Tak lama berselang setelah kasus Razia buku di Pare Kediri, kini kembali terjadi hal serupa di Padang Sumatera Utara dan Tarakan Kalimantan Utara (8/1/19). Razia tersebut melibatkan oknum aparat yang dalam prakteknya berargumen bahwa hal tersebut dilakukan karena mendapat laporan warga. Paham komunisme, radikalisme memang dianggap haram oleh negara. Tetapi bukan berarti siapa saja yang membaca buku-buku tersebut dengan serta merta dianggap komunis dan menjadi bagian pendukung komunis yang berencana mengganti Pancasila.
Tentu undang-undang mengatur hal tersebut (larangan terhadap komunisme) tetapi negara juga mengatur tentang kemerdekaan berfikir, berekspresi serta mengatur tentang sistem perbukuan. Dasar hukum yang digunakan aparat UU no 27 tahun 1999 tentang ancaman negara tidak dengan serta merta memberikan pembenaran atas tindakan sweeping, hal ini tentu dapat dipertentangkan dengan UU no 3 tahun 2017 tentang sistem perbukuan dimana pada pasal 69 ayat 4 jelas mengatakan bahwa;
“Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik dengan tetap menjaga kebebasan berekspresi dan berkreasi.”
Alam demokrasi menuntut untuk adanya partisipasi masif otonomi warga negara yang tidak lain adalah bebas dari paksaan kekuasaan apapun. Tentu hal ini dijamin oleh negara dengan UU no 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum.
Mengutip Prof. Magnis Suseno dalam tulisannya “Memanusiakan buku-Membukukan manusia”, tugas negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan umum, maka sejauh seseorang tidak melanggar undang-undang, bukan urusan negara untuk menentukan apa yang dibacanya.[1] Phobia komunis yang sering didengungkan tidak jarang memiliki muatan politis, bagaimana tidak jika dilihat secara seksama sepanjang rezim Jokowi-JK setidaknya – berbagai razia atau sweeping terjadi pasca gelaran aksi menolak reklamasi atau isu pertambangan (razia ditahun 2016) dan hari ini kembali digelar menjelang agenda politik lima tahunan yang akan teragendakan April 2019. Artinya isu ini kembali mengemuka tatkala ada pihak-pihak tertentu merasa terganggu dengan kepentingan politik atau kepentingan bisnisnya.
Tapi jika kita menilik sejarah, baik dinegara-negara yang dianggap totaliter maupun di negara-negara yang mengaku demokratis pelarangan terhadap buku kerap terjadi. Ambil contoh di Jerman pasca Nazi berkuasa buku-buku bernafas Yahudi dibakar dan diberangus. Begitu juga sebaliknya di Amerika pada masa-masa awal abad 20 pemberedelan, pembakaran dan tindakan represif lainnya terhadap buku pernah mewarnai sejarah kelam bangsa Amerika.[2] Dalam karyanya penghancuran buku dari masa ke masa Fernando Baez mengungkapkan bahwa Anthony Comstock dengan bangganya telah mendorong lebih dari selusin penulis untuk bunuh diri karena tindakannya.[3]
Bahkan dalam perjalan berbangsa, kita dapati bahwa pembatasan, pelarangan dan tindakan represif terhadap sesuatu yang bersifat tulisan baik media (pers) maupun buku menjadi sebuah tradisi yang terwariskan – bahkan eskalasi tersebut semakin massif sejak bangsa ini merdeka. Penerbitan UU nomor 4/PNPS/1963 era Demokrasi Terpimpin[4] – pada akhirnya undang-undang ini juga digunakan oleh rezim Orde Baru untuk mengontrol, membatasi ruang berekspresi dan berkarya. Tentu sebuah paradoks bagi Orde Baru.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti PR2Media di 5 kota besar di Indonesia, ditemui bahwa ditahun 2007 banyak dilakukan sweeping, razia, pemberangusan dan pembakaran terhadap buku-buku yang “dianggap” membahayakan atau lebih bersifat ideologis, maupun terhadap buku-buku dengan tema lain.[5]
Bukankah bangsa ini bersepakat bahwa agenda reformasi 98 ialah perubahan mendasar dari sistem otoriter ke sistem demokrasi, tentu razia atau sweeping, serta tindakan apapun – terutama yang terjadi di era pasca reformasi notabene telah mencederai spirit demokrasi. Bagi Dahl, salah satu sayarat dan hal yang mendasar bagi terciptanya iklim demokrasi yang sehat ialah adanya jaminan untuk bebas berfikir, berekspresi dan bebas dari tekanan yang inheren dengan hak politik serta terselenggaranya pemilihan secara bebas dan adil.[6]
Maka ada beberapa cara dalam melihat sebuah razia buku yang telah dan akan dilakukan di hari depan; yang pertama, ialah melihatnya dari perpsektif dominasi negara atas masyarakat dalam hal ini kemerdekaan berifikir, berekspresi, serta berkarya dan kedua, dari sudut pandang keadaan menyimpang yang dilakukan oleh negara dalam hal ini terwakili oleh perangkat-perangkatnya atas pelaksanaan undang-undang, ketiga, adanya kepentingan-kepentingan tak terlihat untuk mengontrol dan memasukkan kembali isu-isu lama – baik kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik.
Akhir kata, berbagai tindakan represif tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hannah Arendt bahwa kekerasan atau teror dapat terjadi pada tiap rezim manapun, baik di rezim otoriter maupun di rezim yang mengaku dirinya demokratis. (*)
Opini oleh Hendro, Pelapak Buku Kedai @semutalas_books
[1] Prof. Magnis Suseno dalam Memanusiakan buku – Membukukan manusia”dalam Buku Membangun Kualitas Bangsa. Kanisius. 1997. Hlm 27
[2] Fernando Baez. Penghancuran Buku Dari Masa Ke Masa. Marjin Kiri. Cetakan ke-2 2017. Tangerang Selatan. Hlm. 238-244
[3] Ibid. Hlm. 239
[4] Undang-undang ini tidak disetujui oleh parlemen, pada akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan peraturan tersebut sebagai penetapan presiden. Lihat. Tim Peneliti PR2Media. Pelarangan Buku DI Indonesia; Sebuah Paradoks Demokrasi Dan Kebebasan Berekspresi. Yogyakarta. PR2Media. Hlm. 79. 2010
[5] Lihat Ibid. hlm. 95-102
[6] Lihat Larry Diamond. Developing Democracy; toward consolidation. Yogyakarta. IREpress. Hlm. 1-4
Discussion about this post