Semua simbol yang dimiliki si korban merupakan hal rentan diserang sehingga yang menyerang atau mengintimidasi menjadi lebih punya power dan eksistensi pengaruh.
Motif dan faktor penyebab bullying ini merupakan praktik sosial yang bertujuan untuk mencari eksistensi dan pengakuan sebagai penanda sosial (kedudukan pelaku bullying di kelompoknya). Atau dalam konsep Pierre Bourdieu yakni “(Habitus X Modal) + Ranah = Praktik.
Dengan demikian daya tarik praktik bullying adalah power dan eksistensi pengakuan yang dibutuhkan si pelaku untuk terlihat berdaya dari trauma yang pernah dialaminya.
Selanjutnya hal ini dilakukan karena dia tidak tahu alternatif lain untuk mengobati traumanya dan yang diketahui hanyalah melemahkan orang lain agar dia lepas dari traumanya (rasa lemah tak berdaya).
Dampak bullying memiliki efek signifikan berjangka panjang terutama pada dimensi psikis atau kejiwaan. Hal ini tidak hanya dirasakan si korban bullying akan tetapi si pelaku pun juga demikian.
Lebih jelasnya si pelaku selalu dihantui rasa takut dan was-was jika dia tidak membully dia akan kembali pada fase lemah tak berdaya dalam anggapannya.
Maka, si pelaku dan korban sama-sama merasakan rasa ketakutan dan kekhawatiran serta perasaan was-was. Hanya saja yang membedakan adalah peran antara yang membully dan di bully serta daya tarik semu dari praktik bullying.
Hal ini perlu diatasi dengan penanganan yang baik dan tepat supaya dapat memutus rantai bullying. Mengatasi fenomena ini, tentu kita harus kembali kepada latar belakang yang memunculkan perilaku ini.
Maka, mau tidak mau peran dan fungsi ideal keluarga didalam membentuk iklim suasana berumah tangga yang nyaman dan aman harus diwujudkan.
Kemudian juga disokong oleh konstruksi sosial yang berparadigma plural-toleransi sebagai alat kontrol sosial mencegah praktik bullying.
Tidak kalah penting juga, perlu adanya rehabilitasi intens dan khusus terhadap pelaku dan korban bullying. Caranya adalah dengan melakukan dekonstruksi pemahaman (menyusun kembali habitus/pola pemikiran dan pemahaman nya) untuk ditata ulang.
Khusus untuk si pelaku adalah dengan memberikan alternatif pandangan lain terkait cara melepaskan diri dari rasa lemah tak berdaya dari traumanya selain cara bullying.
Yakni dengan membangun mental dan psikis yang berani menerima dan menghadapi trauma agar tidak kembali dihantui rasa was-was. Sehingga si pelaku terbebas dari belenggu dendam.
Sementara untuk si korban adalah dengan menguatkan kembali mental dan psikis nya untuk berani menerima dan menghadapi rasa takut akan trauma bullying.
Sehingga dia tidak terjebak merespon trauma bullying dan berani untuk mengabaikan serta tidak mempedulikannya.
Pada akhirnya kedua-duanya dapat membentuk psikis dan mental prima dengan karakter merdeka (tidak disetir balas dendam membully dan dikejar rasa takut di bully) untuk memulai kehidupan yang baru.
*Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi, Fisip,
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Instagram: juluwangi
Discussion about this post